Di sebuah sekolah menengah, di sudut kelas yang selalu ramai, ada dua sahabat bernama Rina dan Dika. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan kedekatan mereka membuat banyak orang mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Namun, Rina menyimpan perasaan yang lebih dalam untuk Dika, sementara Dika tidak menyadari perasaan Rina.
Suatu hari, saat istirahat, Rina dan Dika duduk di bangku taman sekolah.
“Dika, kamu tahu nggak? Banyak yang bilang kita cocok banget,” kata Rina sambil tersenyum.
Dika tertawa, “Iya, mungkin karena kita sering bareng. Tapi kita kan cuma sahabat, Rina.”
Rina menelan ludah, hatinya bergetar. “Iya, sahabat. Tapi… kamu pernah mikir nggak sih tentang cinta?”
Dika menggeleng. “Cinta itu rumit. Aku lebih suka fokus pada sekolah dan hobi.”
Rina hanya bisa tersenyum pahit. “Iya, kamu benar. Cinta itu memang rumit.”
Hari-hari berlalu, dan Rina semakin sulit menyembunyikan perasaannya. Suatu sore, mereka berjalan pulang bersama. Rina berusaha mencari keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.
“Dika, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Rina dengan suara bergetar.
“Ada apa, Rina?” Dika menatapnya dengan penuh perhatian.
Rina menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku suka seseorang.”
Dika tersenyum lebar. “Wah, siapa? Siapa yang beruntung itu?”
Rina merasa hatinya hancur. “Seseorang yang… dekat dengan aku.”
Dika mengernyitkan dahi. “Dekat? Siapa? Aku penasaran!”
Rina menunduk, “Seseorang yang selalu ada di sampingku.”
Dika tertawa. “Kamu bikin penasaran! Kenapa nggak bilang langsung?”
Rina merasa air mata menggenang di matanya. “Karena… aku takut.”
“Takut apa?” Dika bertanya, bingung.
“Takut kehilangan kamu,” jawab Rina pelan.
Dika terdiam sejenak. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Rina. Kita sahabat selamanya.”
Rina tersenyum, meski hatinya terasa hancur. “Iya, sahabat selamanya.”
Beberapa minggu kemudian, Dika mulai dekat dengan seorang gadis baru di sekolah, Lisa. Rina melihat semua itu dari jauh, hatinya semakin sakit.
Suatu hari, Rina tak bisa menahan perasaannya lagi. Dia memutuskan untuk menulis surat untuk Dika.
“Dika, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Tapi aku tidak ingin merusak persahabatan kita. Jadi, aku akan tetap diam. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu.”
Rina menaruh surat itu di dalam buku Dika saat dia tidak melihat. Namun, Dika tidak pernah membaca surat itu. Dia terlalu sibuk dengan Lisa.
Beberapa bulan berlalu, Rina melihat Dika dan Lisa berjalan berpegangan tangan. Rina merasa hatinya hancur. Dia memutuskan untuk menjauh dari Dika, meski itu sangat menyakitkan.
Suatu malam, Dika menelepon Rina.
“Rina, kamu kenapa? Kenapa jarang muncul?” tanya Dika khawatir.
“Aku baik-baik saja, Dika. Aku hanya butuh waktu sendiri,” jawab Rina dengan suara pelan.
“Jangan seperti itu. Kita sahabat, kan? Aku khawatir,” Dika berkata.
Rina tersenyum pahit. “Iya, sahabat. Tapi kadang, kita harus memberi ruang untuk diri kita sendiri.”
Dika terdiam. “Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ya.”
“Ya, Dika. Terima kasih,” jawab Rina, menahan air mata.
Hari-hari berlalu, Rina semakin menjauh. Dia menyaksikan Dika dan Lisa bahagia dari jauh, sementara hatinya terus merana.
