"Hahhh..." Desahan Asha terdengar pelan di tengah keheningan pagi yang dingin. Ia duduk termenung di atas batu besar di tepi sungai, menggenggam kuas dengan tangan kiri, matanya kosong menatap kanvas kosong di depannya. Jari-jarinya bergetar sedikit, dan suara desahan itu keluar begitu saja tanpa sengaja. Rasanya seperti ada sesuatu yang berat di dadanya, seperti sesuatu yang hilang, namun ia tidak tahu pasti apa.
Tiba-tiba, ada suara gemerisik daun dan langkah kaki yang terasa berat. "Asha!" terdengar suara yang familiar, keras dan ceria, mengganggu kesunyian yang tadi melingkupi hati Asha. Ia menoleh dengan sedikit terkejut dan melihat Arga melompat keluar dari semak-semak dengan senyuman lebar, seolah tidak ada yang bisa membuatnya berhenti tertawa.
"Arah!" teriak Asha, mencoba untuk menutupi kegelisahannya dengan nada yang sedikit kesal. "Kau gila? Kenapa sih nggak bisa berhenti ngelakuin hal aneh kayak gitu?"
Arga hanya tertawa lebar, bahkan melompat ke dalam sungai dengan tubuh basah kuyup, rambutnya berantakan. "Aku cuma ingin memastikan kalau kau nggak ketinggalan kenangan indah ini, Asha!" katanya dengan penuh semangat. "Lihat, aku bawa rumput untuk kita makan malam nanti. Itu tanda aku sayang banget sama kamu."
Asha hanya bisa menggelengkan kepala, meski sedikit bingung. "Kau ini nggak tahu malu," katanya sambil menatap Arga yang tampak sangat menikmati kegilaannya. "Kapan sih kau berhenti melakukan hal-hal aneh kayak gini?"
Namun, meski ia kesal, Asha tidak bisa menahan tawa. Arga memang selalu bisa membuatnya merasa lebih ringan. Ada sesuatu dalam senyuman Arga yang selalu berhasil membuat dunia Asha terasa lebih terang.
Momen itu membawa mereka semakin dekat. Hari demi hari, mereka menghabiskan waktu bersama. Berjalan di ladang bunga matahari, duduk di pinggir sungai saat matahari terbenam, bersepeda bersama di jalanan desa. Semua terasa begitu sempurna, namun ada satu hal yang Asha tidak bisa pungkiri—ia mulai merasakan sesuatu lebih dari sekadar persahabatan. Ia mulai merasa hangat, bahkan cemas setiap kali Arga menghilang beberapa saat atau terlihat lelah. Tetapi Asha selalu mencoba untuk menyembunyikan perasaannya, takut untuk menghadapinya.
Namun, semakin lama, Asha menyadari ada yang aneh dengan Arga. Ia semakin sering tampak lelah, kurus, dan sering mengeluh tentang sakit di dadanya. Arga akan selalu tertawa, berkata bahwa ia baik-baik saja, namun Asha bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang ia sembunyikan.
Suatu hari, ketika mereka duduk bersama di bawah pohon besar, Arga memandang langit dan berkata dengan suara yang lebih serius dari biasanya. "Asha, aku ingin kau tahu satu hal," katanya perlahan.
Asha menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa, Arah?"
"Aku sakit," jawab Arga, suaranya terdengar sangat lemah. "Aku punya penyakit jantung. Aku... aku nggak punya banyak waktu."
Asha merasa dunia seakan berhenti berputar. Jantungnya berdetak cepat, hampir tidak percaya. "Apa? Kenapa baru bilang sekarang?" tanyanya dengan suara yang hampir pecah. "Kenapa nggak bilang dari dulu?"
Arga hanya tersenyum lemah. "Aku nggak mau membuatmu khawatir, Asha. Aku hanya ingin kamu mengingat aku dengan senyuman, bukan air mata."
Asha merasa hatinya hancur. Bagaimana mungkin ia bisa menerima kenyataan ini? Arga, teman yang selalu ceria dan penuh energi, kini harus berjuang melawan penyakit yang tidak bisa ia hindari. Ia merasa tak berdaya, namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah takdir itu.
