Malam itu, hujan turun deras. Langit gelap seperti menyimpan amarah yang tidak terucap. Dan di tengah gemuruh petir, Rehan berdiri di depan pintu rumah tua itu, menatap seorang perempuan yang pernah mengisi hari-harinya: Alia.
“Rehan?” Alia memanggil pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah derasnya hujan.
Rehan tidak menjawab. Tangannya menggenggam erat sebuah pisau kecil yang tersembunyi di balik jaketnya. Rasa sakit yang dipendamnya selama bertahun-tahun mendidih di dada.
“Gue dateng buat nanya satu hal, Al,” kata Rehan akhirnya, suaranya dingin.
Alia memandangnya dengan raut bingung. “Kenapa lo dateng, Han? Udah lama banget…”
“Kenapa lo tega?” potong Rehan, suaranya gemetar. “Kenapa lo pilih ninggalin gue demi orang yang ngancurin hidup gue?”
Alia terdiam. Pertanyaan itu seperti pukulan keras yang dia tahu akan datang, tapi tetap membuatnya tersentak.
“Gue nggak pernah ninggalin lo, Han,” jawab Alia pelan. “Gue cuma nggak punya pilihan.”
“Pilihan?” Rehan tertawa pahit. “Semua orang punya pilihan, Al. Dan lo milih dia. Lo milih orang yang bikin bokap gue bangkrut, yang bikin keluarga gue ancur!”
Alia melangkah maju, mencoba mendekati Rehan. “Lo nggak ngerti, Han. Gue cuma…”
“Jangan bohong!” Rehan mundur selangkah, matanya penuh dengan luka yang belum sembuh. “Gue tahu lo sengaja. Gue tahu lo cuma pura-pura peduli sama gue dulu.”
“Tapi gue sayang sama lo!” Alia berseru, air mata mulai mengalir di pipinya.
Rehan terdiam. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada pisau di tangannya.
“Gue nggak pernah berhenti sayang sama lo, Han,” lanjut Alia, suaranya bergetar. “Tapi waktu itu… gue nggak bisa nolak permintaan nyokap gue. Mereka ancam keluarga gue juga.”
Rehan tertegun. Dadanya sesak. Dia ingin percaya, tapi rasa dendam yang sudah lama tumbuh dalam dirinya menolak untuk mati begitu saja.
“Gue cuma pengen lo tahu satu hal, Han,” Alia melanjutkan, suaranya melemah. “Semua yang gue lakuin waktu itu, gue lakuin karena gue pengen lo selamat. Gue tahu lo bakal benci gue, tapi itu lebih baik daripada lo terluka.”
Hujan semakin deras. Rehan menatap Alia, mencoba mencari kebohongan di wajahnya. Tapi yang dia temukan hanya kesedihan yang sama seperti yang dia rasakan selama ini.
“Lo pikir semua ini mudah buat gue?” Alia bertanya pelan. “Lo pikir gue nggak nyesel setiap hari? Tapi gue milih diem, karena gue tahu… gue nggak pantas buat lo lagi.”
Pisau di tangan Rehan terasa berat. Amarahnya yang tadinya menguasai berubah jadi kekosongan. Dia menatap mata Alia yang penuh dengan air mata, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ragu.
“Apa pun yang lo pikir tentang gue, Han… gue cuma mau lo tahu satu hal. Gue nggak pernah berhenti cinta sama lo.”
Rehan menutup matanya, menahan air mata yang ingin keluar. Pisau itu terjatuh ke tanah, suaranya tenggelam oleh suara hujan.
Dia berbalik, melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa. Dendamnya belum sepenuhnya hilang, tapi dia tahu, cinta itu masih ada di sana.
Di balik hitamnya dendam, ada kesucian cinta yang tidak bisa dia abaikan.