Asih mengepalkan tangan, jantungnya berdebar kencang. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang. Di depannya, di tengah kuburan tua yang sunyi, berdiri sosok yang hanya bisa digambarkan sebagai mimpi buruk—Mr. Pocong. Bukan pocong biasa, ini berbeda. Sosoknya lebih tinggi, lebih tegap, kain kafannya tampak basah dan lengket, dan matanya… matanya menyala dengan cahaya hijau yang mengerikan.
"Aduh, Asela! Rara! Udinn!" Asih berteriak, suaranya terputus-putus oleh rasa takut yang mencekam. Ketiga temannya, yang tadinya bercanda di dekatnya, kini lenyap ditelan kegelapan. Hanya Asih yang tersisa, sendirian menghadapi Mr. Pocong yang perlahan mendekat.
Mr. Pocong bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan. Asih berlari sekencang mungkin, kakinya tersandung batu nisan, tubuhnya jatuh terguling. Ia mencoba bangkit, tapi Mr. Pocong sudah berada di hadapannya. Wajahnya yang pucat, hanya terlihat mata hijau yang menyala itu.
"Tolong…" bisik Asih, suaranya nyaris tak terdengar.
Mr. Pocong membungkuk, tangannya yang kurus dan panjang terulur. Asih memejamkan mata, menunggu akhir yang mengerikan. Namun, sentuhan yang ditunggu tak kunjung datang. Ia memberanikan diri membuka mata.
Mr. Pocong… menghilang.
Asih terduduk, nafasnya tersengal-sengal. Ia melihat sekeliling, masih dalam kegelapan yang mencekam. Tiba-tiba, ia mendengar suara tawa—tawa yang nyaring dan menggema di antara batu nisan. Suara itu berasal dari balik pohon besar di dekatnya.
Asih perlahan mendekat, hati berdebar-debar. Dari balik pohon, ia melihat ketiga temannya, Udin, Asela, dan Rara, sedang tertawa terbahak-bahak sambil memegangi sebuah boneka pocong yang cukup menyeramkan. Boneka itu persis seperti Mr. Pocong yang baru saja ia lihat.
"Asih! Wajahmu… hahaha!" Udin tertawa lepas.
"Kalian… kalian menakutiku!" Asih berteriak, antara marah dan lega.
"Maaf, Asih," Asela berkata, tawanya sedikit mereda. "Kami hanya ingin sedikit bercanda. Tapi, reaksimu… sungguh luar biasa!"
Rara mengangguk setuju. "Mr. Pocong buatan Udin memang menakutkan!"
Asih menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Meskipun lega karena itu hanya lelucon, rasa takut yang baru saja dialaminya masih membekas. Ia menatap boneka pocong di tangan Udin, masih sedikit merinding. Malam itu, ia belajar satu hal: jangan pernah meremehkan kekuatan sebuah lelucon, terutama di tempat seperti kuburan tua. Dan, mungkin, jangan pernah sendirian di tempat seperti itu lagi.