Waktu yang Terbatas
Hari demi hari berlalu, dan keadaan Arga semakin buruk. Asha semakin sering menemani Arga ke rumah sakit, menunggu hasil pemeriksaan, namun semua itu tidak membuatnya lebih tenang. Setiap kali melihat Arga tersenyum meski tubuhnya semakin lemah, hatinya semakin sakit. Asha berusaha menyembunyikan kecemasannya di depan Arga, tetapi di dalam hatinya, ia merasa semakin rapuh.
Pada suatu sore, setelah Arga selesai menjalani pemeriksaan, mereka duduk di taman rumah sakit. Arga menatap bunga matahari yang tumbuh di sekitar mereka dengan tatapan penuh harapan.
"Asha," suara Arga terdengar pelan, "aku ingin melakukan sesuatu yang gila. Aku ingin bungee jump."
Asha memandangnya dengan kaget. "Bungee jump? Arah, kau gila! Kau nggak bisa kayak gitu! Kau—"
"Jangan khawatir," Arga memotong dengan senyum. "Aku ingin melakukannya. Ini keinginanku. Aku ingin merasakan kebebasan, merasakan hidup sepenuhnya sebelum semuanya berakhir."
Asha merasa hatinya terbagi. Ia ingin melarang Arga, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan Arga untuk melakukan apa yang ia inginkan. Jadi, dengan hati yang berat, Asha setuju untuk menemani Arga melakukan hal itu.
Hari itu, mereka berdiri di tepi jurang, siap melompat. Arga tersenyum lebar, matanya berbinar, dan Asha bisa merasakan ada kedamaian dalam hatinya meski cemas. "Asha, aku nggak pernah merasa hidup seperti ini," katanya dengan suara penuh semangat.
Asha hanya bisa menggenggam tangannya erat. "Hati-hati, Arah."
Mereka melompat bersama, dan sesaat, Asha merasa seperti terbang, seperti semua kekhawatiran dan ketakutan mereka lenyap dalam sekejap. Namun, begitu kembali ke tanah, kenyataan kembali menghampiri mereka. Arga semakin lemah, dan Asha tahu bahwa waktunya hampir habis.
Kepedihan yang Tak Terucapkan
Beberapa minggu kemudian, Arga terbaring di rumah sakit. Tubuhnya semakin kurus, dan matanya mulai tampak kosong. Asha duduk di samping ranjang Arga, memegangi tangannya dengan erat. Mereka tidak banyak berbicara, hanya duduk bersama, menikmati sisa-sisa waktu yang ada.
"Asha," suara Arga terdengar sangat lemah, namun penuh makna. "Aku ingin kau tahu, aku mencintaimu. Selalu sejak pertama kali kita bertemu."
Air mata Asha mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. "Aku juga mencintaimu, Arah. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
Arga tersenyum, meski senyum itu tampak semakin pudar. "Kau bisa, Asha. Kau lebih kuat dari yang kau kira."
Dan dengan senyum terakhirnya, Arga pergi. Dengan tenang, tanpa suara, meninggalkan dunia yang penuh kenangan indah bersama Asha.
Lukisan Terakhir
Setelah Arga pergi, Asha kembali ke tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Di bawah pohon besar yang teduh di tepi sungai, Asha duduk dengan kanvas di depannya, mengenang semua kenangan yang telah mereka lalui. Ia memandang langit yang kini terasa lebih sunyi, dan dengan hati yang hancur, Asha mulai melukis.
Lukisan itu adalah lukisan Arga—dengan senyum lebar dan mata yang penuh kebahagiaan, seperti yang selalu ia kenal. Ini adalah kenangan terakhir yang bisa Asha simpan, kenangan yang akan selalu ada di hatinya meski Arga sudah tiada.
Lukisan itu bukan hanya sebuah karya seni. Itu adalah harapan, cinta, dan kenangan yang tidak akan pernah pudar dari hati Asha. Sebuah lukisan terakhir yang akan ia bawa selamanya, sebagai pengingat akan seorang pria yang memberi cahaya dalam hidupnya, bahkan dalam kepergiannya.
Terimakasih udah membaca jgn lupa like dan komentar! Makasihh dan batu follow saluran whatsappku yaaa teman2 link nya dibawah yaa
https://whatsapp.com/channel/0029VaxRMZWG8l56kD3DfA0z