Leanne menatap langit pagi yang cerah dari balik jendela kelasnya. Matahari memancar lembut, dan awan-awan putih berarak perlahan seperti kapas terapung. Hari itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda di udara, sesuatu yang membuat jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Leanne,” panggil Yuna, sahabatnya, membuyarkan lamunannya. “Kamu denger nggak? Anak baru di kelas sebelah itu, katanya ganteng banget.”
Leanne mengerutkan kening, mencoba menahan senyum kecil. “Kenapa sih kamu selalu heboh kalau ada anak baru? Nggak semua anak baru itu menarik, kan?”
“Tapi yang ini beda,” balas Yuna sambil menatap dengan mata berbinar. “Namanya Sylus. Dia pindahan dari Jakarta. Kata anak-anak, dia pendiam, tapi auranya kayak cowok di film-film drama. Kamu harus lihat sendiri.”
Leanne hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Baginya, obrolan seperti itu tak lebih dari angin lalu. Hingga akhirnya, saat bel istirahat berbunyi, dia melihat sosok itu untuk pertama kalinya.
---
Pertemuan Pertama
Leanne berjalan ke kantin bersama Yuna. Langkahnya terhenti sejenak ketika ia melihat seorang cowok sedang duduk di meja pojok, memegang buku sambil menyeruput es teh. Sylus. Sosoknya memang terlihat berbeda. Wajahnya tenang, dengan sorot mata tajam tapi lembut, seolah menyimpan cerita yang belum terungkap.
“Kamu harus berani ngajak kenalan,” bisik Yuna, mendorong Leanne pelan.
“Kenapa aku?” balas Leanne, panik. “Kalau kamu penasaran, kenapa nggak kamu aja?”
“Tapi aku nggak seberani itu!” Yuna terkikik, lalu dengan licik mendorong Leanne sedikit lebih keras.
Leanne kehilangan keseimbangan dan nyaris menabrak meja Sylus. Untungnya, cowok itu dengan sigap menangkap bahunya, mencegahnya jatuh.
“Eh, maaf!” Leanne buru-buru berdiri tegak, wajahnya memerah.
Sylus hanya menatapnya, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Kamu nggak apa-apa?”
Leanne mengangguk cepat, merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. “Iya, maaf banget. Aku nggak sengaja.”
“Tenang aja. Lagi mikirin apa sampai nggak lihat jalan?” tanya Sylus, suaranya rendah tapi hangat.
“Oh, aku… nggak, nggak mikirin apa-apa,” balas Leanne gugup. Yuna, yang berdiri tak jauh darinya, hanya menahan tawa sambil melambai ke arah Leanne untuk segera kembali.
“Nama kamu siapa?” tanya Sylus, membuat Leanne semakin gugup.
“Leanne. Kamu Sylus, kan?”
Sylus mengangguk. “Benar. Kayaknya kita belum pernah ngobrol, ya? Senang bisa kenalan, Leanne.”
Leanne tersenyum kecil, lalu kembali ke tempat Yuna. Tapi sejak saat itu, nama Sylus terus terngiang di pikirannya.
---
Awal Kedekatan
Hari-hari berlalu, dan entah bagaimana, Leanne dan Sylus mulai sering berpapasan. Kadang di perpustakaan, kadang di lorong kelas, bahkan di taman belakang sekolah tempat Leanne suka duduk sendiri. Sylus selalu punya cara untuk memulai percakapan, dan Leanne merasa nyaman berbicara dengannya.
Suatu sore, Leanne sedang duduk di bangku taman sekolah, mengerjakan tugas seni sambil mendengarkan lagu lewat earphone. Tiba-tiba, Sylus muncul dan duduk di sebelahnya.
“Kamu suka melukis?” tanya Sylus, melihat kertas gambar di tangannya.
Leanne menoleh, sedikit terkejut. “Iya, cuma hobi aja. Kamu sendiri, kenapa bisa ada di sini?”
