"Apakah kamu menyadari? Jika kamu melakukan ini, mungkin akan mengorbankan hidupmu," kata Narasimha sambil mengaduk bahan terakhir ke dalam mangkuk kayu.
Aku menarik napas panjang, kemudian menjebaknya di dadaku. Aku tahu kemungkinan selamat dari hal ini sangat kecil, tapi harus dilakukan. Keluargaku pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah mereka dapatkan. Mereka pantas hidup panjang dan sehat, juga membesarkan adik perempuanku. Namun, mereka sudah pergi. Sekarang tugasku untuk membawa mereka dalam keadilan.
Dan membuat pembunuh mereka harus membayarnya.
"Aku tahu.” Akhirnya aku berbicara.
Narasimha menggerutu sebelum melemparkan sesuatu ke dalam mangkuk, menyebabkan reaksi disertai kepulan asap. Tidak ada baunya, tetapi tampilan cairan gelap di dalamnya seolah dapat membalikkan isi perutku.
"Minumlah! Minuman ini akan memberimu kekuatan yang kamu cari. Kekuatan api untuk membakar musuhmu.” Dia menyerahkan mangkuk padaku, lalu aku meneguknya tanpa ragu-ragu.
Cairan membakar tenggorokanku saat kuminum. Aku tersedak merasakan panas menyebar ke dadaku seakan-akan mematikan udara yang lewat. Kepalaku berputar dan penglihatanku kabur. Aku tersentak, mencoba bernapas. Tubuhku terbanting ke lantai sambil mencengkeram tenggorokanku.
Kemudian, segalanya menjadi gelap.
🔥🔥🔥
Aku membuka mata, menemukan diriku terbaring di hutan. Sinar matahari membutakanku selama beberapa saat. Aku mencoba duduk sambil melihat sekeliling, tidak ada tanda-tanda keberadaan pondok Narasimha.
"Di mana aku?"
Telapak tanganku menekan dahan pohon untuk membantuku berdiri. Panas terpancar dari telapak tanganku, sementara tanda hangus hitam muncul di pohon.
Tanganku terlihat normal, tetapi terasa panas seolah-olah aku baru saja memegang bara api di perapian. Aku mengulurkan tangan ke depan, tiba-tiba bola api melesat keluar dari telapak tanganku. Bola api itu menghantam diri ke pohon lain hingga terbakar. Semua daun dan cabangnya hangus.
Aku mengepalkan tangan. Berhasil—ramuannya berhasil. Sekarang, sudah waktunya bagiku untuk menemukan pembunuh keluargaku.
🔥🔥🔥
"Semua ini terlalu berbahaya. Kamu pasti akan dibunuh," kata pamanku sambil meraih bahuku, seolah hendak mengguncangku agar memasuki akal sehat kembali.
Aku menepis tangannya, kemudian meraih pedang ayahku. "Mungkin aku akan dibunuh, mungkin aku yang akan membunuh. Tidak masalah sekarang. Di mana mereka, Paman?"
Dia menjatuhkan diri ke kursi di dekat perapian, wajahnya menunduk, membuatnya terlihat lebih tua dari seharusnya. Tahun-tahun tidak baik padanya sejak istrinya meninggal. Ditambah kehilangan saudaranya, yakni ayahku, yang memperburuk kesedihannya.
Terserah dia mau mengakuinya atau tidak, para pembunuh harus tetap membayar kejahatan mereka. Kami sudah mencoba melaporkan mereka kepada penjaga, tetapi para penjaga tidak melakukan apa-apa. Para penjaga mengklaim tidak dapat menemukan jejak orang-orang yang membunuh keluargaku. Saat itulah aku memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri.
Hal ini bukan pekerjaan untuk penjaga. Balas dendam adalah pekerjaan untuk seorang pemburu.
Aku masih mengingat kejadian sebelum pembantaian. Aku berburu di hutan, sementara ayahku memotong kayu di samping rumah. Kepergianku ke hutan diiringi peringatan ibu yang sedang hamil. Aku berkata padanya bahwa semuanya akan aman. Siapa yang menyangka aku pulang ke rumah hanya untuk melihat tenggorokan ibu yang terbelah.
