"Hhh." suara seorang wanita dimana pada saat itu rintik hujan mengguyur kota yang sedang terlelap. Suara gemericiknya memenuhi balkon apartemen lantai sepuluh tempat Lana berdiri, memandangi pemandangan jalanan yang basah. Di belakangnya, suara lembut dari seseorang membuat tubuhnya bergetar.
“Kamu nggak bisa terus begini, Lana,” suara itu milik Arga, pria yang sejak tiga bulan terakhir sering datang dan pergi dalam hidupnya tanpa aturan.
Lana membalikkan badan, menatap Arga dengan pandangan yang sulit diartikan. Arga berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang sudah basah di bagian bahu karena terkena hujan saat tadi masuk. Tatapannya tajam, namun hangat. Seperti api yang perlahan membakar tembok yang Lana bangun di hatinya.
“Aku nggak pernah minta kamu datang,” jawab Lana dingin.
“Tapi kamu juga nggak pernah bilang aku harus pergi.”
Keduanya terjebak dalam keheningan yang berat. Hujan di luar menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Lana tahu seharusnya ia meminta pria itu pergi. Kehadiran Arga adalah sebuah dosa, sesuatu yang tidak pernah direncanakan, tetapi terus ia biarkan.
“Aku nggak pantas untuk kamu,” gumam Lana akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Arga mendekat, langkahnya mantap meski ada keraguan kecil yang terlihat di wajahnya. Ia meraih tangan Lana, menggenggamnya dengan lembut tetapi kuat. “Kalau begitu, biarkan aku yang memutuskan apa yang pantas atau tidak.”
---
Tiga bulan yang lalu, semuanya dimulai secara tidak sengaja. Lana baru saja pindah ke apartemen itu setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Luka di hatinya masih segar, seperti luka bakar yang belum sembuh total. Ia tidak percaya cinta lagi—atau setidaknya, itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri.
Namun, di hari hujan itu, Arga mengetuk pintunya.
“Aku tetangga sebelah. Listrik di apartemenku mati. Bisa aku pinjam power bank?” tanyanya dengan senyum kecil yang memamerkan deretan giginya yang rapi.
Lana hampir menutup pintu di depannya, tetapi sesuatu di mata pria itu membuatnya berhenti. Ada kehangatan, tetapi juga kesedihan yang tersirat.
Lana mengangguk singkat, lalu mengambil power bank yang diminta. Saat ia menyerahkannya, jari mereka bersentuhan singkat. Itu hanyalah momen kecil, tetapi cukup untuk membuat Lana merasa ada sesuatu yang berbeda.
Sejak saat itu, Arga mulai sering muncul di pintunya—kadang untuk hal sepele seperti meminjam alat dapur, kadang hanya untuk menyapa. Awalnya Lana merasa terganggu, tetapi lambat laun ia mulai menikmati kehadirannya.
---
Malam itu, di apartemen Lana, semuanya berubah.
“Kamu bisa pulang sekarang,” kata Lana dengan nada datar, mencoba menjaga jarak setelah obrolan panjang mereka di balkon.
Arga tidak bergerak. Ia menatap Lana dengan tatapan intens yang membuat wanita itu merasa seolah semua dinding pertahanannya runtuh.
“Kamu tahu aku nggak mau pulang,” jawabnya pelan, tetapi penuh arti.
Lana menggeleng, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguasainya. “Arga, aku nggak bisa melakukan ini. Kamu terlalu baik.”
Arga tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di dalamnya. “Kamu nggak tahu apa-apa soal aku, Lana. Aku nggak sebaik itu.”
Sebelum Lana sempat membalas, Arga mendekat dan meraih wajahnya dengan kedua tangan. “Kamu terus mendorong aku menjauh, tapi kamu nggak pernah benar-benar meminta aku pergi. Kenapa, Lana?”
Lana ingin menjawab, tetapi suaranya hilang. Bibirnya bergetar, dan dalam hitungan detik, ia menyerah pada perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
Malam itu, mereka tenggelam dalam kehangatan satu sama lain, melupakan semua batasan yang pernah ada.
---
Namun, pagi berikutnya, rasa bersalah menghantam Lana seperti ombak besar. Ia berdiri di dapur, menatap cangkir kopi yang dingin di tangannya, sementara suara langkah Arga mendekat dari belakang.
“Lana,” panggil Arga, tetapi Lana tidak berbalik.
“Kita nggak seharusnya melakukan itu,” gumamnya pelan.
Arga mendesah. “Aku tahu. Tapi kamu nggak menyesal, kan?”
Lana terdiam. Ia ingin mengatakan bahwa ia menyesal, tetapi kenyataannya, ia tidak bisa.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dalam. Arga mulai menjadi bagian dari kehidupan Lana, tetapi hubungan mereka selalu penuh dengan keraguan dan rasa bersalah. Lana tahu bahwa Arga menyimpan sesuatu—rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat.
---
Suatu hari, rahasia itu akhirnya terungkap.
Arga tidak pernah menyebutkan bahwa ia sudah menikah.
Lana mengetahuinya secara tidak sengaja saat ia melihat cincin yang tergantung di rantai leher Arga.
“Ini apa?” tanya Lana, suaranya bergetar.
Arga terdiam, tidak mampu menjawab. Tatapan matanya penuh penyesalan, tetapi juga ketidakberdayaan.
“Arga, jawab aku!” Lana hampir berteriak.
“Aku... aku terjebak, Lana. Pernikahanku sudah hancur, tapi aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.”
Kata-kata itu menghancurkan hati Lana. Selama ini, ia berpikir bahwa ia adalah satu-satunya yang menyembunyikan luka. Namun, ternyata mereka berdua sama-sama terluka, sama-sama terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya ada.
---
Hujan kembali mengguyur kota malam itu saat Lana berdiri di balkon, sama seperti malam ketika semuanya dimulai.
“Kamu harus pergi, Arga,” katanya pelan, tanpa menoleh ke pria yang berdiri di belakangnya.
“Lana, aku—”
“Arga, kita nggak bisa terus begini. Aku lelah hidup dalam bayangan dosa.”
Arga mendekat, tetapi Lana memutar badan dan menatapnya dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Aku mencintaimu, Arga. Tapi aku juga mencintai diriku sendiri. Dan aku nggak bisa terus melukai diriku dengan mencintai seseorang yang tidak sepenuhnya milikku.”
Arga ingin memeluknya, tetapi ia tahu Lana sudah membuat keputusan. Dengan langkah berat, ia pergi, meninggalkan Lana sendirian di bawah hujan.
---
Bertahun-tahun kemudian, Lana masih mengingat pria itu. Meski hatinya masih menyimpan luka, ia tahu bahwa keputusannya adalah yang terbaik. Cinta tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang melepaskan ketika waktu tidak berpihak.
TAMAT
---
Bantu like dan komentar yahh.. Jnagan lupa follow saluran whatsapp aku juga makasihh, link nya dibawah..
https://whatsapp.com/channel/0029VapnR4e7DAX3T6Hmza22