Sylus mengangkat bahu. “Aku sering lihat kamu di sini. Tempatnya tenang, kan? Jadi aku coba datang juga.”
Leanne tersenyum. “Iya, di sini kayak tempat pelarian kecil dari ributnya sekolah.”
Sylus mengangguk, lalu menunjuk gambar di kertas Leanne. “Langit sore? Keren. Aku suka warna-warnanya. Kelihatannya kamu peka sama detail.”
“Terima kasih,” jawab Leanne, merasa pipinya memanas.
Obrolan mereka berlanjut. Dari percakapan tentang seni, mereka berbicara tentang banyak hal—tentang buku, film, bahkan mimpi-mimpi mereka. Leanne mulai melihat sisi lain dari Sylus yang pendiam. Dia ternyata punya selera humor yang halus dan cara pandang yang dalam tentang kehidupan.
“Aku pindah ke sini karena Papa pindah kerja,” kata Sylus suatu kali. “Awalnya, aku merasa nggak akan punya teman di sini. Tapi ternyata aku salah.”
“Kenapa kamu merasa begitu?” tanya Leanne.
“Karena aku ketemu kamu,” jawab Sylus singkat, membuat Leanne terdiam. Ada sesuatu dalam cara dia mengatakannya yang membuat hati Leanne berdebar lebih kencang.
---
Sebuah Rasa yang Tumbuh
Leanne tak bisa memungkiri bahwa perasaannya terhadap Sylus semakin kuat. Kehadiran cowok itu seperti membawa warna baru dalam hidupnya. Namun, dia juga merasa ragu. Apakah Sylus merasakan hal yang sama?
Pada suatu malam, saat Leanne sedang melamun di balkon rumahnya, ponselnya berbunyi. Pesan dari Sylus.
"Kamu suka langit malam, ya? Aku lihat kamu sering menatap bintang."
Leanne tersenyum. Dia membalas, "Iya. Langit malam itu tenang, seperti cerita yang nggak pernah selesai."
Sylus membalas cepat. "Aku rasa langit malam cocok sama kamu. Tenang, indah, dan penuh misteri."
Leanne membaca pesan itu berkali-kali, mencoba menafsirkan apa yang sebenarnya dirasakan Sylus. Tapi sebelum dia bisa membalas, ponselnya berbunyi lagi.
"Mau nggak besok sore kita ketemu di taman sekolah? Ada yang mau aku kasih tahu."
---
Pengakuan
Esoknya, Leanne datang ke taman sekolah dengan perasaan bercampur aduk. Dia melihat Sylus sudah menunggu di bangku yang biasa mereka duduki. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada sorot gugup di matanya.
“Leanne,” kata Sylus, memulai. “Aku tahu mungkin ini terdengar mendadak, tapi aku nggak bisa terus menyimpan ini.”
Leanne menatapnya, jantungnya berdegup kencang. “Apa itu, Sylus?”
“Aku suka sama kamu,” ucap Sylus dengan suara mantap. “Bukan cuma sebagai teman. Aku suka caramu melihat dunia, caramu tertawa, dan caramu membuatku merasa nyaman. Aku tahu ini mungkin berat buat kamu, tapi aku ingin kamu tahu.”
Leanne terdiam. Kata-kata Sylus begitu jujur dan tulus, seperti langit yang tak pernah berbohong. Dia mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab.
“Aku juga suka sama kamu, Sylus,” jawab Leanne akhirnya. “Aku nggak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tapi kamu membawa sesuatu yang baru dalam hidupku.”
Senyum Sylus merekah, dan dia mengulurkan tangannya. Leanne menyambutnya, dan di bawah langit sore yang berwarna oranye, dua hati akhirnya saling menemukan.
---
Epilog
Leanne dan Sylus kini sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, mimpi, dan canda tawa. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, tapi mereka yakin bahwa selama mereka memiliki satu sama lain, mereka akan mampu menghadapi segala hal. Di bawah langit yang sama, mereka menemukan cinta pertama mereka—cinta yang sederhana, tulus, dan indah.