"Kedai," kata paman. "Pria-pria seperti mereka akan merayakan pencapaian dengan cara meneguk segelas bir, atau berpuluh-puluh bir. Aku yakin mereka mendapat banyak koin setelah menjual semua perak yang disimpan ibumu."
Dia menatap nyala api yang menari-nari dengan tatapan tajam, seolah tarian api akan membuat semuanya baik-baik saja—bahwa keluarga kami masih hidup. Aku dapat merasakan panas api dari tempatku duduk. Kuharap api membakar lebih panas untuk menjaga pamanku tetap hangat saat aku pergi. Dia duduk kembali ke kursi, mungkin menyesuaikan diri akibat peningkatan suhu.
Sambil mencengkeram pedang ayahku, aku berdoa kepada dewa untuk memberiku kekuatan dan menerima keluargaku dalam pelukan mereka.
"Semoga kamu memberiku pengampunan!" kataku keras-keras.
"Karena semua orang berdosa adalah kekuatanmu. Kamu akan memberi mereka jalan menuju kebenaranmu." Pamanku menyelesaikan untukku.
Aku mengawasi paman untuk waktu yang lama. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menghentikanku di jalan yang telah kupilih. Namun, tetap menyakitkan baginya untuk melihatku pergi. Aku hampir keluar pintu sebelum kembali kepadanya.
"Aku tahu tindakanku ini tidak akan bisa membawa mereka kembali, Paman. Tapi, mungkin, aku bisa memberi mereka keadilan dan mengembalikan kehormatan keluarga kita."
Aku pergi dengan doa terakhir agar pamanku menemukan kedamaian.
🔥🔥🔥
Mangkuk Rusak membaca tanda di atas pintu utama dengan lukisan mangkuk retak di bawah huruf. Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Meski begitu, tempat ini cukup familier bagiku. Aku pernah mendengar tentang perkelahian yang terus-menerus terjadi di dalam temboknya.
Ayah pernah mengatakan kepadaku bahwa jenis pria terburuk ada pria yang datang ke kedai minuman. Pasti dia tidak menginginkanku berada di sini sekarang.
Sayangnya, tidak ada pilihan lain.
Aku menarik tudung di atas rambutku, menyembunyikan helaian gelap panjang di bawahnya— rambut ibuku. Topeng yang menutupi mulutku hanya memperlihatkan mataku—mata ayahku. Aku tidak ingin ada orang yang melihat dengan jelas bahwa aku adalah seorang gadis. Orang-orang di tempat ini akan mendapatkan ide yang salah.
Aku baru saja berjalan melewati pintu sebelum merunduk ke lantai ketika sebuah cangkir menabrak kusen pintu, memecahkannya menjadi beberapa bagian. Para pria bersorak di salah satu meja, saling menampar bahu. Aku melihat salah satu pria memegang belati yang masih berlumuran darah.
Jika mereka adalah orang-orang yang menyerang keluargaku, mengapa menunggu dua hari untuk membersihkan senjata mereka?
Aku berjalan ke bar, kemudian melemparkan koin tembaga untuk memesan satu tankard bir. Aku berdiri di sana, menyeruput minumanku perlahan, mendengarkan percakapan di sekitarku. Sebagian besar orang bergosip tentang anggota kota lainnya. Membisikkan rencana romantis mereka pada malam itu. Aku fokus pada percakapan para pria berpakaian merah dan hitam. Tiga dari lima orang berpakaian dengan cara yang sama. Dua lainnya berpakaian compang-camping polos.
"Oi, Robert, bukankah kamu mau memasang taruhanmu?" tanya pria dengan gigi busuk.
"Aku hanya tidak merasa bermain adalah segalanya," balas Robert seraya melemparkan kartunya ke atas meja.
