Di sudut kota, berdiri bangunan perpustakaan megah nan kokoh. Kini, waktu telah meruntuhkan kemegahannya dan meninggalkan bangunan tua bersejarah dan penuh misteri. Perpustakaan tua yang khas dengan arsitektur Belanda itu mungkin usianya sudah lebih dari 100 tahun. Desas-desus kisah mistis hangat diperbincangkan tentang perpustakaan itu. Rasa penasaran akan perpustakaan itu menghantui benak Damar, seorang pria muda yang bisa dikatakan dia seorang indigo. Damar juga lahir lebih lama dari bayi-bayi lainnya, ia lahir saat usia kandungan ibunya mencapai 12 bulan dan bahkan ia lahir tepat pada malam satu suro. Setiap melintasi perpustakaan tua itu, selalu muncul bisikan samar di telinga Damar. "Sebenarnya apa yang ada di perpustakaan itu?" Damar bertanya-tanya di dalam hatinya ketika dia berada di kamarnya. Kali ini, Damar sudah tidak bisa lagi menahan keinginannya untuk pergi ke perpustakaan tua itu. Tapi, di satu sisi keraguan muncul, ia sangat bingung untuk memutuskan apakah harus pergi atau tidak. Damar tidak bisa mengalahkan rasa penasarannya itu. Setelah berbagai wacana untuk pergi ke perpustakaan tua itu, hari ini Damar benar-benar berada di depan pintu perpustakaan tua itu. Ya seperti dugaan Damar, aura mistis nya sangat kuat. Ia masuk ke dalam perpustakaan itu, tak ada satupun yang luput dari pandangannya. Dilintasinya sebuah lukisan besar yang tampak sekali usianya yang renta, kini tertutup lapisan debu tebal, seakan menyimpan kisah lama yang terlupakan. Disentuhnya lukisan itu dengan hati-hati dan seolah ada kekuatan yang menariknya, membuat jarinya menembus lapisan lukisan itu. Tanpa pikir panjang, Damar langsung menembus lukisan besar itu dan tiba-tiba dunia di sekelilingnya berputar dan menarik tubuhnya hingga terhempas keras ke sebuah desa. Tubuhnya terasa remuk, tak ada lagi yang bisa menggambarkannya seolah dilumat kekuatan tak kasatmata tapi nyata. Beberapa orang di sekitar tempat itu memandang penasaran wajah Damar. Di tengah ramainya orang-orang itu, berlari seorang gadis kecil, namanya Laras Senja. Senja berlari menghampiri Damar dan mengulurkan tangannya untuk membantu Damar berdiri, dilihatnya tangan kecil itu sebelum disambutnya dengan ragu dan ia bangkit berdiri.
"Aku Laras Senja, panggil saja Senja, kak" Kata Senja memperkenalkan dirinya pada Damar. "Aku Damar" Ia bergantian memperkenalkan diri.
Setelah itu, Senja membawa Damar ke rumahnya, dan mempersilahkan Damar untuk masuk, dari dapur keluar seorang nenek tua dan tersenyum pada Damar. Nenek mengisyaratkan pada Senja untuk membuatkan Damar minum, dan segera cucunya itu berjalan memasuki dapur. Nenek lalu mempersilahkan Damar untuk duduk dan ia ikut duduk tak jauh dari situ.
"Damar Senjata Langit" ucap nenek, suaranya bergetar seperti menyebut nama yang tak sembarang untuk disebut. "Nenek tahu nama saya?" Damar terbelalak mendengar nenek menyebut namanya padahal mereka belum saling mengenal sebelumnya. Nenek hanya tersenyum pada Damar dan tidak mengatakan apapun.
Setelah hari yang panjang di tempat yang aneh itu, malamnya Damar tertidur di pendopo rumah Senja dan ia mendengar bisikan samar yang memanggil-manggil namanya, itu tampaknya seperti bisikan samar yang sering Damar dengar saat melintasi perpustakaan tua di kotanya. Bisikan itu membuatnya terjaga dari tidurnya, karena merasa aneh ia memutuskan masuk ke rumah dan betapa terkejut dirinya ketika di depannya sudah ada nenek dan hampir saja teriakan lepas dari bibirnya. Dia menghela nafas lega saat melihat bahwa yang muncul di depannya ternyata hanya nenek.
"Nek, saya..." Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, nenek langsung memotong "Mendengar bisikan samar memanggil." Kali ini mata Damar melebar mendengar jawaban nenek. "Nenek siapa sebenarnya? Kenapa begitu tahu tentang saya?" Tanya Damar penasaran, sedangkan nenek hanya tersenyum memandang Damar.
Nenek berjalan masuk ke dapur, sedangkan Damar mengikuti nenek ke dapur. Nenek lalu mengeluarkan dari saku celananya sebuah kalung dengan liontin merah muda dan dibelakangnya yang terdapat foto seorang wanita Belanda. Damar mengamati foto wanita itu, tampaknya dia tersenyum, terlihat begitu anggun dan menawan dirinya. Tapi apa itu? Kenapa nenek memberikan kalung itu padanya?
