Impian? Cita cita? Sepertinya tidak akan lagi ada untuk ku. Mengapa aku berpikir seperti itu? Karena beginilah hidup ku, berawal dari sempurna menjadi berantakan! Ini semua berawal dari sebulan yang lalu...
Saat itu aku menginjak umur 13 tahun dan sedang menduduki bangku kelas 2 SMP. Aku suka sekali bermain sepak bola di lapangan sekolah maupun di lapangan bermain dan cita-citaku adalah ingin menjadi Pemain Sepak Bola Profesional.
"Dika, apa yang sedang kau pikirkan?" Seorang siswi menepuk bahuku, siswi itu bernama Semi. Dia itu anak blasteran Amerika-Indonesia. Semi adalah sahabat dekatku, kami mulai akrab dari kelas 1 semester 2.
"Hehe aku hanya sedang membayangkan diriku bertanding sepak bola di stadion bola yang sangat besar." Kata ku.
"Hei jangan lupakan aku juga dong!" Tiba-tiba ada seorang siswa yang menepuk bahuku sambil berkata demikian.
"Kita kan sudah sepakat akan terus 1 tim atau menjadi rival di setiap pertandingan." Kata siswa tersebut. Dia adalah Jaka, seorang siswa yang aktif dan selalu semangat itu adalah sahabat dekat ku dari SD.
"Haha.. Tentu!" kata ku.
"Btw soal pertandingan, 2 Minggu lagi bakal ada lomba olahraga, semua jenis olahraga bakal dilombain dan lawannya itu siswa dari SMP Garuda, nanti banyak siswa dari SMP Garuda yang bakal datang ke sekolah kita buat tanding dan nonton, apa kalian mau ikut lombanya? Lebih baik daftar dari sekarang dan mulai latihan." Jelas Semi.
"Wah, Pasti nya! kami pasti ikut! benarkan, Dik?" Tanya Jaka. "Iya kami mau ikut, kepada siapa kami harus daftar lombanya?" Tanya ku. "Nanti bilangnya ke ketua kelas aja." Kata Semi. "Oke!" Seru aku dan Jaka barengan.
Jaka dan Dika menghampiri Ketua kelas, "ketua kelas, aku dan Dika ingin ikut lomba sepak bola, catat nama kami ya!" Ketua kelas mengangguk. Setelah itu mereka berdua pergi ke toilet.
Saat di perjalanan menuju toilet, aku dan Jaka membahas tentang lomba olahraga sekolah yang akan diadakan 2 Minggu lagi.
"Wah, aku gak sabar ingin tanding sepak bola dengan SMP Garuda, kita pasti menang!" Seru Jaka.
"Aku juga tidak sabar menunggu nya, ini pertama kalinya kita bakal bertanding sepak bola antar sekolah, biasanya kita bertanding antar kelas saja." Kata ku.
"Iya! Jika kita menang, pasti murid-murid disini bakal bangga sama kita, hahahaha!" Seru Jaka dengan bangganya
Dan setelah dari toilet kami pun kembali kekelas dan memulai pelajaran baru.
Sore hari pun tiba, dan saat nya para murid pulang kerumah nya. Awalnya aku akan pulang bersama Jaka, tetapi Jaka dijemput oleh Ayahnya, akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendirian dengan menggunakan angkot.
Dan disanalah semuanya berawal...
tinn... tinn... BRAKKK!!
Saat aku membuka mataku, aku terbangun di sebuah ruangan yang aku tidak tahu dimana tempatnya. Dan samar-samar, aku melihat sosok ibuku yang seperti nya menangis dan seorang dokter?! Aku berada di rumah sakit?! Kenapa ini?! Kakiku mati rasa?! Badan ku juga sakit!
"Akhirnya, terima kasih Dok! Dika, kau sudah sadar!"
"I..i..ibu?"
"A..a..apa yang terja..di? Kenapa kaki...ku...ma..ti rasa?"
Lalu setelah itu, seorang dokter mulai memeriksa ku. Sudah cukup lama aku berbaring di tempat tidur pasien, akhirnya aku dipindahkan ke kursi roda, dokter berkata aku mengalami kelumpuhan di kaki dan cedera di tangan karena kecelakaan, aku baru ingat sebuah mobil tiba-tiba menabrak angkot yang sedang aku tumpangi, karena angkot menghindar dengan terlalu cepat, aku yang duduk di dekat pintu, terpental dan terjatuh dari sana, setelah itu aku tidak ingat kenapa aku ada dirumah sakit. Saat aku bertanya pada ibu, aku sudah ada dirumah sakit ini selama 6 hari, dan selama 6 hari ternyata Jaka dan Semi datang menjenguk ku di rumah sakit, dan hari ini pun mereka datang, karena Ibu memberitahukan kepada mereka, bahwa aku telah siuman.
