Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi untuk ukuran sebuah keluarga. Hanya ada derit lantai kayu setiap kali seseorang melangkah dan gemericik jam dinding di ruang tamu. Tidak ada tawa, tidak ada obrolan hangat, hanya kehampaan yang menggantung di udara.
Aruna duduk di meja makan, memandangi piring yang masih penuh. Ayahnya, Damar, duduk di seberangnya, sibuk dengan ponselnya seperti biasa. Di sudut lain ruangan, ibunya, Naya, menatap keluar jendela sambil memegang secangkir teh yang sudah dingin.
Dulu, meja makan ini adalah tempat penuh cerita. Ayah selalu membawa lelucon dari kantornya, Ibu akan membahas resep baru yang ia coba, dan Aruna sering menceritakan hal-hal lucu di sekolah. Tapi itu dulu, sebelum tragedi itu terjadi.
Arga, kakak laki-laki Aruna, adalah pusat dari segalanya. Dengan suaranya yang lantang dan tawanya yang menular, ia adalah nyawa dari rumah ini. Tapi semua berubah ketika kecelakaan itu terjadi. Malam itu, Arga tidak pulang. Yang datang hanyalah telepon dari polisi yang memberi tahu bahwa mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan raya.
Sejak saat itu, rumah ini kehilangan suaranya.
Aruna memandang ayahnya yang tak pernah lagi menatapnya sejak kejadian itu. Ia tahu ayah menyalahkan dirinya, meskipun tak pernah diucapkan. "Kalau saja kamu tidak meminta Arga menjemputmu malam itu," begitu yang selalu terasa dalam keheningan mereka.
Naya, ibunya, tak jauh berbeda. Ia lebih sering tenggelam dalam pikirannya sendiri, menjelajahi kenangan bersama Arga yang kini hanya tersisa dalam foto-foto di dinding.
Malam itu, Aruna tak bisa menahan lagi rasa sesaknya. "Kita tidak bisa terus seperti ini," suaranya bergetar, memecah keheningan yang sudah terlalu lama bertahan.
Ayahnya mengangkat pandangan dari ponsel, dan ibunya berbalik dari jendela.
"Kita apa?" suara ayahnya terdengar dingin.
"Kita keluarga," jawab Aruna lirih. "Tapi sekarang rasanya seperti tidak ada lagi yang tersisa. Kita semua masih hidup, tapi kenapa rasanya seperti kita sudah mati?"
Air mata mulai menggenang di mata Aruna. "Aku tahu aku salah. Kalau saja aku tidak meminta kak Arga datang malam itu, dia mungkin masih di sini. Tapi... aku juga kehilangan dia, Ayah, Ibu. Aku juga hancur."
Naya menutup wajahnya dengan kedua tangan, isak tangisnya pecah untuk pertama kalinya sejak pemakaman. Damar menatap Aruna, matanya penuh dengan luka yang selama ini ia tutupi dengan dinginnya sikap.
"Kamu tidak salah, Aruna," gumam Damar akhirnya. "Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini. Kehilangan Arga membuatku lupa bagaimana menjadi seorang ayah. Aku minta maaf."
Naya beranjak dari kursinya dan memeluk Aruna erat, sementara Damar ikut mendekat, merangkul mereka berdua. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, mereka menangis bersama, membiarkan semua luka dan kesedihan yang selama ini terkunci keluar.
Malam itu, rumah yang sunyi akhirnya dipenuhi suara lagi—bukan tawa, tapi tangis yang melegakan. Mereka tahu luka itu tak akan hilang begitu saja, tapi setidaknya, mereka masih punya satu sama lain. Itu cukup untuk memulai lagi.
Pagi berikutnya, meskipun suasana masih penuh dengan kesedihan, ada sesuatu yang berbeda di rumah itu. Tidak ada lagi keheningan yang mencekam, tidak ada lagi ruang kosong yang terasa begitu luas. Aruna bangun lebih pagi dari biasanya. Ia merasa ada secercah harapan, meski kecil, untuk memulai lagi.
Ibu sudah berada di dapur, menyeduh kopi, dan Ayah sedang duduk di ruang tamu, menatap ke luar jendela dengan wajah yang lebih tenang daripada kemarin malam.
