Sekolah adalah tempat yang penuh misteri bagi Amara. Bukan karena gedung tua atau cerita hantu di lorong belakang, tapi karena seseorang yang selalu meninggalkan catatan kecil di loker nomor 7—lokernya.
Awalnya, ia mengira itu hanya gurauan iseng teman sekelas. Namun, catatan itu muncul setiap pagi, hampir selama sebulan terakhir. Pesannya tidak pernah panjang, tapi selalu manis dan penuh teka-teki.
"Kamu terlihat cantik saat tersenyum. Dari aku, yang selalu memperhatikanmu."
"Hari ini, semoga kamu bahagia seperti bunga yang mekar di pagi hari."
"Aku suka caramu menulis, seperti ada lagu yang mengalir dari pena itu."
Amara tidak tahu siapa pengirimnya. Tidak ada nama, tidak ada petunjuk. Hanya secarik kertas kecil dengan tulisan tangan yang rapi.
"Siapa, ya, yang ngirimin ini semua?" gumam Amara sambil menatap catatan terbaru yang ia temukan.
Temannya, Rina, mengangkat bahu sambil menyengir. "Mungkin kamu punya pengagum rahasia? Cowok ganteng mungkin."
Amara hanya tersenyum kecil. Bukan berarti ia tidak penasaran, tapi ia juga menikmati misteri ini. Rasanya seperti ada seseorang di luar sana yang memperhatikannya tanpa meminta balasan.
Namun, rasa ingin tahu itu semakin kuat setiap harinya.
Suatu hari, Amara memutuskan untuk menunggu. Ia datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya dan bersembunyi di dekat lorong tempat loker berada. Ia menahan napas, berharap bisa menangkap basah siapa pun yang selama ini meninggalkan pesan-pesan itu.
Setelah hampir setengah jam menunggu, ia mendengar langkah kaki mendekat. Jantungnya berdebar kencang. Dari balik sudut, ia melihat sosok seorang cowok mengenakan jaket abu-abu.
Cowok itu berhenti di depan lokernya. Ia membuka tas, mengeluarkan secarik kertas, dan menyelipkannya ke celah loker nomor 7.
Amara mengenalnya—Dio, salah satu teman sekelasnya yang jarang bicara.
Saat istirahat, Amara menghampiri Dio di perpustakaan. Ia tahu Dio sering duduk sendirian di sana, membaca buku-buku yang jarang disentuh siswa lain.
“Dio,” panggil Amara.
Cowok itu mendongak, jelas terkejut melihat Amara berdiri di depannya. “Iya?” tanyanya, suaranya pelan.
Amara mengeluarkan catatan terbaru yang ia temukan di loker pagi tadi. “Ini... kamu yang tulis, kan?”
Dio terdiam, wajahnya memerah. Ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Amara. “Aku… maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu nggak nyaman.”
“Bukan itu.” Amara duduk di depannya. “Aku cuma penasaran. Kenapa kamu ngelakuin ini?”
Dio terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Aku nggak pernah punya keberanian buat bicara langsung sama kamu. Jadi aku pikir, mungkin lewat catatan, aku bisa menyampaikan apa yang aku rasakan.”
Amara terkejut. Ia tidak menyangka bahwa cowok pendiam seperti Dio menyimpan perasaan sebesar itu.
“Kenapa aku?” tanyanya akhirnya.
Dio tersenyum tipis. “Karena kamu selalu ramah sama semua orang. Kamu nggak pernah memandang orang dari luar. Aku suka caramu tertawa, caramu bicara. Kamu bikin dunia ini terasa lebih hangat.”
Kata-kata itu membuat Amara terdiam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Selama ini, ia tidak pernah berpikir ada orang yang memperhatikannya sedalam itu.
Setelah pertemuan itu, Amara mulai memperhatikan Dio lebih sering. Ia melihat sisi-sisi Dio yang sebelumnya ia abaikan—cara Dio selalu menolong teman-teman yang kesulitan, bagaimana ia menyimpan buku favoritnya di tempat rahasia, dan senyumnya yang muncul saat ia tidak sadar sedang diperhatikan.
Hari-hari mereka mulai dipenuhi percakapan kecil. Dio, yang awalnya pendiam, mulai membuka diri. Sementara Amara merasa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya.
Pada suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Dio mengajak Amara duduk di bangku taman sekolah. Mereka berdua diam untuk beberapa saat, menikmati suasana.
“Aku nggak nyangka kamu bakal mau bicara sama aku setelah semua itu,” kata Dio akhirnya.
“Kenapa nggak?” Amara menoleh padanya. “Aku justru senang. Kamu bikin hari-hariku jadi lebih berwarna.”
Dio tertawa kecil, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, dalam keheningan itu, Amara tahu, perasaan mereka saling berbalas.
Seminggu kemudian, catatan kecil itu berhenti muncul di loker nomor 7. Tapi Amara tidak keberatan. Karena kali ini, ia tidak membutuhkan kata-kata di atas kertas untuk merasakan kehadiran Dio.
Mereka kini berjalan berdampingan, perlahan-lahan menulis cerita mereka sendiri—tanpa rahasia, tanpa tanda tanya.