Di tengah malam yang kelam, suara serangga padang pasir terdengar lirih mengiringi bisikan angin yang menerobos celah-celah istana besar Raja Mesir. Sang raja, Pharaoh Menkaura, duduk gelisah di atas ranjang emasnya yang dihiasi ukiran dewa-dewa. Malam itu, untuk kesekian kalinya, ia terbangun dalam keadaan berkeringat, napasnya tersengal-sengal, dan wajahnya diliputi ketakutan.
Mimpi buruk itu terus menghantuinya setiap malam selama sebulan terakhir. Dalam mimpi tersebut, ia melihat sungai Nil yang mengering, ladang-ladang yang tandus, dan rakyatnya mati kelaparan. Di tengah kehancuran itu, muncul seorang pria berjubah hitam dengan mata menyala seperti bara api, berdiri di atas puing-puing istana, mengulurkan tangan ke arahnya sambil berbisik, “Takdir tidak bisa dilawan, wahai Raja.”
Pharaoh memanggil semua pendeta dan ahli tafsir mimpinya, tetapi tidak ada yang mampu menjelaskan makna mimpi itu. Hingga akhirnya, salah seorang penasihat istana mengusulkan untuk memanggil seorang pemuda bernama Iman, seorang petani miskin dari pinggiran kota Thebes.
“Iman?” tanya Pharaoh dengan nada ragu. “Apa yang bisa dilakukan oleh seorang petani sederhana terhadap mimpi seorang raja?”
“Dia bukan petani biasa, Baginda,” jawab penasihat itu. “Ia dikenal memiliki kemampuan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Mungkin dia adalah jawaban atas teka-teki ini.”
Dengan sedikit keraguan, Pharaoh menyuruh prajuritnya untuk membawa Iman ke istana.
---
Iman tiba di istana keesokan harinya. Wajahnya tenang meski tubuhnya menggigil melihat kemegahan bangunan yang begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Saat ia dibawa ke hadapan Pharaoh, ia segera berlutut.
“Bangunlah, Iman,” kata Pharaoh, suaranya berat namun penuh kelelahan. “Aku mendengar bahwa kau memiliki bakat luar biasa. Jika itu benar, aku memerlukan bantuanmu untuk mengungkap misteri yang terus menghantuiku.”
Iman berdiri dengan kepala tertunduk hormat. “Hamba hanya manusia biasa, Baginda. Tetapi, jika Dewa memberi petunjuk, hamba akan mencoba membantu.”
Pharaoh menceritakan mimpinya dengan detail, dan Iman mendengarkan dengan saksama. Wajahnya yang tadinya tenang berubah tegang saat ia mendengar bagian tentang pria berjubah hitam.
“Baginda,” kata Iman akhirnya, “mimpi ini bukan sekadar bunga tidur. Ada pesan tersembunyi di dalamnya, dan itu bukan pesan yang baik.”
“Apa maksudmu?” tanya Pharaoh dengan nada mendesak.
“Pria berjubah hitam itu adalah simbol kehancuran, Baginda. Jika mimpi ini terus berulang, artinya sesuatu yang buruk akan menimpa kerajaan ini. Namun, untuk mengetahui lebih banyak, hamba harus melakukan sebuah ritual.”
Pharaoh mengangguk. “Lakukan apa pun yang diperlukan. Aku tak ingin mimpi ini menjadi kenyataan.”
---
Malam itu, Iman meminta dibawa ke sebuah ruangan kosong di dalam istana. Ia menyalakan lilin-lilin dan menggambar simbol-simbol kuno di lantai menggunakan pasir hitam yang ia bawa dari desa. Ritual dimulai saat tengah malam, ketika seluruh istana sunyi.
Iman duduk bersila di tengah lingkaran simbol itu, memejamkan mata dan mulai melantunkan doa-doa kuno. Suasana ruangan perlahan berubah. Lilin-lilin mulai berkedip, dan udara menjadi dingin. Tiba-tiba, suara desisan terdengar, seperti ular yang merayap di dalam kegelapan.
“Siapa yang memanggilku?” sebuah suara berat menggema di dalam ruangan.
Iman membuka matanya. Di hadapannya berdiri sosok pria berjubah hitam, sama seperti yang digambarkan Pharaoh dalam mimpinya. Mata pria itu menyala merah, dan senyumnya menyeramkan.
“Aku ingin tahu apa maksud kedatanganmu dalam mimpi sang Raja Mesir,” kata Iman dengan suara lantang, meskipun hatinya diliputi rasa takut.
Pria berjubah hitam itu tertawa. “Aku hanya pembawa pesan, wahai manusia. Kehancuran yang kulihat bukanlah keinginanku, melainkan hasil dari keserakahan dan dosa raja kalian. Jika ia ingin menghentikan takdir ini, ia harus membayar harga yang mahal.”
“Harga apa yang kau maksud?” tanya Iman.
“Nyawanya,” jawab pria itu sambil menghilang dalam asap hitam.
---
Setelah ritual selesai, Iman segera menemui Pharaoh untuk menyampaikan apa yang terjadi.
