Angin musim gugur bertiup dingin, membawa bau darah dan kematian. Ji Hwan berdiri di tengah medan pertempuran, pedangnya berlumuran darah musuh. Namun, itu tidak cukup. Serangan tiba-tiba dari sekutu yang berkhianat membuat tubuhnya roboh.
"Mengapa...?" gumam Ji Hwan, darah mengalir dari sudut bibirnya. Di tengah rasa sakit yang menyesakkan, ia bersumpah dalam hati, Aku akan kembali. Aku akan membalas dendam.
Saat matanya perlahan tertutup, kegelapan merayap masuk. Tapi kemudian, ada cahaya. Cahaya yang menuntunnya ke awal baru.
Ji Hwan terbangun dengan terengah-engah. Ia tidak lagi berada di medan pertempuran, melainkan di sebuah gubuk sederhana. Tubuhnya kecil, tangan dan kakinya lemah seperti milik anak-anak. Ia melihat bayangan wajahnya di mangkuk air: seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun.
"Apa ini? Di mana aku?" bisiknya.
Ia segera menyadari bahwa ini bukan tubuhnya yang dulu, namun ingatan dan emosinya tetap utuh. Dunia Murim yang ia kenal tetap sama, penuh dengan intrik dan kekuatan. Tapi sekarang, ia hanyalah seorang anak biasa bernama Yun, tinggal di desa kecil di kaki gunung.
Hari-hari berlalu. Yun bekerja keras membantu orang tuanya di ladang. Namun, setiap malam, ia bermimpi tentang kehidupan lamanya—tentang pertempuran, pengkhianatan, dan dendam yang membara.
Suatu hari, saat sedang menggembala ternak di hutan, ia bertemu seorang lelaki tua yang aneh. Lelaki itu mengenakan jubah lusuh, namun aura kekuatan yang memancar darinya tidak dapat disembunyikan.
"Kau punya jiwa yang gelisah," kata lelaki tua itu.
Yun menatapnya tajam. "Siapa kau?"
Lelaki itu tersenyum kecil. "Seseorang yang bisa membantumu menemukan jalan. Kau bukan anak biasa, kan?"
Sejak saat itu, lelaki tua bernama Guru Baek menjadi mentornya. Ia mengajari Yun seni bela diri dan meditasi untuk mengendalikan qi. Yun menyerap semua ilmu itu dengan cepat, seolah tubuh barunya memang sudah menunggu pelatihan seperti ini.
"Aku akan membalas dendam," kata Yun suatu malam, saat ia berlatih memotong kayu dengan pedang kayu.
Guru Baek menggeleng. "Dendam adalah racun. Kau tidak akan menemukan kedamaian jika hanya mengejarnya."
Namun, hati Yun terlalu keras untuk mendengarkan.
Tahun demi tahun berlalu. Yun tumbuh menjadi pemuda tangguh. Ia melindungi desa dari serangan bandit kecil, tetapi tidak pernah melupakan sumpahnya.
Pada suatu malam, desa mereka diserang oleh kelompok bandit yang lebih besar. Mereka dipimpin oleh seorang pria yang membuat darah Yun mendidih—pemimpin bandit itu adalah Kang Do, anggota klan yang telah mengkhianatinya dalam kehidupan sebelumnya.
"Kau takkan lolos kali ini," gumam Yun.
Pertempuran berlangsung sengit. Yun menggunakan semua teknik yang diajarkan oleh Guru Baek. Dengan pedang di tangannya, ia menebas musuh satu per satu.
Namun, saat ia menghadapi Kang Do, keraguan muncul di hatinya. Apakah aku ingin mengulang tragedi yang sama? Apakah ini hidup yang kuinginkan?
Akhirnya, Yun tidak membunuh Kang Do, tetapi melumpuhkannya. Ia menyerahkan bandit itu pada penduduk desa untuk dihakimi.
Setelah pertarungan itu, Yun merenung di tepi sungai. Guru Baek mendekatinya, membawa anggur.
"Apa kau menemukan jawabanmu?" tanya Guru Baek.
Yun mengangguk pelan. "Aku mengerti sekarang. Dendam hanya akan membuatku terikat pada masa lalu. Hidup baru ini adalah kesempatan untuk membuat hal yang benar."
Guru Baek tersenyum puas. "Kau akhirnya menemukan jalanmu sendiri."
Mulai hari itu, Yun meninggalkan dendamnya. Ia menjadi pelindung desa, seorang pahlawan yang tidak mencari kemuliaan, tetapi memberikan harapan bagi mereka yang lemah.
Masa lalunya menjadi bayangan yang memudar, tetapi pelajaran darinya tetap abadi.
TAMAT JIR