Namira atau yang lebih akrab dipanggil Mira oleh orang-orang di sekitarnya, duduk termenung di kamarnya yang dipenuhi oleh tumpukan buku-buku teknik sipil. Sesekali, pandangannya terlempar ke luar jendela, mengamati langit sore yang mulai meredup. Tangannya terulur, meraih sebuah sketsa baju yang baru saja ia buat di sela-sela jadwal kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk.
“Kalau saja aku bisa mengejar mimpiku...” Mira menghela napas panjang. Pikiran itu sering mengganggunya, menghantui setiap langkah yang ia ambil di jalur akademis yang dipilihkan oleh orang tuanya. Ia bukan tidak bersyukur, tapi tetap saja ada ruang kosong dalam hatinya yang tak pernah terisi penuh.
Ibunya, Farida, adalah sosok wanita yang hidup dengan standar dan pandangan keluarga besar mereka. Setiap kali Mira mencoba menyampaikan keinginannya, ia selalu dipotong oleh ibu yang menekankan, “Mira, kita harus menjaga nama baik keluarga. Bukankah kamu ingin membanggakan ayah dan ibu?”
Di sisi lain, ayah Mira, Pak Irwan, jarang terlihat di rumah. Sebagai kontraktor yang sibuk, waktu untuk keluarga adalah kemewahan yang tidak bisa ia berikan. Akibatnya, Mira sering merasa canggung saat berada di tengah-tengah keluarganya sendiri. Keheningan di meja makan, obrolan yang lebih mirip basa-basi daripada percakapan penuh kasih, adalah hal biasa bagi Mira.
---
Di kampus, Mira mencoba menjadi seseorang yang tidak terlalu menarik perhatian. Namun, ada satu orang yang selalu memperhatikannya diam-diam, Josua. Ia adalah dosen muda yang sering mengajar mata kuliah teknik sipil. Di usianya yang baru tiga puluh, Josua memiliki semangat yang membuat mahasiswa sering betah di kelasnya. Dan di antara banyak mahasiswa, ada Mira yang menarik perhatiannya.
“Hari ini dia tampak lebih murung dari biasanya,” gumam Josua sambil memerhatikan Mira dari kejauhan. Tatapan matanya yang penuh perhatian tak pernah Mira sadari, atau mungkin lebih tepatnya, Mira tidak ingin menyadarinya.
---
Setiap kali suasana di rumah terasa menyesakkan, Mira akan melangkahkan kakinya ke butik milik keluarga Sea, sahabatnya sejak SMA. Di sana, Mira merasa hidup. Sea selalu menyambutnya dengan senyum hangat, dan mereka sering menghabiskan waktu mengembangkan desain-desain Mira.
“Mira, lihat desain yang kamu buat minggu lalu! Pelanggan sangat menyukainya,” ujar Sea sambil menunjukkan sebuah gaun elegan yang dipajang di etalase.
Mira tersenyum kecil, perasaan bahagia dan lega menyelinap di hatinya. “Tapi ingat, Sea. Kita sudah sepakat untuk tidak menyebut namaku. Aku nggak mau orang tua tahu tentang ini,” katanya, meski ada nada getir dalam suaranya.
Sea menghela napas. “Iya, aku tahu. Tapi... Mira, kamu nggak bisa selamanya menyembunyikan apa yang kamu suka.”
Mira hanya mengangkat bahu. “Kadang, Sea, mimpi dan kenyataan nggak berjalan beriringan. Aku cuma bisa melakukan ini diam-diam, dan itu sudah cukup.”
---
Suatu malam, Josua yang merasa penat memutuskan untuk pergi ke pantai. Langit malam penuh bintang, dan deburan ombak seolah menjadi melodi yang menenangkan pikirannya. Di kejauhan, ia melihat seseorang yang dikenalinya. Mira duduk di atas pasir, menatap laut dengan mata yang tampak sendu. Di tangannya, sebotol minuman bersoda masih utuh.
Josua memperhatikan Mira dari kejauhan, tidak ingin mengganggunya. Wajah Mira yang selalu terlihat ceria di kampus kini tampak lelah, seakan beban yang dipikulnya terlalu berat untuk disembunyikan. Tanpa sadar, Josua menggenggam tangannya sendiri, mencoba menahan keinginan untuk menghampiri Mira.
