Pria tadi benar. Orang-orang yang menjadi targetku pergi tengah malam. Mereka berjalan keluar dari kedai dengan tenang dan bergegas. Aku mengikuti mereka keluar kota, berusaha tidak terlihat. Mereka berjalan ke arah timur laut menuju tepi sungai. Alih-alih langsung pergi ke jembatan, mereka berbelok ke jalan setapak.
Aku melangkah dengan hati-hati ketika orang-orang itu berjalan cepat, hampir keluar dari pandanganku. Tersisa sekitar empat puluh kaki di belakang mereka, aku membiarkan mereka membimbingku menuju perkemahan. Aku memanjat pohon terdekat untuk mendapatkan pemandangan yang lebih baik. Ada dua pria lain dengan seragam yang sama menunggu mereka. Sepertinya mereka berdebat tentang koin yang dihabiskan Stephen di kedai minuman.
"Di mana pembayaran kami? Kami melakukan semua yang kamu minta, termasuk membakar pondok. Tidak ada jejak bagi penjaga untuk menemukan kami," ujar salah satu pria.
Jantungku berdetak kencang.
Mereka membakar rumahku?
Paman dan aku baru saja menguburkan ibu dan ayah. Kapan mereka punya waktu untuk membakar rumahku?
Api yang menyala di telapak tangan memberiku jawaban. Pasti ketika aku pergi menemui Narasimha— ketika aku jatuh pingsan.
Kemarahanku meningkat saat aku mencoba menahan api di dalam diriku yang mengancam untuk memakanku. Aku harus menunggu kesempatan yang tepat sehingga mereka dapat melihat wajah gadis yang keluarganya mereka ambil. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menajamkan pendengaran.
"Kamu akan mendapatkan pembayaranmu ketika kita pergi dari sini saat pagi hari. Jembatan di jalan akan membawa kita ke Pelabuhan Harbour Bay. Dari sana, kita akan naik kapal menuju ke timur," kata Stephen santai.
Mereka berencana untuk pergi sesegera mungkin. Aku harus bertindak cepat. Aku tidak bisa memberi mereka kesempatan untuk berlari lebih cepat dariku sekarang.
Orang-orang itu berhenti berdebat, lalu duduk di dekat perapian. Mereka berbicara tentang rencana menuju kedai di mana sisa desertir akan bertemu untuk membahas langkah selanjutnya, yakni keluar dari perbatasan kerajaan.
Jadi, ada lebih banyak dari mereka. Aku mungkin harus berurusan dengan orang-orang baru juga.
Pria bernama Krish berdiri, kemudian berjalan keluar dari perkemahan. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Satu hal yang pasti, dia kesal dengan Stephen. Kukira dia juga mengharapkan pembayaran lebih
Awal dari yang direncanakan Stephen. Alih-alih berdebat dengan Stephen, dia memutuskan pergi untuk menenangkan diri.
Dengan hati-hati, aku memanjat pohon guna menyelinap di belakang pria itu. Aku menendang bagian belakang lututnya. Secepat mungkin aku membungkam mulutnya, belati menempel di tenggorokannya.
"Jangan bersuara. Jika kamu melakukannya, aku akan membunuhmu sekarang. Apakah kamu mengerti?"
Pria itu memberontak untuk melepaskan dekapanku. Tidak ada pilihan lain. Aku menggorok lehernya. Tubuhnya bergetar saat darah mengalir keluar. Saat aku yakin dia tidak akan bersuara, aku menjatuhkan tubuhnya di atas tanah, membiarkannya membusuk di sana.
Orang-orang di perkemahan bersiap untuk beristirahat, tidak repot-repot menunggu Krish. Aku berjalan mendekati perkemahan. Mereka berdiri sambil menghunus pedang dengan cepat. Aku melemparkan dinding api yang langsung mengelilingi mereka. Mereka meringkuk ketakutan.
Aku menurunkan tudung dan topengku untuk memperlihatkan wajahku.
"Aku adalah putri dari keluarga yang kalian bantai. Kejahatan kalian harus dibayar dengan nyawa kalian!” Aku mengancam mereka.
Colton meluncur ke depan, mengangkat pedangnya. Aku mengirim bola api dari telapak tangan menuju dadanya, namun aku hentikan sebelum mengenai target. Seluruh tubuhnya terbakar saat dia bergegas untuk memadamkan api. Bibirku melengkung melihat dia menjerit kesakitan. Begitu juga pria-pria lain yang melangkah mundur ke tepi dinding api.
"Sama seperti kalian membakar rumahku, aku akan membakar kalian semua!”
Stephen berpaling kepada anak buahnya. "Jika ada di antara kalian yang ingin dibayar dua kali lipat, bunuh dia!"