"Damar, sebenernya kau satu-satunya yang bisa menyelamatkan desa kami dari kutukan ini, sudah lama kami menantikan mu Damar." Ucap nenek, suaranya setengah berbisik. "Ada apa nek? Kenapa harus saya?" Rasa bingung mulai menyelimuti benak Damar. "Sebab dalam dirimu membawa darah 'anak pilihan' yang tidak biasa dimiliki." Jawab nenek dengan nada rendah. "Jadi nek?" Tanyanya singkat. "Pergilah bersama Senja dan bawalah kalung ini ke hutan terlarang di ujung desa, sampainya di sana Senja akan memberitahu apa yang harus kau lakukan, ingat! Jangan berharap keluar hidup-hidup jika gagal."
Ketika mentari baru terbit, Damar dan Senja memulai perjalanan mereka ke hutan terlarang di ujung desa. Sampainya di depan perbatasan antara desa dan hutan itu kabut putih menutupi seluruh jalan masuk pada hutan itu yang menambah kesan mistis dan gaib pada hutan itu. Damar dan Senja akhirnya sampai di sebuah gubug tua dan sudah tertutup oleh tumbuhan jalar, gubug yang menyeramkan dan tersimpan kuat aura negatif di dalamnya.
"Tiap malam satu suro, pasti akan mati seorang anak gadis di desa kami, gadis-gadis itu semuanya bernasib sama dibunuh oleh arwah gentayangan seorang wanita Belanda. Dulunya wanita itu tinggal di gubug ini, tapi entahlah karena apa dia dibunuh, lalu kalung miliknya pun ikut dirampas. Tak disangka ternyata arwah gentayangan itu menuntut balas atas kematiannya itu dan terus mencari korban untuk membalaskan dendamnya. Desa kami terkena kutukan itu, jadi jika ingin melepaskan kutukan itu, seorang yang membawa darah 'anak pilihan' harus datang." Jelas Senja panjang lebar, sedangkan Damar hanya mengangguk paham.
Mereka berdua lalu masuk ke gubug itu dan melihat keadaan di dalamnya masih rapi. Tiba-tiba angin kencang menerobos dari celah-celah dinding membuat pintu tertutup rapat dan berdebum kencang. Suara tawa wanita menggema, melingkupi ruangan yang sempit itu membuat bulu kuduk keduanya berdiri. Dari sudut ruangan yang gelap, muncul seorang wanita dengan gaun bangsawan Belanda, sorot matanya tajam. Damar kemudian mendekati wanita itu dan mengeluarkan kalung yang diberikan nenek sebelumnya.
"Apa ini milikmu?" Tanya Damar menunjukkan kalung itu. Wanita itu hanya diam tak mengatakan apapun, tapi tubuhnya melayang dan mendekat ke Damar. "Kak Damar, lempar kalungnya ke noda darah di lantai, sekarang!" Teriak Senja, Damar yang panik langsung melempar kalung itu ke lantai yang terdapat noda darah. Dari kalung itu muncul cahaya merah, wanita itu berhenti melayang, dan menangis pilu.
"Kenapa kalian manusia kejam? Kenapa ingin mengusir ku dari rumahku?" Tangisannya semakin pilu dan menyedihkan. "Kalian manusia para pembunuh, sampai kapanpun dendam ini tidak akan terselesaikan.", Damar akhirnya memutuskan bicara pada arwah wanita itu "Kau memang menyimpan dendam pada manusia, tapi kami bukanlah manusia yang sama yang membunuh mu, dendam mu hanya membawa penderitaan bagi warga desa. Lagipula dendam mu tidak akan pernah mengembalikan apa yang sudah tidak ada. Kau bebas sekarang dan kembalilah ke tempat di mana seharusnya kau berada dan beristirahatlah dengan tenang."
Seketika arwah gentayangan wanita itu menghilang perlahan-lahan, kalungnya pun hancur berkeping-keping. Kabut gelap yang menutupi hutan itu menghilang, hutan yang seolah diselimuti kegelapan kini sirna tak tersisa. Damar dan Senja memekik bahagia, keduanya langsung bergegas pulang ke rumah nenek. Mereka disambut dengan baik oleh nenek dan warga desa. Saatnya bagi Damar untuk kembali dari dunia balik lukisan itu.
"Damar harus pulang, bagaimana caranya kembali, nek?" Tanya Damar. "Tinggal pejamkan matamu Damar, kau akan kembali ke tempat asalmu." Jawab nenek
Tanpa banyak basa-basi, Damar langsung memejamkan matanya, dan dia kembali ke dalam perpustakaan tua di kotanya. Ia keluar dari perpustakaan itu dan menghela nafas lega karena akhirnya misinya itu sudah selesai. Sungguh perpustakaan yang menakjubkan dan keren.