Pak Hasan menatap ruang kelas yang kini baginya semakin terasa asing. Sudah 10 tahun dia mengajar, namun mengajar anak didik di zaman modern ini, sungguh sangat berat tantangannya. Seorang guru kini tidak lagi di hargai jasanya. Lalu jika jasanya tak di hargai, kenapa tidak di tutup saja sekolah. Biar para orang tua saja yang mengajarkan anaknya. Jika di tegur dikit, mengharuskan kita di penjara. Adil kah dunia, pada pendidikan saat ini?
Kini anak nakal makin nakal. Jika ditegur dikit saja, harus bersedia di laporkan ke polisi. Perlahan pak Hasan memasuki kelas dan dia melihat Raka, salah satu siswanya kembali mengacaukan kelas. Dia melemparkan buku ke temannya sambil tertawa dengan keras. Temannya pun ikut tertawa. Mereka mengabaikan pak Hasan yang sudah masuk kelas, padahal mereka sudah melihat pak Hasan memasuki kelas. Sungguh miris anak sekarang. Suasana belajar mengajar menjadi kacau. Pak Hasan menghela napas.
"Raka, cukup! Hentikan semuanya!" tegur pak Hasan dengan tegas. Namun Raka tak mengindahkannya. Dia malah tersenyum dan mengejek pak Hasan. "Ada apa pak? Mau ku laporkan ke polisi lagi pak?" ucapnya dengan nada menantang, disambut dengan tawa teman-temannya dan siswa lainnya. Pak Hasan mengengam kapur di tangannya erat-erat. Ada amarah yang mengelora di hatinya. Ada kemarahan dan sedih melihat pendidikan sekarang yang telah rusak. Anak-anak semakin minim akhlak. Ia berdiri lalu memanggil Raka, "Raka, ke depan sekarang! Berdiri di sini sampai pelajaran selesai? Jika kalian seperti ini terus, kapan kalian itu bisa pinter? Mau jadi apa kalian jika terus seperti ini? Mau jadi beranda? cepat kesini!" bentak pak Hasan dingin.
Raka mendengus, tetapi ia tetap melangkah ke depan kelas dengan malas. Pak Hasan mengambil penghapus papan tulis, dan meletakkannya di atas kepala Raka.
"Biar ini jadi pengingar. Hormati dirimu sendiri dan juga hormati orang lain." belajar mengajar berlangsung dalam keheningan. Bel pulang berbunyi, dan Raka meninggalkan kelas sambil mengerutu.
Dilain sisi, pak Hasan tak menyangka kejadian itu menjadi heboh.
Esok paginya ruang kepala sekolah kedatangan orang tua Raka. Mereka datang penuh dengan amarah. Mereka datang bersama polisi.
"Beliau ini telah menghina, mempermalukan, dan mengintimidasi anak saya Raka.
Pak Hasan menghela napas berat.
"Saya tidak ada niat, menghina, mempermalukan atau pun mengintimidasi anak anda. Saya hanya menjalani tugas saya sebagai guru. Apa itu salah? Saya hanya mengajarkan tanggung jawab dan disiplin, bu. Jika anak ibu tidak diajarkan tanggung jawab dan disiplin, apa bapak dan ibu mau melihat anak kalian melakukan kenakalan terus? Tugas guru hanya mengajarkan. Jadi dimana letak salah saya?"
"Kami akan perpanjang kasus ini ke polisi!" seru sang ibu sambil menunjukkan wajah pak Hasan dengan jarinya. "Anak saya trauma! Guru macam apa kamu yang mempermalukan siswa di depan teman-temannya?"
"Jika anak ibu tidak mau di permalukan, tidak usah disekolahkan bu. Ajari saja anak anda di rumah. Bukankah di zaman covid kemarin, para orang tua merasakan bagaimana mengajarkan anaknya sendiri di rumah. Trauma seperti seperti apa yang anda maksud? Hanya di hukum di depan kelas membuat anak anda trauma? Sebegitu lemah kah mental anak-anak sekarang? Silahkan di perpanjang bu. Saya tidak takut. Saya lebih memilih penjara, daripada melihat pendidikan yang sekarang sudah pada rusak, dan para siswa minim akhlak pada gurunya. Pada gurunya saja tidak bisa menghormati, bagaimana dengan sesama temannya dan juga pada orang tuanya sendiri. Anak-anak di hukum karena nakal. Jika anda mengatakan anak anda tidak nakal, mungkin dia tidak menunjukkan kenakalannya saat di rumah. Jadilah orang tua yang bijak. Jangan mau di bodohi oleh anak yang masih umuran belasan tahun. Kadang-kadang anak-anak selalu membesar kan masalah. Omongannya tidak sesuai yang terjadi."
Berita itu menyebar begitu cepatnya. Orang tua yang dulu diam, kini angkat bicara. Ada yang membela pak Hasan, ada juga yang menginginkan beliau berhenti mengajar.
Guru-guru lain hanya menatap dari kejauhan, tak ada yang berani membelanya terang-terangan.
Pak Hasan pulang dengan langkah berat. Di rumahnya yang sederhana, ia duduk di kursi tua di samping rak buku yang penuh debu. Sertifikat dan penghargaan yang ia peroleh bertahun-tahun terasa seperti lelucon belaka.
"Mengapa merka lupa? Bahwa guru bukanlah seorang musuh." gumamnya menatap jendela. " Kami hanya ingin mereka tumbuh menjadi manusia baik dan berpendidikan. Kenapa kami yang di salahkan?"
Di pagi hari, dua orang polisi mendatangi rumahnya dan memborgolnya. Berita ini semakin menyebar luas. Ada juga yang menyebarkannya ke medsos. Seorang pengacara memutusakan untuk membela pak Hasan. Namun saat sedang mendalami kasus tersebut. Medsos dan orang-orang kembali di hebohkan karena kematian pak Rizki Pratama, yang masih berumur 27 tahun. Beliau juga menolong dengan suka rela, tanpa meminta bayaran.
Akhirnya putusan hakim memberi hukuman penjara bagi pak Hasan.
Seminggu menjadi napi dan tidak mengajar lagi, suasana kelas menjadi berbeda. Para murid semakin nakal, karena tidak ada yang berani menegur mereka. Ada yang tidur, merokok, bermain hp dan bercerita di kelas.
Namun seiring berjalannya waktu, para murid menjadi kesepian karena tidak ada guru yang memperhatikan mereka. Tapi karena empati mereka kurang, mereka lebih memilih menikmati suasana kelas dari pada memikirkan masa yang akan datang.
"Kadang, seorang guru hanya diingat setelah ia tak ada. Tapi biarlah, tugas kami bukan untuk dikenang, melainkan untuk memastikan kalian bisa berjalan di jalan yang benar, meski kami harus mengorbankan diri kami."