Aku terkekeh, merasakan kekuatanku tumbuh.
Aku mengangkat tanganku ke atas, memanggil api di dalam diriku, lalu memindahkan dinding api untuk mengelilingi orang-orang itu. Telapak tanganku bergerak, aku mengirim keinginanku sambil mendorong api ke depan secara perlahan-lahan untuk mempersempit ruang gerak mereka.
Mereka saling memukul dan mendorong untuk melindungi diri mereka sendiri. Salah satu dari mereka mendorong temannya begitu keras hingga jatuh tepat ke dalam pusaran api yang segera membakarnya, membunuhnya dalam hitungan detik.
Dinding api menutup jalan keluar mereka, memaksa mereka terjebak di sana hidup-hidup. Perlahan dan menyakitkan. Aku menyaksikan mereka berteriak, memohon kepadaku untuk berhenti. Memohon padaku untuk menyelamatkan hidup mereka. Aku mengabaikan permohonan mereka. Memilih mendengarkan sampai tangisan mereka tidak terdengar lagi.
Hanya Stephen yang tersisa.
"Aku akan memberimu apa pun yang kamu inginkan, Penyihir. Sebutkan saja hargamu!" serunya dengan nada sombong.
Aku berjalan ke arahnya saat dia melangkah mundur, menjatuhkan pedang di dekat kakinya.
"Apa saja. Aku akan memberimu apa saja. Aku punya uang—barang yang bernilai mahal. Kamu dapat memiliki semuanya jika kamu mau mengampuni hidupku."
Aku berdiri di depan Stephen sambil memiringkan kepala.
"Apakah ada uang yang kamu bicarakan?" tanyaku.
Stephen mengangguk singkat, lalu melemparkan kantong sisa koin yang dia miliki dari menjual perak milik ibuku ke dekat kakiku. Aku mengambil kantong itu, lantas menggali isinya. Aku menarik segenggam koin, membuat Stephen tersenyum.
Aku teringat kembali wajah ibuku yang tersenyum. Dia begitu cantik, tampak bersinar ketika memberi tahu ayah dan aku bahwa dia hamil—bahwa aku memiliki seorang adik perempuan dalam kandungannya. Ketika ayah bertanya kepadanya bagaimana dia tahu bahwa bayinya perempuan, ibu hanya mengatakan itu adalah naluri keibuan.
Aku sangat bahagia hari itu. Aku menghabiskan sisa sore dengan menyiapkan makan malam untuk keluargaku. Aku membuat rebusan yang sangat buruk, aku tahu ibu telah berbohong, mengatakan kepadaku bahwa masakanku sangat enak. Ayah membangun tempat tidur bayi baru. Keluargaku yang bahagia, mereka telah pergi untuk selamanya.
Aku mencengkeram koin di tanganku, melawan air mata yang hendak jatuh.
"Jadi, apakah kita punya kesepakatan?" tanya Stephen, membawaku keluar dari ingatan.
"Ayo buat kesepakatan baru!" seruku
Seringaian Stephen lenyap seketika. Matanya melebar.
Aku menutup celah yang tersisa di antara kami sambil menatap matanya. Tidak ada tempat baginya untuk pergi. Aku mengirimkan kehendakku ke dinding api guna mengurangi volume api sampai tidak meninggalkan apa pun kecuali bara api.
"Apa yang kamu inginkan?" tanyanya.
Air mata panas jatuh di pipiku. "Keluargaku."
Api menari-nari di tanganku saat aku mendorong tinjuku menuju dadanya sebelah kiri, perlahan-lahan membakar sisa-sisa kehidupan dalam dirinya. Stephen mencoba berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar saat aku membakar tenggorokannya. Tubuhnya perlahan berubah menjadi sesuatu seperti sekam. Aku melihat matanya berputar kembali di kepalanya. Mulutnya memuntahkan bara api.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan api di dalam diriku. Tubuh hangus di sekitarku mengisi lubang hidungku dengan bau yang mengerikan, namun aku tidak peduli. Aku sudah melakukannya. Pembunuh keluargaku sudah mati.
Aku melihat tanganku, mengepalkan tinju, kemudian melepaskannya. Tanganku kesemutan dan menjadi panas sampai pada titik di mana aku bertanya-tanya apakah aku telah memaksa diriku terlalu jauh.
"Kurasa Narasimha benar," gumamku.
Aku berbaring di tanah, meletakkan tanganku di perut sambil melihat ke langit. Awan kelabu menutupi sinar matahari yang mulai terbit. Sepertinya akan turun hujan.
Aku selalu menyukai hujan musim semi yang lembut.
"Ayah. Ibu. Aku akan pulang."
🔥SELESAI🔥