Suara riuh peperangan masih terdengar di telinganya, gemuruh, korban berjatuhan menghiasi setiap tanah luas itu. Lalu, ia menatap tubuh kekar tak bernyawa yang merupakan ayahanda tersayangnya, dengan mata yang memerah dan tersedu-sedu.
"Ayahanda, mengapa kau menuruti keinginanku yang menjadi malapetaka ini?" Suaranya pecah, ia tidak dapat menahan airmata yang terus mengalir seperti air terjun yang tidak ada habisnya.
Bagaimana mungkin seharusnya dia dalam keadaan tersenyum bahagia, diarak sampai Wilwatikta?
Kebahagiaan sesaat hanya mendatangkan kehancuran tanpa mengetahuinya.
Dia memeluk erat ayahanda yang penuh luka sayatan. "Ayah, seandainya kau tidak menuruti ku... Galuh akan damai." Tangisannya semakin putus asa.
Pikirannya semakin menghantuinya, bunuh diri? Tidak ada jalan lain untuknya. Harapan itu pupus, ia mulai bangkit dengan wajahnya yang sayu matanya mengernyit penuh dengan amarah dan dendam.
"DENGARLAH WAHAI LANGIT YANG SENDU INI! DENGARLAH WAHAI RAJA SELURUH NUSANTARA! DENGARLAH WAHAI PATIH YANG TELAH MENAKLUKKAN RAJA DUNIA!"
Dia menarik nafas dalam-dalam. "AKU DYAH PITALOKA, PUTRI DARI MAHARAJA LINGGA BUANA, MENGUTUK KAU PRABU HAYAM WURUK. HIDUPMU AKAN DIPENUHI PENDERITAAN, KESEDIHAN YANG SANGAT MENDALAM. KAU JUGA TIDAK AKAN PERNAH TERTIDUR. KAU AKAN DIPENUHI RASA DOSAMU ITU."
saat janji itu selesai diucapkan, dia mengambil belati dari mayat-mayat yang berserakannya, lalu memotong lehernya hingga darah muncrat ketanah. Tubuh itu jatuh ketanah tepat disamping mayat raja Sunda itu.
Mahapatih yang melihat kejadian itu hanya terdiam, wajahnya tetap tegas dan bersikap netral. "Itulah yang aku lakukan sesuai sumpahku." Gumamnya, dia meninggal lapangan luas itu dengan tenang dan tersenyum.
Raja yang bijaksana itu seketika berlutut, memeluk kepala calon istrinya. Air mata perlahan jatuh menuju wajah yang halus itu. "Maafkan aku, cintaku.... maafkan aku...aku tidak bisa membendung ini." Sesenggukan. "Maafkan aku." Lantas dia membenamkan wajahnya ke wajah putri Sunda itu.
Suara langkah kaki pelan laki-laki, wajahnya tertunduk prihatin. Ia memulai berbicara, "yang mulia." Prabu Hayam Wuruk yang sedang berduka atas wanita tersayangnya itu, mendongak, matanya memerah kulitnya sangat pucat karena pelepasan emosi yang tidak terkendali. "Ada apa Joko? Kau telah melihatnya, bukan? Perang saudara ini...aku seharusnya bisa menghentikannya." Tangannya terus membelai rambut yang penuh darah.
Joko mendesah, "tidak yang mulia....jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini sudah kehendak takdir para dewa. Kita hanya bisa memperbaikinya." Ia lantas mengangkat kedua bahu yang sedari tadi turun. "Pimpinlah dengan penuh keadilan, jangan pernah jatuh hanya karena wanita."
Mendengar motivasi yang diberikan oleh penasihat setianya. Dia bangkit dan menatapnya. "Segera bangunkan kolam di halaman Trowulan ini." Perintah sang prabu dengan tegas.
Kolam itu segera dibangun selama beberapa malam. Selama itu juga sang prabu untuk mengurangi rasa gelisah nya ia sering bertapa ketika malam hari meminta petunjuk pada dewa Siwa. Pada tahun 1357 kolam malam saka kolam itu akhirnya jadi.
Di Kailash dewa siwa mendengar doa prabu penakluk Nusantara itu, dia turun dengan menjelma sebagai biksu yang sangat tampan hingga membuat masyarakat Jawa kala itu pingsan dan ada yang sampai mati. Dengan berjalan di tempat meditasinya, dia dengan lembut berkata, "tenanglah wahai anakku wanitamu akan segera bereinkarnasi." Ucapan tersebut membuat Prabu Rajasa itu tersenyum, hatinya sangat gembira. Ia terus menunggu gadis itu lahir.
15 tahun kemudian....
"Ahhhh!! Sakit sekali!" Teriakan melengking di kamar sang ratu uma dewi yang sedang berusaha mengeluarkan bayinya. Tangan kekar raja Niskala wastu menggenggam tangan sang ratu. "Kau harus kuat Dinda... Putri kita akan segara lahir." Bibirnya terus menempel di punggung tangannya, memejamkan mata sembari berdoa.
'owa~owa~owa~' suara tangisan bayi bergema di seluruh ruangan.