Aruna berjalan mendekat ke dapur, berhenti sejenak sebelum duduk di meja makan. Naya, yang tengah menyiramkan kopi ke dalam cangkir, menoleh dan memberikan senyum tipis.
"Apa kamu mau sarapan?" tanya Naya lembut.
Aruna mengangguk, meski belum sepenuhnya lapar. "Iya, Ibu."
Naya menatapnya dengan tatapan yang penuh makna, seakan ingin mengatakan banyak hal, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Aruna tahu itu. Ia tahu ibunya terluka jauh lebih dalam daripada yang ia tunjukkan, dan itu membuatnya merasa semakin bersalah.
"Apa Ayah sudah makan?" tanya Aruna, mencoba membuka percakapan.
"Belum," jawab Naya, "Aku akan buatkan untuknya juga."
Aruna mengangguk, namun hatinya terasa berat. Ayahnya, yang selama ini selalu menjadi sosok yang tangguh dan jarang mengungkapkan perasaan, kini terlihat begitu rapuh. Ia tahu Ayah menyembunyikan kesedihannya, menumpuknya dalam diam, dan itulah yang selama ini membuatnya semakin terasing dari keluarga.
Setelah sarapan, Aruna memberanikan diri untuk mendekati Ayah, yang kini tengah membaca surat kabar di ruang tamu. Ia duduk di sampingnya, mencoba untuk memulai percakapan yang sudah lama ia tunda.
"Ayah, aku... aku tahu aku bukan anak yang sempurna," kata Aruna, suaranya sedikit gemetar. "Tapi aku benar-benar ingin kita bisa mencoba lagi. Untuk keluarga ini. Untuk Arga."
Ayahnya menurunkan surat kabar dan menatapnya, matanya masih tampak kosong, tetapi ada kesedihan yang dalam di baliknya. "Aku tidak tahu, Nak," jawabnya pelan. "Aku masih merasa terlalu kehilangan. Arga adalah segalanya bagiku."
Aruna menunduk, menggigit bibirnya menahan air mata. "Aku juga kehilangan kak Arga, Ayah. Tapi kita masih punya satu sama lain. Kita tidak bisa terus begini, saling menyalahkan. kak Arga pasti ingin kita tetap kuat. Ia pasti tidak ingin kita terpuruk seperti ini."
Ada keheningan panjang, dan Aruna bisa merasakan hatinya sendiri yang berdegup kencang. Kemudian, Ayahnya menghela napas berat.
"Kamu benar," katanya akhirnya. "Aku... aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa Arga. Aku tidak tahu bagaimana cara menjadi ayah yang baik lagi."
Aruna memandang wajahnya dengan penuh empati. "Ayah, kita tidak harus tahu semuanya sekarang. Kita hanya perlu mencoba untuk ada satu sama lain. Pelan-pelan, kita akan menemukan cara untuk sembuh."
Ayahnya terdiam, kemudian perlahan-lahan mengangguk. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Aruna. "Maafkan aku, Nak. Aku terlalu sibuk dengan rasa sakitku sendiri sampai tidak melihat betapa sakitnya kamu."
Air mata Aruna akhirnya tumpah. "Aku juga minta maaf, Ayah. Aku juga merasa sangat sendirian."
Ibu datang ke ruang tamu, berdiri di ambang pintu sambil menyaksikan momen itu. Perlahan-lahan, ia berjalan menuju mereka dan duduk di sebelah Aruna.
"Ini bukan hal yang mudah," kata Naya dengan suara serak, "tapi kita akan berjalan melalui ini bersama. Satu langkah, satu hari, satu waktu."
Keluarga itu duduk bersama, saling merangkul dalam diam. Mereka tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengembalikan Arga, dan tidak ada cara untuk menghapus rasa sakit yang mereka rasakan. Namun, mereka juga tahu bahwa meskipun mereka berbeda, meskipun mereka terluka, mereka masih keluarga. Dan itu adalah sesuatu yang bisa mereka perjuangkan bersama.
Dalam keheningan yang lebih damai itu, mereka menemukan sebuah awal baru—bukan untuk melupakan, tetapi untuk memulai lagi dengan cara yang berbeda.