Syahwa Ananda, gadis berhijab dengan senyum yang selalu merekah, masih ingat jelas bagaimana hatinya hancur berkeping-keping sepuluh tahun silam. Saat itu, Daffa, kekasihnya sejak SMP, memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Perpisahan itu terjadi di taman belakang sekolah, tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama.
"Nanda, aku harus pergi," ucap Daffa, suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca, menatap Nanda dengan tatapan penuh penyesalan.
"Kenapa, Daffa? Apakah aku melakukan kesalahan?" tanya Nanda, suaranya bergetar menahan tangis.
"Bukan, Nanda. Ini bukan salahmu. Aku harus mengikuti kemauan orang tuaku untuk kuliah di luar negeri," jawab Daffa, suaranya semakin lirih.
Nanda terdiam, matanya menatap sendu wajah Daffa yang kini tampak asing. Rasa sakit itu berlipat ganda ketika Daffa mengatakan bahwa ia tidak bisa melawan keinginan orang tuanya.
"Aku harus pergi, Nanda. Aku mohon, jangan lupakan aku," ucap Daffa, tangannya meraih tangan Nanda dan menggenggamnya erat.
Nanda hanya bisa mengangguk, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia tak sanggup menahan kesedihan yang menggerogoti hatinya.
"Insya Allah, aku akan selalu mendoakanmu, Daffa," bisik Nanda, suaranya teredam tangis.
Daffa tersenyum getir, lalu melepaskan genggaman tangan Nanda. Ia berbalik dan berjalan meninggalkan Nanda yang terduduk di bangku taman, tubuhnya terkulai lemas, hatinya hancur berkeping-keping.
Sejak kepergian Daffa, Nanda merasa sepi. Ia kehilangan sosok yang selalu ada di sisinya, yang selalu menghiburnya, yang selalu membuatnya tersenyum. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi ketika fitnahan teman-temannya di sekolah menyeruak ke telinga Nanda. Mereka menuduh Nanda sebagai anak haram karena tidak memiliki seorang ayah.
"Dia anak haram, makanya Daffa ninggalin dia," bisik salah seorang teman Nanda, yang langsung disambut tawa mengejek lainnya.
Nanda terpuruk dalam kesedihan. Ia merasa dunia seolah runtuh, ditinggal kekasihnya dan dihina oleh teman-temannya. Namun, Nanda bangkit. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya bukan anak haram, dan ia akan meraih mimpi-mimpi yang pernah ia impikan bersama Daffa.
Nanda memutuskan untuk fokus pada pendidikannya. Ia rajin belajar dan berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Ia juga mulai menekuni hobinya, yaitu desain. Ia mengikuti berbagai kursus desain dan belajar secara otodidak.
Sepuluh tahun berlalu, Nanda telah menjadi seorang desainer terkenal. Ia sukses membangun bisnis sendiri dan membuktikan bahwa ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Ia memiliki butik sendiri yang menjual berbagai macam desain busana yang ia ciptakan. Namanya dikenal di berbagai kalangan, karyanya sering menghiasi majalah mode ternama. Selalu menjaga kesopanan, Nanda tak pernah mengumbar aurat, bahkan rambutnya pun selalu tertutup rapi di balik hijabnya.
Suatu hari, Nanda mendapat undangan untuk menghadiri sebuah pameran desain di Jakarta. Ia pun memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan mengikuti pameran tersebut. Di sana, Nanda bertemu Daffa. Daffa, yang kini telah menjadi seorang arsitek ternama, terlihat lebih dewasa dan matang. Ia sedang berdiri di tengah kerumunan, mengamati desain-desain yang dipamerkan.
Nanda terkesiap saat matanya menangkap sosok Daffa yang familiar. Ia tak percaya, Daffa yang dulu pernah mencintainya kini telah menjadi seorang arsitek sukses.
"Daffa?" gumam Nanda, tak percaya.
Daffa menoleh, matanya membulat tak percaya saat melihat Nanda. Ia terkesiap, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Nanda," ucap Daffa, suaranya bergetar.
Nanda tersenyum tipis, "Assalamualaikum, Daffa. Kau tampak berbeda sekarang."
Daffa terdiam, matanya menatap Nanda dengan tatapan penuh kekaguman. Ia terpesona dengan kecantikan Nanda yang semakin terpancar.
"Waalaikumsalam, Nanda. Kau juga, kau semakin cantik," ucap Daffa, suaranya bergetar.
Nanda tertawa kecil, "Masya Allah, kau masih ingat aku, Daffa?"
"Bagaimana mungkin aku melupakanmu, Nanda?" jawab Daffa, matanya berkaca-kaca. "Aku selalu menyesali keputusanku dulu. Aku bodoh, aku percaya omongan orang tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya."
"Sudahlah, Daffa. Insya Allah, Allah SWT telah menguji kita dengan berbagai cobaan," jawab Nanda, matanya menatap Daffa dengan penuh pengertian.
"Nanda, aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku ingin memperbaiki semuanya," ucap Daffa, suaranya bergetar.
"Insya Allah, semoga Allah SWT meridhoi niat baikmu, Daffa," jawab Nanda, senyumnya mengembang.
Pertemuan itu menjadi awal dari kisah baru mereka. Daffa dan Nanda saling mencintai dan memutuskan untuk menikah. Dan di hari pernikahannya mereka dipenuhi dengan kemewahan. Dekorasi bernuansa putih dan emas menghiasi setiap sudut ruangan, bunga-bunga harum bermekaran di mana-mana, dan musik lembut mengalun merdu. Nanda tampil anggun dalam balutan gaun pengantin putih yang dihiasi renda halus. Hiasan kepala yang indah menghiasi hijabnya, dan senyum bahagia terukir di wajahnya. Selalu menjaga kesopanan, Nanda tetap mengenakan hijabnya dengan anggun, menutupi rambutnya dengan indah.
Saat Daffa melihat Nanda berjalan mendekatinya di pelaminan, matanya berkaca-kaca. Ia terpesona dengan kecantikan Nanda yang semakin terpancar. Ia merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kembali cinta sejatinya.
Daffa mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu dan para saksi, dan para tamu undangan. Suasana haru dan bahagia menyelimuti ruangan.
"Nanda, kau sangat cantik," bisik Daffa, matanya menatap Nanda dengan penuh cinta.
Nanda tersenyum, "Terima kasih, Daffa. Alhamdulillah, aku juga sangat bahagia bisa menikah denganmu."
Pernikahan Nanda dan Daffa menjadi bukti bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.