...
Hujan di penghujung sore menyapu jalanan kota yang hiruk pikuk. Langit kelabu menggantung rendah, mengiringi suasana hati Farel yang juga mendung. Di balik jendela kecil apartemennya, ia berdiri memandangi tetesan air yang beradu dengan kaca. Di tangannya, secangkir kopi hitam mengepul, aromanya memenuhi ruangan, namun tak cukup kuat mengusir dingin yang merayap ke dalam hatinya.
Di antara bunyi gemericik hujan dan lampu jalanan yang mulai menyala, kenangan-kenangan lama muncul tanpa diundang. Ia mencoba mengusirnya, tapi tak bisa. Bayangan seorang gadis, dengan senyum manis dan rambut hitam panjang yang selalu ia kangenkan, memenuhi pikirannya.
"Lila..." bisiknya pelan.
Nama itu sudah bertahun-tahun ia coba lupakan, tapi semakin ia mencoba, semakin kuat kenangan itu menghantui. Lila adalah kisah yang tak pernah selesai, cinta yang tak pernah benar-benar pudar meski waktu berlalu.
---
Beberapa tahun yang lalu, di taman kecil di pinggiran kota, Lila dan Farel duduk di bawah pohon rindang, menikmati senja. Langit jingga memayungi mereka, memberikan kehangatan di tengah dinginnya sore.
“Rel, kamu tahu apa yang aku suka dari senja?” tanya Lila sambil menatap langit.
“Apa?” Farel menjawab sambil mengaduk-aduk es kopi di tangannya.
“Senja itu sederhana, tapi indah. Dia datang tanpa janji, tapi selalu membuat orang yang melihatnya merasa damai.”
Farel terkekeh kecil. “Kamu itu filosofis banget kalau ngomong, La.”
Lila mencubit lengannya. “Serius, Rel. Aku pengin kita seperti senja. Sederhana, tapi penuh makna.”
Farel menatap Lila lekat-lekat. Di mata gadis itu, ia selalu menemukan kehangatan yang sulit ia temukan di tempat lain. “Kita bisa, La. Kita janji, ya. Apa pun yang terjadi, kita akan selalu kembali ke sini. Kalau kita kehilangan arah, kita mulai lagi dari awal.”
Mereka saling mengaitkan jari kelingking, janji sederhana yang penuh arti. Tapi seperti senja, kebahagiaan mereka juga tak bertahan lama.
---
Waktu berlalu, dan kehidupan berjalan dengan caranya yang keras. Lila dan Farel, yang dulu tak terpisahkan, mulai menjauh. Rutinitas dan ambisi memisahkan mereka sedikit demi sedikit.
“Aku cuma pengin kamu ada buat aku, Rel,” kata Lila suatu malam, dengan mata yang basah oleh air mata.
“Aku selalu ada, Lila! Tapi aku nggak bisa terus-terusan nurutin maumu. Aku kerja keras ini buat kita juga!” balas Farel dengan nada tinggi.
“Rel, yang aku butuhkan itu perhatian kamu, bukan uangmu! Aku capek merasa seperti aku nggak penting buat kamu.”
Pertengkaran demi pertengkaran semakin sering terjadi. Lila merasa tidak lagi dihargai, sedangkan Farel merasa usahanya tidak pernah cukup. Hingga akhirnya, Lila mengambil keputusan yang paling berat.
“Aku nggak bisa terus begini, Rel. Kita butuh waktu untuk sendiri-sendiri. Aku... aku butuh mencari kebahagiaanku sendiri,” kata Lila dengan suara bergetar.
Farel hanya diam. Ia tahu ia salah, tapi egonya terlalu besar untuk mengakui. Lila pergi malam itu, dan mereka tidak pernah bertemu lagi.
---
Lima tahun berlalu, dan Farel kini menjalani kehidupannya sebagai seorang desainer grafis. Kesibukannya sering kali menjadi pelarian dari rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantuinya. Namun, di sudut hatinya, ia tahu ada sesuatu yang belum selesai.
Hujan sore itu seolah memanggilnya untuk kembali ke taman kecil tempat ia dan Lila dulu sering bertemu. Ia mengenakan mantel dan membawa payung, lalu melangkahkan kakinya ke tempat yang penuh kenangan itu.
Taman itu masih sama seperti dulu. Pohon rindang tempat mereka sering duduk masih berdiri kokoh, meskipun beberapa daunnya telah gugur. Farel berdiri di bawah pohon itu, membiarkan hujan membasahi sebagian tubuhnya. Ia menutup matanya, mencoba mengingat kembali senyum Lila, tawa renyahnya, dan janji mereka yang belum ditepati.
“Rel?”
Sebuah suara lembut membuatnya tersentak. Ia membuka matanya dan menoleh. Di sana, berdiri seseorang yang tidak pernah ia duga akan ia temui lagi. Lila.
Waktu telah mengubah beberapa hal. Rambut Lila kini lebih pendek, dan ada garis-garis halus di sudut matanya. Tapi senyumnya, senyum yang selalu membuat Farel merasa hangat, tetap sama.
“Lila...” Farel hampir tak percaya.
“Hai,” jawab Lila dengan senyum kecil.
“Apa kabar?” tanya Farel akhirnya, meski hatinya masih bergetar oleh emosi yang bercampur aduk.
Lila menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku baik. Kamu sendiri?”
Farel mengangguk pelan. “Baik juga.”
Keheningan melingkupi mereka untuk beberapa saat. Hanya suara hujan yang terdengar, seperti mencoba mengisi kekosongan di antara mereka.
“Kamu masih ingat tempat ini, ya?” tanya Lila akhirnya.
“Gimana aku bisa lupa? Ini tempat kita berjanji,” jawab Farel dengan suara serak.
Lila tersenyum pahit. “Aku sering ke sini. Tempat ini selalu mengingatkanku pada kita.”
“Maaf, La,” kata Farel, menundukkan kepalanya. “Aku yang salah. Aku nggak pernah cukup buat kamu.”
“Rel,” potong Lila, menatapnya dengan mata yang lembut. “Aku nggak pernah menyalahkan kamu. Kita cuma... nggak siap waktu itu. Kita terlalu muda dan terlalu egois.”
Farel menatap Lila, mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. “Kalau saja aku bisa mengulang waktu, aku...”
“Kamu nggak perlu mengulang waktu, Rel. Yang kita punya cuma sekarang. Jadi, apa yang mau kamu lakukan sekarang?”
---
Hari-hari berikutnya, Farel dan Lila mulai sering bertemu lagi. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang kesalahan mereka, dan tentang harapan yang masih tersisa. Mereka perlahan belajar untuk memaafkan diri sendiri dan satu sama lain.
Pada suatu sore, di bawah pohon rindang itu, Farel berkata, “Aku nggak akan mengecewakan kamu lagi, La. Kalau kamu mau, kita bisa mulai lagi dari awal.”
Lila tersenyum, senyum yang penuh harapan. “Kita mulai lagi, ya, Rel. Tapi kali ini, jangan cuma janji. Kita buktikan.”
Dan di bawah langit jingga yang menjadi saksi, mereka membuat janji baru, janji yang kali ini akan mereka perjuangkan bersama.
---