“Baginda,” kata Iman, “makhluk itu mengatakan bahwa kehancuran ini disebabkan oleh dosa-dosa Anda. Ia menuntut harga yang mahal untuk menghentikannya.”
Pharaoh menatap Iman dengan mata yang penuh amarah dan ketakutan. “Apa maksudmu dosa-dosaku? Aku adalah penguasa yang adil! Aku melindungi rakyatku!”
“Maafkan hamba, Baginda, tetapi Dewa-Dewa melihat semua yang terjadi. Kesombongan, ketamakan, dan kebijakan yang menindas telah membawa kerajaan ini ke ambang kehancuran. Untuk menghentikan kutukan ini, Baginda harus memperbaiki kesalahan tersebut.”
Pharaoh terdiam. Ia tahu bahwa selama bertahun-tahun, ia memaksakan pajak tinggi kepada rakyatnya demi membangun monumen-monumen besar untuk dirinya sendiri. Ia juga tahu bahwa ia telah menutup mata terhadap penderitaan para budak yang bekerja tanpa henti untuk memenuhi ambisinya.
“Apa yang harus kulakukan, Iman?” tanya Pharaoh akhirnya, suaranya terdengar lelah.
“Hamba tidak tahu pasti, Baginda. Tetapi hamba yakin, jika Anda bertobat dan memperbaiki apa yang telah rusak, Dewa-Dewa mungkin akan mengampuni.”
---
Dalam minggu-minggu berikutnya, Pharaoh mulai mengubah cara ia memerintah. Ia membebaskan beberapa budak, mengurangi pajak bagi rakyat miskin, dan memerintahkan pembangunan sumur-sumur baru di desa-desa yang kekeringan. Namun, meski ia telah berusaha, mimpi buruk itu tetap datang setiap malam.
Pharaoh mulai kehilangan harapan.
“Iman, usahaku sia-sia!” katanya suatu malam. “Apa lagi yang harus kulakukan?”
Iman merenung sejenak. “Baginda, mungkin ada satu hal lagi yang belum Anda lakukan. Anda harus menghadapi pria berjubah hitam itu secara langsung.”
“Bagaimana caranya?”
“Hamba akan memandu Anda melalui ritual yang sama. Tetapi kali ini, Anda sendiri yang harus menantangnya.”
---
Pada malam bulan purnama, Pharaoh mengikuti petunjuk Iman. Mereka kembali ke ruangan ritual, dan Iman melantunkan doa-doa kuno. Udara di ruangan itu kembali berubah, dan pria berjubah hitam muncul di tengah lingkaran.
“Akhirnya, sang Raja datang untuk menemuiku,” katanya sambil tersenyum sinis.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan kerajaanku!” seru Pharaoh dengan suara gemetar, meskipun ia mencoba terdengar berani.
“Ini bukan tentang apa yang kau izinkan atau tidak, wahai Raja. Ini tentang keseimbangan. Kau telah merusak keseimbangan itu dengan keserakahanmu. Apa yang kau lakukan belakangan ini hanyalah awal. Kau harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga bagimu untuk memulihkan semuanya.”
Pharaoh terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud oleh pria berjubah hitam itu.
“Hidupku?” tanya Pharaoh akhirnya.
Pria itu mengangguk.
“Baginda,” Iman menyela, “mungkin ada cara lain. Anda telah mulai memperbaiki kesalahan Anda. Jika Anda berjanji untuk terus melakukannya, mungkin Dewa-Dewa akan memberi Anda kesempatan.”
Pharaoh menatap Iman, lalu kembali menatap pria berjubah hitam itu. “Aku bersumpah demi Dewa-Dewa, aku akan menjadi raja yang adil dan melindungi rakyatku. Jika aku gagal, biarlah nyawaku menjadi taruhannya.”
Pria berjubah hitam itu tertawa kecil. “Baiklah, wahai Raja. Aku akan menerima sumpahmu. Tetapi ingat, aku akan selalu mengawasimu.”
Dengan itu, pria berjubah hitam menghilang, dan ruangan kembali sunyi.
---
Sejak malam itu, mimpi buruk Pharaoh tidak pernah kembali. Ia memerintah dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap keputusannya membawa kebaikan bagi rakyatnya. Iman kembali ke desanya dengan tenang, merasa lega bahwa ia telah membantu menyelamatkan kerajaan.
Namun, jauh di dalam hati Pharaoh, ia tahu bahwa pria berjubah hitam itu masih mengawasinya. Dan ia harus memastikan bahwa ia tidak pernah melanggar sumpahnya, karena taruhannya adalah sesuatu.karena taruhannya adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari—nyawanya sendiri.
---
Hari-hari berlalu, dan perubahan yang dilakukan oleh Pharaoh Menkaura membawa dampak besar bagi kerajaannya. Ladang-ladang yang dahulu kering kini mulai subur kembali, rakyat yang sebelumnya hidup dalam penderitaan mulai tersenyum, dan hubungan sang raja dengan para pejabat serta rakyat jelata semakin erat. Mesir seperti mendapat kehidupan baru, di bawah pemimpin yang akhirnya belajar dari kesalahan masa lalu.
