.
.
.
Bulan malam itu begitu terang, menggantung tinggi di langit, seakan menyinari setiap sudut yang terabaikan. Di bawah sinar rembulan yang lembut itu, di sebuah kota kecil yang sunyi, ada seorang wanita muda bernama Dinda yang sedang duduk di taman, memandangi langit dengan tatapan penuh harap. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya gelisah, dipenuhi oleh sebuah perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Dinda, yang kini bekerja sebagai seorang guru di sekolah dasar, selalu tampak ceria dan penuh semangat. Namun, di balik senyumnya yang hangat, ada rasa kesepian yang kerap menghantui. Apalagi setelah beberapa bulan terakhir, sebuah perasaan yang tak biasa mulai muncul dalam dirinya—perasaan yang perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, yang tak bisa ia tolak lagi. Itu adalah cinta, cinta yang ia rasakan untuk seorang pria yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Pria itu adalah Ardan, seorang lelaki yang bekerja sebagai pengrajin kayu di desa itu. Sederhana, pendiam, dan lebih suka menyendiri. Ardan datang ke rumah Dinda beberapa bulan lalu untuk memperbaiki sebuah meja tua milik keluarganya. Dalam setiap percakapan mereka, ada sesuatu yang tak bisa Dinda jelaskan, sebuah ketertarikan yang tumbuh perlahan, seperti tanaman yang tumbuh di balik dinding yang tersembunyi.
Namun, Dinda tahu bahwa perasaannya itu tidak mudah untuk dimiliki. Ardan bukan tipe pria yang menunjukkan perasaan dengan jelas. Dia lebih suka diam, lebih suka menjaga jarak. Meskipun begitu, Dinda tak bisa menghindari perasaan itu. Ia tahu, hatinya mulai terpaut pada sosok Ardan. Ia pun tak bisa lagi menutupi rasa ingin tahu tentang lelaki itu, dan tentang bagaimana perasaan Ardan terhadap dirinya.
Pernah suatu malam, saat Dinda sedang duduk di depan rumahnya, Ardan datang membawa sebuket bunga mawar liar yang ia petik dari kebun di tepi hutan. “Ini untukmu,” katanya singkat, namun ada kedalaman di balik kata-kata itu. Dinda menerimanya, merasa ada yang berbeda dari biasanya.
Sejak saat itu, mereka sering bertemu. Ardan tidak berbicara banyak, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa sangat berharga. Dinda merasa seperti ada dunia lain yang hanya mereka berdua yang tahu. Dunia yang dibangun dari kebersamaan tanpa banyak kata, dunia yang dipenuhi dengan keheningan namun penuh dengan makna.
Namun, meskipun kedekatan itu semakin terasa, Dinda tetap bingung. Ia tahu bahwa cinta itu seharusnya menjadi sesuatu yang memberi kebahagiaan, tetapi perasaan yang ia miliki untuk Ardan justru membawa kebingungannya. Bagaimana jika Ardan tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika cintanya hanya ada di dalam angan-angan belaka?
Suatu malam, ketika mereka duduk di taman yang sama, Dinda memutuskan untuk mengungkapkan isi hatinya. Rembulan yang menyorot lembut hanya menambah keindahan suasana malam itu. Dinda menatap Ardan, berusaha mencari keberanian.
"Ardan," Dinda mulai dengan suara pelan. "Aku ingin bertanya sesuatu."
Ardan menoleh padanya, matanya yang gelap menunjukkan ketulusan yang sulit untuk dijelaskan. “Apa itu?”
Dinda menghela napas, memikirkan kata-kata yang tepat. "Apakah kamu pernah merasa... ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan antara kita?"
Ardan terdiam sejenak, matanya kini tak lagi menatap Dinda, melainkan melihat jauh ke arah bulan yang bersinar di atas mereka. Hening sejenak, seperti ada beban yang berat di hatinya. Dinda menunggu dengan sabar, namun detak jantungnya semakin kencang, seperti badai yang siap menerjang.
Akhirnya, setelah beberapa saat, Ardan berbicara dengan suara yang tenang. “Dinda, aku... aku tidak pandai mengungkapkan perasaan. Tapi, setiap kali aku melihatmu, aku merasa ada sesuatu yang membuatku ingin selalu berada di dekatmu. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku merasa tenang hanya dengan melihat senyummu.”
Dinda tersentak. Kata-kata Ardan menyentuh hatinya lebih dalam dari yang ia bayangkan. Rasa cinta yang telah ia pendam selama ini akhirnya terungkap, meskipun dalam cara yang lebih sederhana. Ia tersenyum, sedikit terharu, dan menundukkan kepala.
"Ardan, aku sudah lama merasa seperti itu. Aku hanya... takut jika perasaan ini tidak terbalaskan," katanya, suaranya bergetar.
Ardan meraih tangan Dinda dengan lembut, menggenggamnya erat. "Aku tidak bisa berjanji akan selalu ada untukmu, Dinda, karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi yang bisa aku janjikan adalah aku akan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, dan jika Tuhan mengizinkan, aku ingin berada di sampingmu."
Malam itu, mereka duduk berdua di bawah sinar bulan, berbicara tentang hidup, tentang mimpi, dan tentang apa yang ada di hati mereka. Tidak ada janji-janji besar yang diucapkan, namun perasaan yang mereka miliki saling bertemu, membentuk sesuatu yang lebih indah dari sekadar kata-kata.
Beberapa minggu berlalu setelah malam itu, dan hubungan mereka semakin dekat. Meskipun Ardan masih terbilang pendiam, ia semakin terbuka kepada Dinda. Mereka berbagi banyak hal, baik suka maupun duka, dan Dinda merasa seperti kehidupannya lebih lengkap dengan kehadiran Ardan.
Namun, meskipun begitu, Dinda tahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi ke depannya. Cinta, seperti bulan yang mengelilingi bumi, selalu tampak jauh, selalu tampak indah, tetapi juga penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Namun, Dinda belajar satu hal yang sangat penting: bahwa cinta sejati tidak selalu memerlukan janji atau kata-kata indah. Cinta itu hadir dalam setiap tindakan, dalam setiap perhatian, dan dalam setiap senyuman yang tulus.
Seiring berjalannya waktu, Dinda dan Ardan terus melangkah bersama. Mereka tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, dan terkadang harus melewati banyak rintangan untuk sampai ke tempat yang lebih baik. Tetapi, bersama-sama, mereka merasa lebih kuat, lebih yakin, dan lebih siap untuk menghadapi apapun yang ada di depan.
Dan di bawah langit yang luas itu, di bawah cahaya bulan yang tetap bersinar, Dinda dan Ardan terus melangkah maju, dengan hati yang penuh cinta dan harapan, menuju masa depan yang tak pasti, namun penuh kemungkinan.
.
.
.