Di sebuah desa kecil bernama Tirta Maju, hidup seorang wanita tua bernama Megawati. Megawati terkenal di desanya sebagai sosok sederhana dan jujur. Ia hanya bekerja sebagai penjual sayur keliling, cukup untuk menyambung hidup bersama anak semata wayangnya, Yudha. Meski hidup serba pas-pasan, Megawati selalu mengajarkan Yudha tentang pentingnya kejujuran dan kerja keras.
“Jangan pernah mengambil yang bukan milikmu, Nak. Apa yang kita tanam hari ini akan kita tuai besok,” begitu nasihat Megawati setiap malam sebelum tidur.
Namun, kehidupan tak selalu berjalan sesuai rencana. Ketika Yudha tumbuh dewasa, ia memutuskan untuk merantau ke kota demi mengubah nasib. Megawati mendukung keputusan anaknya dengan penuh harap, meski hatinya berat melepas.
“Kota itu keras, Yudha. Jangan sampai kamu lupa ajaran Ibu,” ujar Megawati, menggenggam tangan anaknya.
Yudha hanya tersenyum. “Tenang, Bu. Saya akan membuat Ibu bangga.”
Ambisi di Kota
Yudha tiba di kota dengan semangat membara. Ia memulai segalanya dari nol, bekerja sebagai karyawan rendahan di sebuah perusahaan kecil. Namun, ambisinya terlalu besar untuk puas dengan gaji pas-pasan. Ia ingin cepat kaya, ingin hidup mewah seperti orang-orang yang ia lihat di media sosial.
Kesempatan itu datang ketika ia dipromosikan sebagai asisten manajer proyek. Tugasnya sederhana: memastikan semua proyek berjalan lancar. Namun, ia segera sadar bahwa ada permainan kotor di balik layar. Rekan-rekannya sering menerima uang ‘pelicin’ dari para kontraktor. Awalnya, Yudha ragu untuk ikut-ikutan. Tapi godaan itu terlalu kuat.
“Semua orang melakukannya, Yud. Kalau kamu tidak ikut, kamu cuma jadi orang bodoh yang bekerja keras tanpa hasil,” ujar seorang rekannya.
Setelah berpikir panjang, Yudha akhirnya menyerah. Ia mulai menerima amplop-amplop tebal, dan uang itu ia gunakan untuk membeli barang-barang mewah. Pakaian mahal, jam tangan branded, bahkan mobil baru.
Pulangnya Sang Anak
Beberapa tahun kemudian, Yudha pulang ke desa. Penampilannya berubah total. Ia mengenakan setelan jas mahal, mengendarai mobil mewah, dan membawa banyak oleh-oleh untuk ibunya.
Megawati menangis bahagia melihat anaknya sukses. “Alhamdulillah, Nak. Ibu bangga padamu,” ujarnya sambil memeluk Yudha.
Namun, warga desa mulai berbisik-bisik. Mereka bertanya-tanya dari mana Yudha mendapatkan semua kekayaannya.
“Anak Megawati itu pasti koruptor. Mana mungkin bisa kaya begitu cepat,” ujar seorang tetangga dengan nada sinis.
Kabar itu akhirnya sampai ke telinga Megawati. Ia mencoba mengabaikannya, tapi rasa penasaran terus mengusiknya. Suatu malam, saat Yudha sedang bersantai di teras, Megawati memberanikan diri bertanya.
“Nak, dari mana kamu dapat semua uang ini? Apa pekerjaanmu sekarang?”
Yudha terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Bu, saya bekerja keras di kota. Semua ini hasil usaha saya.”
Megawati menatap mata anaknya, mencari kejujuran di sana. Tapi ia hanya menemukan kebohongan.
Kejatuhan
Kehidupan Yudha yang mewah tak bertahan lama. Polisi akhirnya mencium jejak korupsi di perusahaan tempat ia bekerja. Yudha menjadi salah satu tersangka utama dalam kasus suap proyek pembangunan jalan. Berita itu tersebar ke seluruh negeri, termasuk ke desa Tirta Maju.
Megawati merasa dunianya runtuh. Ia tak pernah menyangka anak yang ia besarkan dengan nilai-nilai kejujuran akan menjadi seorang koruptor.