Namun, di tengah kedamaian itu, Pharaoh tetap dihantui oleh rasa takut. Sumpah yang ia ucapkan kepada pria berjubah hitam terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia hendak membuat keputusan besar, ia teringat akan tatapan mata merah yang pernah mengintimidasinya.
Suatu malam, ia memanggil Iman ke istana sekali lagi.
“Iman, aku telah memenuhi sumpahku sejauh ini,” kata Pharaoh, suaranya berat. “Tetapi, aku takut suatu saat aku akan gagal. Aku manusia biasa. Bagaimana jika aku membuat kesalahan yang tidak kusadari? Apakah pria berjubah hitam itu akan kembali dan mengambil nyawaku?”
Iman memandang raja dengan penuh empati. “Baginda, manusia memang tidak sempurna. Tetapi yang terpenting adalah niat Anda untuk terus berbuat baik. Jika Anda memerintah dengan hati yang tulus, bahkan makhluk seperti dia tidak akan bisa menyentuh Anda.”
“Namun, bagaimana jika ada cara untuk memastikan ia tidak kembali?” tanya Pharaoh.
Iman terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Baginda, makhluk itu adalah bagian dari keseimbangan alam. Kita tidak bisa menghancurkannya, tetapi kita bisa memperkuat perlindungan bagi diri kita sendiri. Ada satu ritual lagi yang bisa kita lakukan untuk meminta perlindungan dari Dewa-Dewa.”
“Lakukanlah,” kata Pharaoh tanpa ragu.
---
Pada malam yang telah ditentukan, Iman dan Pharaoh pergi ke kuil tertua di Mesir, tempat yang diyakini sebagai titik pertemuan dunia manusia dan dunia para Dewa. Mereka membawa persembahan berupa gandum, anggur, dan perhiasan, simbol kemakmuran dan kerendahan hati.
Di depan altar, Iman mulai melantunkan doa, memanggil Dewa Osiris dan Ma’at, dewa kehidupan dan keseimbangan. Suasana kuil terasa penuh energi, dan udara di sekitar mereka menjadi berat.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun penuh wibawa terdengar di ruangan itu. “Mengapa kalian memanggilku, wahai manusia?”
Iman memandang ke arah patung besar Osiris yang kini tampak hidup. “Wahai Dewa Osiris, hamba memohon perlindungan bagi Raja Mesir, agar ia dapat terus memerintah dengan keadilan tanpa diganggu oleh kekuatan gelap.”
Osiris memandang Pharaoh dengan mata yang seolah menembus ke dalam jiwanya. “Wahai Raja, aku mendengar sumpahmu. Kau telah berusaha memperbaiki kesalahanmu, tetapi jalanmu masih panjang. Aku akan memberikanmu perlindungan, tetapi dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, wahai Dewa?” tanya Pharaoh dengan suara penuh hormat.
“Kau harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga bagimu, tetapi bukan nyawamu. Sesuatu yang melambangkan kesombongan yang pernah kau miliki.”
Pharaoh terdiam. Ia memikirkan semua yang pernah ia anggap berharga—mahkotanya, tahtanya, dan kekayaan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Lalu ia tersadar.
“Mahkota emasku,” katanya akhirnya. “Itu adalah simbol dari semua ambisi dan kesombongan yang telah membutakan mataku.”
Osiris mengangguk. “Letakkan mahkotamu di atas altar ini, dan aku akan memastikan keseimbangan tetap terjaga.”
Dengan tangan gemetar, Pharaoh melepas mahkotanya dan meletakkannya di atas altar. Saat itu juga, cahaya terang memenuhi kuil, dan suara Osiris terdengar lagi.
“Kau telah menunjukkan kerendahan hati, wahai Raja. Aku akan melindungimu dari kegelapan, selama kau tetap setia pada sumpahmu.”
---
Pharaoh Menkaura kembali ke istana tanpa mahkotanya. Sejak hari itu, ia memerintah dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi memerintah sebagai seorang raja yang diagungkan, tetapi sebagai seorang pemimpin yang melayani rakyatnya.
Iman, yang telah menjadi saksi dari perjalanan sang raja, kembali ke desanya dengan tenang. Ia tidak meminta hadiah apa pun dari Pharaoh, karena ia tahu bahwa kebahagiaan sejati adalah melihat rakyat hidup damai dan sejahtera.
Dan pria berjubah hitam itu? Ia tidak pernah kembali.
Namun, jauh di dalam hati Pharaoh, ia tahu bahwa pria itu bukanlah musuhnya, melainkan pengingat bahwa kekuasaan tanpa keseimbangan adalah awal dari kehancuran.
Mesir terus berkembang, menjadi tanah yang subur dan makmur di bawah pemerintahan Raja Menkaura yang bijaksana. Hingga akhir hidupnya, ia dikenal sebagai raja yang belajar dari mimpi buruknya dan mengubahnya menjadi pelajaran berharga bagi dirinya dan kerajaannya.
Tamat
Amanat: Janganlah kalian berbuat dosa