"Dika! Syukurlah kau sudah sadar, aku sangat khawatir kau tidak bangun lagi, huhu..." Semi menangis.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, Semi, aku ini kuat! Jadi masih bisa bangun lagi, hehe.."
"Dika, maafkan aku, kalau saja kau ikut aku pulang dengan Ayahku, mungkin kau tidak akan mengalami kecelakaan." Mata Jaka terlihat sembab.
"Tunggu! Jaka, ini bukan salah mu, kenapa kau harus minta maaf?"
"Hiks...tetap saja, andai kau ikut aku pulang, pasti kau tidak akan mengalami hal seperti ini."
"Haha..kenapa kau menangis, dasar payah!"
Lalu Dika tersenyum hangat, "Terima kasih, teman teman, kalian sudah mengkhawatirkan ku dan menjenguk ku, melihat kalian kemari, aku jadi sangat senang!"
Jaka meminta ku untuk mengobrol berdua di taman dekat rumah sakit, Ibu dan dokter memberi izin, lalu kami pun berada di taman dengan suasana sepi di sore hari.
"Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan, Jaka?"
"Dika, aku mendengar dari Ibu mu, jika kau mengalami kelumpuhan dan cedera tangan."
"Iya, kenapa?"
"Bagaimana dengan pertandingan sepak bola kita?"
Aku terkaget dan tanpa sadar mengeluarkan air mata, aku terdiam sejenak dan menyadari, karena kelumpuhan ku, aku tidak bisa bermain bola lagi.
"Aku, tidak bisa bertanding tanpa mu, Dik." Jaka melirik kearah Dika dan mengerutkan alisnya serta suaranya sedikit bergetar.
"Aku dengar cedera tangan mu bisa sembuh dalam waktu seminggu lagi, tetapi bagaimana dengan kakimu?"
"A-aku tidak tahu, Jaka! A-aku tidak tahu!"
Aku mengatakan itu berulang ulang sambil menangis, sejenak aku berpikir, jika aku mengalami kelumpuhan total, itu berarti aku tidak bisa sembuh selamanya, yang berarti aku tidak bisa bermain bola lagi?! Semakin aku berpikir, semakin banyak air mata ku keluar. Jaka berusaha menenangkan ku.
Beberapa menit kemudian setelah aku berhenti menangis, kami kembali ke rumah sakit dan menemui Ibu dan Semi, dengan mataku yang sembab. Ibu yang menyadarinya, langsung bertanya padaku dengan nada khawatir, dan aku hanya diam.
Lalu aku dibawa ke ruang pasien oleh Ibu untuk istirahat, sebelum pergi Ibu memelukku dan mengatakan "Dika, Ibu yakin kau kuat dan tabah."
Sudah beberapa hari aku berada di rumah sakit, terdiam dan murung, aku ingin membuat Ibu tidak khawatir dan kembali tersenyum, tetapi itu sangat sulit, karena aku masih belum terima mimpi dan kegiatan yang aku sukai hancur.
Dokter yang merawatku selalu menyemangatiku dan menjadi tempatku untuk mengobrol, perlahan lahan perasaanku membaik, dan dapat menerima keadaanku yang sekarang.
Ia berkata padaku, "kau masih memiliki keinginan membuat Ibumu selalu tersenyum kan? Itu berarti impianmu tidak gagal, jika kau terus berusaha mungkin kakimu akan sembuh dan kau bisa bermain lagi, jika pun tidak, kau bisa menjadi orang yang membuat para pemain sepak bola berhasil menggapai impiannya, jangan pernah menyerah, Dika!"
Setelah masa penyembuhan kakiku, aku sudah bisa jalan sedikit namun, dokter mengatakan kalau aku sudah tidak bisa lagi melakukan aktivitas yang membutuhkan gerak kaki terlalu lama, itu artinya aku tidak bisa bermain sepak bola lagi ataupun berlari kencang, aku hanya bisa berjalan sedikit dan pelan-pelan.
Setelah beranjak dewasa, aku pun memutuskan menjadi pelatih sepak bola meski dengan kondisi kakiku ini, setidaknya aku bisa mewujudkan impian para pemain dan membuat ibuku bangga.