Nyai Ageng segera menggendong bayi tersebut, membersihkannya dan membungkusnya dengan kain hangat. "Wah, selamat yang mulia, putri anda sangat cantik. Sama seperti rembulan malam." Ucapnya dengan senyuman sambil memberikan bayi itu pada sang ratu yang lemah karena persalinannya.
Segera tangannya mendekap tubuh mungil itu, tangan mungilnya meraih udara dan tersenyum pada ibunya. "Lihat, kanda. Putri kita sangat cantik. Ia rembulan Galuh kita." Ia mencium keningnya putrinya. Sang raja mendekapnya erat-erat dan mencium kepala istri tercintanya. "Aku akan memberikan nama untuk Putri kita Dyah citra Arum Sari." Ia menggendong putrinya berjalan ke arah balkon keraton dan mengangkat bayi itu.
Seketika seluruh rakyat Galuh bersorak-sorai, menyabut calon ratu baru.
Kabar kelahirannya tersebut segera menyebar di seluruh kerajaan khususnya Majapahit. Ketika prabu Hayam Wuruk memerintahkan pasukannya untuk ke galuh dengan membawa hadiah atas kelahiran putri Galuh tersebut, rombongan mereka langsung ditolak mentah-mentah oleh raja Niskala karena sejak pertempuran Bubat orang-orang Sunda khusus Galuh menjadi membenci orang-orang Jawa Majapahit.
Sang prabu Hayam Wuruk terus memandangi lukisan wanita yang seperti rembulan dan dengan berkalung perhiasan. "Pitaloka....kau sangat cantik sekali..sudah lama aku merindukanmu, Sayang." Tak sadar air mata kerinduan turun, hatinya sangat sakit setiap kali dia melihat wajah wanita itu.
Hingga suara langkah kaki bergema dan ternyata Mahapatih gajah Mada yang haus akan ambisinya akan rencana penyerangan Galuh kembali. "Prabu, saya usulkan akan melakukan penyerangan kembali terhadap Galuh. Kerajaan kita telah kalah dikala peperangan lalu." Suaranya yang tegas dan berwibawa.
"Tutup mulutmu Mahapatih!" Suaranya penuh amarah yang sangat mendalam, sudah sangat lama sang prabu pendam. "Ambisimu itu menghancurkan keraton ini! Kau juga telah memutuskan hubungan kita dengan kerajaan yang merupakan saudara kita!" Suaranya tanpa rasa ampun. "Ingatlah leluhur keraton ini adalah keturunan Sunda juga. Ia mempunyai darah Sunda." Setelah memperingatinya,sang prabu segera pergi meninggalkannya.
Mahapatih yang perkasa itu terdiam, hanya baru kali ini saja kata-kata itu sangat tajam dan menyakitkan. Namun, pendiriannya tak berubah, dengan wajah dingin dan penuh tekad, dia mulai pergi dan merencanakan penyerangan.
Kerajaan Galuh selalu diwarnai keceriaan, sejak, putri Dyah citra Arum Sari lahir dan tumbuh. Ia menjadi anak yang tangkas, cerdas, bijaksana dan pemberani. Ia sering menghabiskan waktunya bersama prabu Niskala, ayahnya, membahas tentang politik pemerintahan. Kecintaan akan lukisan membuat dia selalu bertanya-tanya sejarah dibalik gambar tersebut.
"Ayah, mengapa lukisan itu selalu ditutup dengan kain?" Tanya sang putri penuh rasa ingin tahu. Jari-jarinya menunjuk lukisan yang tidak lain bukan Dyah Pitaloka yang telah tiada lima belas tahun lalu.
Ayahnya mendesah berat, ia menatap putrinya sejenak lalu lukisan tersebut. "Dia adalah Dyah Pitaloka.. saudari kakek.." jeda "dia salah satu korban utama pada perang Bubat...karena ambisi Patih kejam itu." Ucapnya dengan tajam.
Dyah citra membelalak kaget, "Patih? Siapa,
ayah?" Rasa ingin tahu semakin menggerogoti hatinya. Tetapi ayahnya hanya terdiam dan mengalihkan topik pembicaraan. "Sayangku, kau masih terlalu muda untuk sekarang. Kau akan mengetahuinya suatu hari nanti." Ucapnya pada putrinya dengan lembut.
Dyah citra hanya mengangguk dan menghormati perkataan ayahnya, dia tidak tahu bahwa di dalam jiwanya Dyah Pitaloka hidup.
Pada tahun 1401 perang antara kerajaan Sunda Galuh dan Majapahit terjadi dengan Mahapatih yang turun tangan ke medan pertempuran. "Aku akan melaksanakan sumpahku!" Teriakan itu menggelegar di lapangan luas yang akan dikenal sebagai Segoro citro.
"Aku tidak akan pernah membiarkan mu menaklukkan kerajaan ku!" Ucap sang prabu Niskala di sisi kanan. Keduanya memiliki tekad yang sangat kuat dan tak terelakkan.
Perang pun terjadi antar dua kerajaan itu, padahal seharusnya mereka merendahkan ego mereka masing-masing agar bisa terwujudnya persatuan.