Suatu malam, saat Rina duduk sendirian di taman, dia melihat Dika dan Lisa tertawa bersama. Rina tersenyum, meski hatinya sakit. Dia tahu, cinta pertamanya akan selalu tersimpan dalam diam.
“Selamat, Dika. Semoga kamu bahagia,” bisiknya pada diri sendiri.
Dan di dalam hati Rina, cinta pertamanya akan selalu menjadi kenangan indah yang tak terungkap, meski berakhir dengan kesedihan.
▪︎▪︎▪︎
Hari-hari berlalu, dan Rina merasa semakin terjebak dalam perasaannya. Dia tahu, jika dia tidak mengungkapkan cintanya pada Dika, dia akan kehilangan kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang lagi.
Namun, di sisi lain, ada kabar buruk yang menghantuinya. Keluarganya harus pindah ke kota lain karena pekerjaan ayahnya.
Suatu malam, Rina duduk di balkon sambil memandangi bintang-bintang. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Dika.
Rina: Dika, bisa kita ketemu besok? Ada yang penting yang ingin aku bicarakan.
Tak lama kemudian, Dika membalas.
Dika: Tentu! Jam berapa?
Rina mengatur pertemuan di taman sekolah, tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Keesokan harinya, Rina datang lebih awal, menunggu dengan hati berdebar. Ketika Dika tiba, senyumnya membuat jantung Rina berdegup kencang.
“Rina! Kamu kelihatan cemas. Ada apa?” tanya Dika, duduk di sampingnya.
Rina menarik napas dalam-dalam. “Dika, aku… aku harus bilang sesuatu yang penting.”
Dika menatapnya serius. “Kamu bisa bilang apa saja, Rina.”
Rina menunduk, berusaha menahan air mata. “Aku… aku akan pindah ke kota lain. Dalam waktu dekat.”
Dika terkejut. “Pindah? Kenapa? Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya?”
“Karena aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Aku tidak ingin kamu merasa sedih,” jawab Rina, suaranya bergetar.
Dika menggenggam tangan Rina. “Tapi kita sudah berteman lama. Kenapa harus pergi?”
“Karena ini keputusan keluargaku. Aku tidak bisa melawan,” Rina menjelaskan, air mata mulai mengalir di pipinya.
Dika menghela napas. “Tapi… aku akan merindukanmu, Rina. Kamu sahabat terbaikku.”
Rina menatap Dika, hatinya hancur. “Aku juga akan merindukanmu, Dika. Kamu adalah segalanya bagiku.”
Dika terdiam sejenak, lalu bertanya, “Tapi… ada yang ingin kamu katakan sebelum pergi?”
Rina menatap mata Dika, ingin sekali mengungkapkan perasaannya. Namun, kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. “Aku… aku hanya ingin kamu tahu, kamu sangat berarti bagiku.”
Dika tersenyum, meski ada kesedihan di matanya. “Aku juga, Rina. Kita akan tetap berhubungan, kan?”
“Ya, tentu. Aku akan berusaha,” jawab Rina, meski hatinya merasa berat.
Hari-hari terakhir Rina di kota itu dipenuhi dengan kenangan indah bersama Dika. Mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa dan berbagi cerita, tetapi Rina tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, hatinya semakin sakit.
Pada hari terakhirnya, Rina dan Dika berdiri di depan rumah Rina. Dika memegang bahu Rina, “Ingat, kita akan selalu jadi sahabat, apapun yang terjadi.”
Rina mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku akan selalu mengingat semua kenangan kita, Dika.”
Dika tersenyum pahit. “Dan aku akan selalu menunggu kamu kembali.”
Rina memeluk Dika erat-erat, “Selamat tinggal, Dika. Terima kasih untuk segalanya.”
Saat Rina melangkah pergi, hatinya terasa hancur. Dia tahu, cinta pertamanya akan selalu tersimpan dalam diam, dan perpisahan ini adalah akhir dari sebuah bab yang indah namun menyakitkan.