Di sebuah dusun terpencil di kaki gunung Merapi, malam Jumat Kliwon selalu dianggap waktu yang sakral. Angin dingin meniup dedaunan, dan bulan sabit menggantung tipis di langit kelam. Suara jangkrik terdengar mendayu-dayu, menyelimuti desa dengan keheningan yang terasa berbeda malam itu.
Di sebuah rumah sederhana, Mbah Surip, seorang dukun tua yang dikenal bijaksana, tengah duduk di ruang tamunya. Ia mengenakan kain lurik usang, tangannya memegang cangkir wedang jahe yang mengepul. Malam ini, tamu misterius dikabarkan akan datang.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu. Suaranya pelan tapi tegas.
“Tok, tok, tok...”
Mbah Surip menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Saapa sing teka ning wektu koyok ngene?” (Siapa yang datang di waktu seperti ini?)
Tak ada jawaban. Namun, ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Tok, tok, tok...”
Dengan langkah pelan, Mbah Surip menuju pintu. Ia membuka sedikit celah, memperlihatkan sosok lelaki berjubah hitam berdiri di depan pintu. Wajahnya tertutup caping lebar, hanya bagian mulutnya yang terlihat tersenyum tipis.
“Sugeng dalu, Mbah Surip.” (Selamat malam, Mbah Surip.)
“Sugeng dalu, sampeyan sopo?” (Selamat malam, Anda siapa?)
Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah masuk tanpa dipersilakan. Tubuhnya tinggi besar, membuat ruang tamu terasa sesak.
“Mbah, aku ki dudu wong biasa.” (Mbah, saya ini bukan orang biasa.)
Mbah Surip menatapnya dengan tatapan waspada.
“Yen dudu wong biasa, terus arep ngapa teka ning omahku?” (Kalau bukan orang biasa, lalu apa tujuanmu datang ke rumahku?)
Lelaki itu tersenyum lebih lebar, menunjukkan giginya yang anehnya berwarna hitam pekat.
“Aku duwe urusan gedhe karo kowe, Mbah.” (Aku punya urusan besar denganmu, Mbah.)
“Urusan opo?” (Urusan apa?)
Lelaki itu mendekatkan wajahnya, sehingga napasnya terdengar berat.
“Nyawane bocah wadon sing saiki turu ning omah iki. Aku arep njupuk.” (Nyawa gadis yang sekarang tidur di rumah ini. Aku mau mengambilnya.)
Mbah Surip tercekat. Di kamar belakang, Siti, cucunya yang berusia 12 tahun, tengah tidur pulas.
“Sampeyan ora bakal bisa njupuk nyawane Siti tanpa idin kula.” (Kamu tidak akan bisa mengambil nyawa Siti tanpa izin dariku.)
Lelaki itu tertawa dingin, menggema seperti suara angin malam.
“Aku ora butuh idinmu. Aku mung ngabarake.” (Aku tidak butuh izinmu. Aku hanya memberi tahu.)
Mbah Surip berdiri tegap di depan lelaki berjubah hitam itu. Meskipun usianya sudah senja, sorot matanya tetap tajam, seolah tidak takut pada ancaman di depannya.
“Kowe ora bakal nggawa Siti. Ora ning omah iki, ora ning deso iki.” (Kamu tidak akan membawa Siti. Tidak di rumah ini, tidak di desa ini.)
Lelaki itu hanya menyeringai. Ia melangkah perlahan, mengitari ruangan seperti sedang memeriksa sesuatu.
“Mbah, aku ora pengin masalah karo kowe.” (Mbah, saya tidak ingin masalah denganmu.)
“Yen ora pengin masalah, lunga saiki!” (Kalau tidak ingin masalah, pergi sekarang!)
Lelaki itu berhenti, membelakangi Mbah Surip.
“Anak wadon iku, dheweke duwe sengkolo.” (Gadis itu, dia membawa kutukan.)
Mbah Surip mengepalkan tangannya.
“Omonganmu ora jelas! Kutukan apa?” (Omonganmu tidak jelas! Kutukan apa?)
Lelaki itu berbalik. Matanya yang berwarna merah menatap langsung ke Mbah Surip.
“Dheweke bakal nggawa cilaka kanggo kabeh wong ning kene. Yen ora saiki aku njupuk nyawane, kabeh deso iki bakal musnah sakdurunge esuk.” (Dia akan membawa malapetaka untuk semua orang di sini. Jika saya tidak mengambil nyawanya sekarang, seluruh desa ini akan musnah sebelum pagi.)
Mbah Surip terdiam sejenak. Namun, ia segera menggeleng kuat.
“Nyawane bocah iku ora tanggung jawabmu, nanging tanggung jawabku. Yen pancen ono cilaka, aku sing nanggung!” (Nyawa gadis itu bukan tanggung jawabmu, tetapi tanggung jawabku. Jika memang ada bencana, aku yang akan menanggung!)
Lelaki berjubah itu terkekeh dingin. Ia melangkah mendekat hingga berdiri hanya beberapa jengkal dari Mbah Surip.
“Yen ngono, aku duwe tawaran.” (Kalau begitu, saya punya tawaran.)
“Tawaran opo?” (Tawaran apa?)
Lelaki itu mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah cincin kuno berwarna hitam dengan permata merah menyala.
“Ganti nyawane bocah iku nganggo nyawamu. Aku bakal lunga, lan deso iki aman.” (Ganti nyawa gadis itu dengan nyawamu. Saya akan pergi, dan desa ini aman.)
Mbah Surip memandang cincin itu lekat-lekat. Ia tahu, tawaran ini bukan sekadar jebakan. Cincin itu membawa energi gelap yang luar biasa. Jika ia menerimanya, tidak hanya nyawanya yang hilang, tapi mungkin jiwanya akan terperangkap selamanya.
“Pikirkan, Mbah. Sampeyan wis tua. Bocah iku isih nduwe masa depan sing dawa.” (Pikirkan, Mbah. Anda sudah tua. Gadis itu masih memiliki masa depan yang panjang.)
Mbah Surip menatap lelaki itu dengan sorot mata tegas.
“Cilik ora urusanku kanggo menehi nyawaku kanggo sampeyan. Lungo saiki, utawa aku bakal ngusir kowe nganggo cara sing beda.” (Bukan urusanku untuk memberikan nyawaku padamu. Pergi sekarang, atau aku akan mengusirmu dengan cara lain.)
Lelaki berjubah itu tertawa keras. Tiba-tiba, angin kencang menerobos ruangan, membuat lentera yang tergantung di dinding bergoyang liar.
“Kowe wani nantang aku, Mbah?” (Kamu berani menantangku, Mbah?)
“Yen demi kulawargaku, aku ora bakal mundur.” (Jika demi keluargaku, aku tidak akan mundur.)
Bagian 1 TAMAT....
MAKASI DAH BACA.
TUNGGU BAGIAN 2 NYA.