Prabu Hayam Wuruk yang ikut membantu dalam penaklukan tersebut hanya bisa pasrah. Apalah daya baginya mengingat dia telah menyepakati sumpah tersebut. Yang hanya dipikirannya adalah Dyah Pitaloka....
Hingga seorang wanita muda yang tidak lain adalah Dyah citra Arum Sari ,reinkarnasi Dyah Pitaloka menyerangnya. Prabu Hayam Wuruk melawannya dengan keterampilan perangnya dia berhasil melepas kain penutup wanita muda itu.
"Dyah.. Pitaloka..." Suaranya sangat terbata-bata matanya melebar, mulutnya menganga.
Wanita itu segera melompat menjauh darinya. Goresan yang sangat menyakitkan di pipinya. "Sial, raja itu sangat tangguh." Gerutunya.
Keduanya saling kejar-kejaran, hingga prabu Hayam Wuruk melompat dan menangkapnya.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Teriak sang putri berjuang melawan cengkeramannya.
Prabu Hayam Wuruk segera mengusap wajahnya dan ia segera tertidur. Kakinya melompat, terbang menuju Majapahit dan membaringkannya dikamar nya.
Dua hari kemudian...
Perang pun telah usai dengan raja mereka prabu Niskala tewas karena keganasan Mahapatih. Ini membuat kerajaan Galuh sekarang bawahan Majapahit. Patih gajah Mada tersenyum puas akibat dari sumpah kejamnya itu.
Di Majapahit Dyah citra mulai siuman, matanya terbelalak ketika melihat ruangan yang terasa asing namun mengenalnya. "Pitaloka, akhirnya kau sudah sadar.." sang prabu memegang tangannya tetapi ia menepisnya. Matanya menjadi tajam dan penuh kebencian. "Jangan menyentuhku. Kau telah menculik."
"Tidak, aku tidak menculik mu...aku telah menunggu mu selama belasan tahun." Ucap sang prabu yang berusaha meyakinkannya. Dyah citra yang mendengar hal tersebut menjadi terkejut. "Kau..menyebutku.. sebagai Dyah Pitaloka.. leluhurku?" Prabu mengangguk dan langsung memeluknya erat. "Tentu, kau adalah Dyah ku, Dyah Pitaloka." Seakan-akan para dewa merestuinya, hati mereka saling terjalin.
Dyah citra Arum menghabiskan waktunya di Majapahit selama dua bulan. pada awalnya dia sangat ragu dan waspada tetapi keteguhan hati sang prabu membuat hati calon ratu tersebut luluh. Hingga mereka mengetahui kerajaan Galuh menjadi bawahan Majapahit membuat prabu Hayam Wuruk naik pitam.
"DUG!" Suara gebrakan meja
"Gajah Mada!" Ia tidak memanggilnya dengan nama kehormatan. "Kali ini aku tidak mentolerir ambisimu itu! Aku akan menghukum mu!" Suaranya melengking tinggi.
Mahapatih hanya menyeringai tajam dan melipatkan pergelangan tangannya. "Bukankah sumpah ini juga yang membuatmu bangga padaku?"
Sang prabu langsung terdiam dan merenungkan, tidak lama dia menggelengkan kepala tekad yang membara. "Kau sudah tidak manusiawi. Kau bukan lagi Patih kepercayaan ku, sekarang kau keluar!"
Sang Patih akhirnya keluar dari Majapahit, dia terus berjalan ke sebuah hutan belantara dan mendapatkan karmanya, dibakar oleh petir yang menyambar tepat siang bolong.
Dyah citra Arum yang mendengar kematian ayahnya tercinta langsung lemas, tetapi beruntungnya prabu Hayam Wuruk selalu menguatkannya. Kerajaan Galuh sudah tidak menjadi bawahan Majapahit lagi, dan tidak ada lagi larangan menikahi suku Jawa dan Sunda. Mereka hidup berdampingan.
Dua tahun kemudian mereka menikah dan memiliki dua orang putra kembar yaitu Niskala panca dan Niskala Wardhana. Yang akan menurunkan raja-raja Sunda dan Jawa.
Prabu Hayam Wuruk merangkul wanita yang sekarang istrinya, Dyah Arum. Sembari menatap kolam yang pernah ia buat untuknya dan tersenyum. "Dinda, terimakasih sudah melewati ini bersama-sama."
Dyah citra Arum mencium dan membelai pipi suaminya. "Tentu saja, sayang. ini berkat cinta dan pengorbanan kita." Dia menatap langit. "Para dewa telah mentakdirkan kita untuk bersatu..demi negeri ini. Aku sangat mencintaimu, kanda."
"Aku juga mencintaimu, Dinda." Prabu Hayam Wuruk mengecup bibirnya.
Keduanya pun saling berpelukan bagai air yang tidak pernah berpisah walaupun sudah diguncang seribu kali. Menatap kolam yang menjadi simbol cinta mereka. Anak-anak mereka saling bermain kejar-kejaran dengan riang gembira.
Mereka akan dikenal sebagai sang pemersatu dua kerajaan pulau Jawa sepanjang masa.