Ketika polisi datang ke desa untuk menangkap Yudha, Megawati hanya bisa menangis. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu hancurkan nama baik keluarga kita?”
Yudha tidak menjawab. Ia hanya menunduk, merasa malu.
Penyesalan yang Terlambat
Di dalam sel penjara, Yudha merenungkan semua yang terjadi. Ia ingat nasihat ibunya, dan betapa ia telah mengabaikannya demi ambisi kosong.
Sementara itu, Megawati mencoba bangkit dari rasa malu. Ia kembali berjualan sayur, meski sering dicemooh oleh warga desa.
“Anak koruptor kok masih berani jualan di sini,” ujar seorang pelanggan.
Megawati hanya tersenyum pahit. Ia tahu, ia harus menanggung dosa anaknya.
Beberapa tahun kemudian, Yudha akhirnya dibebaskan. Ia pulang ke desa dengan hati penuh penyesalan.
“Ibu, maafkan saya. Saya telah mengecewakan Ibu,” ujarnya sambil berlutut di depan Megawati.
Megawati memeluk anaknya dengan air mata yang mengalir deras. “Tidak ada orang tua yang tidak memaafkan anaknya, Nak. Tapi ingat, kejujuran adalah harta yang paling berharga. Jangan pernah kamu lupakan itu lagi.”
Sejak saat itu, Yudha bertekad untuk memperbaiki hidupnya. Ia mulai bekerja sebagai petani, mengikuti jejak ibunya. Meski penghasilannya kecil, ia merasa lebih damai.
Hidup Yudha tak lagi mewah, tapi ia akhirnya mengerti apa arti kebahagiaan sejati: hidup tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah.
---
Kembali ke Desa
Meski Yudha telah bebas dan memutuskan untuk memulai hidup baru sebagai petani, masa lalu kelamnya terus membayangi. Warga desa Tirta Maju sulit melupakan perbuatannya. Setiap kali Yudha lewat, ada saja yang berbisik-bisik atau bahkan mengolok-oloknya secara terang-terangan.
“Lihat itu, si koruptor. Sekarang jadi petani. Habis sudah hartanya!”
“Apa gunanya menyesal kalau uang negara sudah dihabiskan?”
Meski mendengar semua itu, Yudha memilih diam. Ia tahu dirinya tak bisa memaksa orang lain untuk melupakan masa lalunya. Ia hanya bisa menunjukkan perubahan melalui tindakan. Setiap pagi, ia membantu ibunya menyiapkan dagangan sayur. Setelah itu, ia pergi ke ladang untuk mengolah tanah yang dulunya terbengkalai.
Namun, di malam hari, rasa bersalahnya sering kali datang menghantui. Ia teringat akan wajah para pekerja kecil yang dulu dirugikan oleh proyek-proyek korup yang ia kelola. Ia membayangkan jalan-jalan berlubang yang seharusnya kuat, namun rusak karena bahan bangunan berkualitas buruk.
“Ibu, apa saya akan diampuni oleh Tuhan?” tanyanya suatu malam.
Megawati menatapnya dengan penuh kasih. “Ampunan Tuhan selalu ada bagi mereka yang benar-benar menyesal, Yudha. Tapi penyesalanmu harus dibuktikan, bukan hanya dengan kata-kata.”
Mencari Pengampunan
Kata-kata ibunya terus terngiang di kepala Yudha. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk menebus dosanya, meski ia tahu uang yang telah ia korupsi dulu tak mungkin dikembalikan seluruhnya.
Suatu hari, Yudha mendatangi kepala desa. Ia meminta izin untuk membangun sebuah balai warga di desa Tirta Maju, menggunakan hasil panen dari ladangnya sendiri.
“Saya ingin melakukan sesuatu yang berarti untuk desa ini,” ujar Yudha dengan suara mantap.
Kepala desa awalnya ragu, mengingat reputasi buruk Yudha. Namun setelah melihat kesungguhannya, ia akhirnya menyetujui permintaan itu.
Pembangunan balai warga dimulai. Yudha bekerja keras bersama warga lainnya, tanpa mempekerjakan kontraktor atau menggunakan cara-cara instan. Ia belajar mencampur semen, mengangkat batu, bahkan memasang genteng. Banyak warga yang awalnya skeptis akhirnya ikut membantu.