Robert berusaha berdiri, tetapi pria lain menariknya kembali ke kursi—yang kusebut Belati Berdarah. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dia katakan pria itu kepada Robert. Pasti bukan hal bagus karena Robert mengambil kartunya kembali. Ekspresi wajah Robert menjadi gugup dan tidak nyaman.
Dari semua kelompok pria di sini, pria itu adalah tersangka pertamaku. Orang-orang yang membunuh keluargaku tidak mungkin kelompok lain. Mereka terlihat terlalu ceria. Pakaian mereka juga tidak seperti bandit biasa.
Aku menurunkan topengku.
Aku mencondongkan tubuh ke arah bartender dengan tambahan sepuluh tembaga di antara jari-jariku. "Tuan, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"
Bartender meletakkan cangkir di atas meja, siap mendengarkan pertanyaanku.
"Siapa pria berbaju hitam dan merah itu? Orang-orang dengan belati di sisi mereka. Aku tidak terbiasa melihat jenis mereka di kota ini."
"Aye, Nona. Mereka datang ke sini selama beberapa hari terakhir. Mereka semua memesan kamar di lantai atas. Mereka memberiku lima puluh perak untuk membayar semua minuman mereka. Orang jahat. Aku menyarankan kamu menjauh dari mereka jika aku jadi kamu," kata bartender dengan suara rendah sambil melirik ke arah para pria yang sedang dibicarakan.
"Aku mengerti, Tuan. Terima kasih." Aku menyelipkan sepuluh tembaga kepadanya. Dia langsung menyambarnya dan memasukkannya ke dalam saku.
Aku kembali menyeruput minumanku sambil mendengarkan perbincangan di sekitar. Mereka tidak berbicara tentang apa pun yang berhubungan langsung dengan keluargaku. Namun, salah satu dari mereka mengatakan sesuatu tentang perlunya memotong tenggorokan wanita hamil.
Apakah orang-orang ini sangat bodoh untuk mengatakan hal seperti itu di tempat umum?
Ataukah aku sedang sangat beruntung?
"Diam, Krish!" Si Belati Berdarah membentak.
Semua orang di kedai terdiam dan berbalik ke arah meja mereka untuk melihat apa yang terjadi. Kesempatan sempurna bagiku untuk melihat wajah mereka. Si Belati Berdarah adalah seorang pria berambut gelap dengan bekas luka di wajahnya. Dia meraih baju seorang pria yang kuduga bernama Krish.
Krish mengangkat tangan. "Maaf, Bos."
Bos. Si Belati Berdarah adalah pemimpinnya.
Bir di cangkirku mengepul saat cengkeramanku pada pegangannya semakin mengencang. Aku berpaling dari orang-orang untuk menyembunyikan diriku dari mata-mata yang mengembara. Ketika orang-orang tidak memandangi mereka lagi, suasana kedai kembali pada percakapan banyak orang.
Aku meneguk sisa bir panas yang terasa seolah membakar tenggorokan. Aku harus mendapatkan informasi lebih lanjut. Terlalu nyaman bagi orang-orang itu untuk berada di sini dan bukan menjadi orang-orang yang membunuh keluargaku.
Kursi-kursi meluncur di lantai. Aku melihat dari balik bahuku ketiga pria berseragam menuju ke lantai atas. Dua orang yang berpakaian compang-camping berpisah. Salah satu dari mereka mengatakan dia akan kencing di luar.
Ini adalah kesempatanku.
Aku mengangkat topengku, lalu menyelipkan cangkirku ke arah bartender. Aku menunggu salah satu pria keluar dari bar sebelum mengikutinya. Dia berjalan mengitari setumpuk barel untuk buang air. Setelah memastikan tidak ada orang yang akan mendengar kami, aku melangkah hati-hati ke belakang pria itu, kemudian membanting kepalanya ke dinding batu hingga dia jatuh ke tanah.
Aku berlutut sembari mendorongnya ke dinding untuk menghadapku. Belatiku menempel di tenggorokannya. Dia mengerang kesakitan, menyentuh kepalanya, lantas bergidik ngeri saat melihat darah berlumuran di tangannya. Ketika menatapku, dia menyadari aku ada di sana sedang menekan belati di kulitnya, darah menetes perlahan membasahi leher.