“Dia benar-benar berubah,” gumam seorang warga.
Balai warga itu akhirnya selesai dalam waktu tiga bulan. Di peresmian, kepala desa memberikan sambutan singkat.
“Balai ini adalah hasil kerja keras Yudha dan kita semua. Ini menjadi pengingat bahwa setiap orang bisa berubah, asalkan ada niat baik.”
Yudha hanya tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia tahu ini baru langkah kecil untuk menebus kesalahan besarnya.
Cobaan Baru
Meski Yudha berusaha keras untuk memperbaiki dirinya, cobaan lain datang. Salah satu mantan rekan kerjanya, Toni, tiba-tiba muncul di desa. Toni masih terlibat dalam praktik korupsi, namun berhasil menghindari jerat hukum.
“Yud, ngapain kamu buang-buang waktu di sini? Kamu tahu kan, saya bisa bantu kamu balik ke kota. Kita mulai lagi dari awal, tapi kali ini lebih hati-hati,” bujuk Toni.
Yudha menatap Toni dengan tatapan tajam. “Tidak, Toni. Saya sudah cukup belajar. Hidup seperti itu tidak membawa kebahagiaan.”
Toni tertawa kecil. “Bertani? Hanya itu yang kamu lakukan sekarang? Kamu mau habiskan sisa hidupmu di lumpur? Jangan bodoh, Yud. Dunia ini milik orang yang berani ambil risiko.”
Namun, Yudha tidak tergoda. Ia tahu Toni adalah pengingat dari masa lalu yang harus ia tinggalkan.
“Risiko yang saya ambil dulu hanya membawa kehancuran. Saya tidak akan kembali,” jawab Yudha tegas.
Toni akhirnya pergi, tapi kehadirannya meninggalkan jejak ketakutan di hati Yudha. Ia sadar, meski sudah berubah, godaan untuk kembali ke jalan lama selalu ada.
Harapan Baru
Perlahan, reputasi Yudha mulai membaik. Warga desa yang dulu mencemooh mulai melihatnya sebagai sosok yang tulus. Bahkan, beberapa orang mendatangi Yudha untuk meminta nasihat tentang pertanian.
“Yud, bagaimana cara agar padi kita tidak cepat rusak?” tanya seorang tetangga.
Yudha dengan sabar membagikan ilmunya, hasil belajar dari buku-buku dan internet yang ia pelajari. Ia merasa senang bisa membantu orang lain, meski dalam hal-hal kecil.
Sementara itu, ladangnya semakin berkembang. Yudha memutuskan untuk mengalokasikan sebagian hasil panennya untuk membantu anak-anak desa yang kurang mampu agar bisa melanjutkan sekolah.
“Saya tidak bisa mengubah masa lalu saya, tapi saya ingin membantu orang lain punya masa depan yang lebih baik,” ujarnya kepada ibunya.
Megawati hanya bisa tersenyum bangga. Ia tahu, anaknya yang dulu hilang dalam ambisi telah kembali.
Akhir yang Damai
Beberapa tahun berlalu, dan nama Yudha tidak lagi diingat sebagai “tukang koruptor.” Ia menjadi salah satu warga desa yang dihormati karena kontribusinya. Ladangnya semakin sukses, dan ia bahkan mempekerjakan beberapa warga desa sebagai buruh tani.
Pada suatu malam, ketika ia duduk di teras bersama ibunya, Megawati memandangnya dengan tatapan lembut.
“Yudha, Ibu tidak pernah meminta kamu untuk menjadi orang kaya. Ibu hanya ingin kamu menjadi orang baik. Dan sekarang, Ibu tahu, kamu telah menjadi seperti itu.”
Yudha meraih tangan ibunya. “Terima kasih, Bu. Semua ini karena doa dan ajaran Ibu.”
Hidup Yudha mungkin tidak sempurna, tapi ia telah menemukan kedamaian. Ia sadar, kebahagiaan sejati bukanlah tentang berapa banyak harta yang dimiliki, melainkan tentang seberapa banyak kebaikan yang bisa diberikan.
Dan di bawah langit malam desa Tirta Maju, Yudha memejamkan mata, bersyukur untuk kesempatan kedua yang ia miliki.
Tamat
Amanat: janganlah kalian korup seperti megawati anak rada²[PDI]9