"Sekarang setelah aku mendapat perhatianmu, aku ingin kamu memberitahuku tentang teman-temanmu," ucapku. Aku menjaga suaraku tetap rendah dan sedalam mungkin.
"Teman apa? Aku tidak tahu siapa yang kamu
bicarakan."
Aku memotong tenggorokannya saat darah menetes di leher.
"Kamu tahu persis siapa yang aku bicarakan, yang baru saja bermain kartu denganmu. Kudengar teman-temanmu sudah membayar semua minuman malam ini. Sekarang, jangan membuatku bertanya lagi."
"Oh, mereka?" Dia terkekeh gugup. "Kami hanya minum beberapa kali. Tidak sering. Kadang bermain kartu juga. Kamu tahu bagaimana itu. Jika kamu bertanya kepadaku, mereka hanya sekelompok orang yang tidak berguna. Selalu mendorongku—"
Dia tersentak ketika aku menggeser belati ke atas. "Siapa mereka? Dari mana mendapatkan semua koin yang mereka miliki?"
"Aku tidak tahu persis! Mereka hanya mengatakan bahwa mereka menggeledah beberapa pondok di luar kota. Mereka membunuh semua saksi. Mereka juga mengatakan sesuatu tentang seorang wanita hamil dan suaminya. Satu orang, Stephen, mengatakan mereka akan berangkat besok pagi untuk kembali ke kamp mereka. Hanya itu yang aku tahu, aku bersumpah!" Dia mengangkat tangan, menghalangi wajahnya seolah-olah aku akan memukulnya.
Aku melepaskan belati dari tenggorokannya. "Siapa nama mereka?"
"Krish, Colten, dan Stephen. Stephen adalah pemimpinnya. Dua lainnya hanyalah antek-antek Stephen. Seperti yang kukatakan, mereka akan berangkat dari sini besok pagi. Tapi, kupikir mereka akan pergi nanti malam. Stephen kesal ketika Krish mengoceh tentang apa yang telah mereka lakukan. Kupikir mereka pernah menjadi penjaga raja, meninggalkan jabatan mereka, jadi Stephen paranoid seseorang akan mengusirnya. Mungkin ada hadiah untuknya."
Penjaga raja. Hal itu menjelaskan alasan penjaga tidak melakukan apa-apa tentang insiden pembunuhan keluargaku pada saat itu. Mereka mungkin teman lama karena dulu bekerja bersama. Kurasa aman untuk berasumsi bahwa mereka menyuap para penjaga agar tutup mulut.
Situasi ini tidaklah baik. Aku mundur dari pria itu, memberinya ruang untuk bergerak.
"Bisakah aku pergi?” tanyanya. “Aku sudah memberitahumu semua yang aku tahu.”
Aku memiringkan kepala, mempertimbangkan permintaannya.
Apakah bijaksana membiarkan orang ini pergi?
Meskipun dia tidak ada hubungannya dengan kematian keluargaku, dia masih bisa memperingatkan teman-temannya. Aku harus tinggal di sini untuk memastikan dia tidak bisa memberi peringatan.
"Aku akan membiarkanmu pergi dengan dua syarat," ucapku tegas.
Pria itu diam selama beberapa saat, lalu mengangguk.
"Satu, kamu tidak boleh memberitahu siapa pun tentang percakapan ini. Kamu tidak pernah mengenalku. Termasuk kamu tidak boleh memperingatkan teman-temanmu karena jika kamu melakukannya, aku akan membakarmu hidup-hidup. Apakah kamu mengerti?"
Dia mengangguk lagi. "Dan syarat kedua?"
Aku berdiri. "Pergi dan jangan pernah kembali ke
sini."
Dia berlutut di tanah sambil menundukkan kepala.
"Terima kasih. Terima kasih."
Dia bangkit perlahan, tidak lama kemudian berlari menjauh, meninggalkanku sendirian di gang.
🔥🔥🔥