“Dia tampak begitu kuat, tapi... kenapa kelihatannya sangat rapuh sekarang?” pikir Josua.
Mira akhirnya bangkit, menepuk-nepuk pasir dari pakaiannya. Ia berjalan pelan, seolah setiap langkah adalah usaha yang menyakitkan. Josua tidak berani mendekat, dan malam itu berlalu tanpa sepatah kata pun terucap.
---
Keesokan harinya, Josua memberanikan diri menghubungi Mira. Dengan sedikit nekat, ia menggunakan data mahasiswa yang ia miliki.
“Halo, ini Mira?” sapanya dengan suara tenang.
Mira terdiam sejenak sebelum menjawab, “Iya. Maaf, ini siapa ya?”
“Ini Josua. Dosenmu,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Aku ingin mengajakmu bergabung dalam proyek ilmiah. Aku butuh bantuanmu.”
Mira mengerutkan kening. “Proyek ilmiah?”
“Ya. Aku tahu kamu sibuk, tapi... aku rasa kamu akan menikmatinya,” bujuk Josua. Mira menghela napas panjang. Meski ragu, ia menerima tawaran itu.
---
Hari-hari berikutnya diisi dengan pertemuan-pertemuan proyek. Meski Mira tetap bersikap dingin, Josua terus mencoba mendekatinya dengan kesabaran. Mereka menghabiskan waktu di perpustakaan, diskusi di ruang kelas kosong, dan kadang-kadang duduk di kafe kecil sambil menyelesaikan tugas mereka. Meskipun Mira tidak pernah benar-benar terbuka, Josua merasakan perubahan kecil dalam sikapnya.
“Kenapa kamu selalu bersikap seolah tidak ada yang bisa menyentuhmu?” tanya Josua suatu sore.
Mira menatapnya. “Karena itu lebih mudah,” jawabnya singkat.
Josua menatapnya dengan penuh perhatian. “Kadang, kamu boleh membiarkan orang lain tahu kalau kamu tidak baik-baik saja.”
Mira terdiam. Ada sesuatu dalam suara Josua yang menenangkannya, tetapi juga menakutkan. Ia tidak ingin menjadi rapuh di hadapan siapa pun.
---
Suatu sore, Josua berinisiatif menjemput Mira di rumahnya. Ia ingin merayakan selesainya proyek mereka di sebuah kafe. Tapi saat ia tiba, Mira keluar dengan wajah merah dan air mata yang berusaha ia tahan. Dengan gerakan kasar, Mira membanting pintu di belakangnya, mengejutkan Josua.
“Mira...?” Josua memanggilnya pelan, bingung melihat amarah yang jelas terlihat di wajah Mira. Gadis itu berusaha mengatur napasnya, tetapi rasa sakit dan kecewa membuat dadanya sesak.
“Ibu selalu...,” Mira menggeleng, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dengan refleks, Josua melangkah mendekat dan merengkuh Mira ke dalam dekapannya. Mira terdiam, tubuhnya menegang, tetapi perlahan-lahan ia melepaskan semua beban yang selama ini ia tahan.
“Tenang, aku di sini,” bisik Josua lembut.
Pintu yang terbuka kembali menampakkan ibu Mira, Farida, yang menatap mereka dengan heran. “Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Takut jika perbuatan mira memicuh gosip yang tidak - tidak di lingkungan mereka.
Josua menatap ibu Mira dengan penuh kehati-hatian. “Maaf, Bu. Saya hanya ingin membawa Mira sebentar. Saya janji akan mengembalikannya dengan selamat,” ucap Josua sopan.
Ibu Mira mengangguk pelan, meski masih bingung. Josua segera membawa Mira pergi, dan mereka melaju tanpa tujuan yang jelas. Akhirnya, mereka berhenti di sebuah kafe kecil. Josua memesan makanan ringan yang manis, berharap itu bisa sedikit menghibur Mira.
Malam itu, mereka tidak banyak bicara tentang apa yang terjadi. Mereka hanya membahas proyek yang baru saja selesai, tertawa kecil di antara cerita-cerita ringan. Tetapi bagi Mira, kehadiran Josua memberi kenyamanan yang selama ini jarang ia rasakan.
---
Sejak malam itu, Mira mulai membuka dirinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, dan Mira merasa Josua selalu ada untuk membantunya. Hubungan mereka perlahan berkembang, meski tidak pernah diikat oleh sebuah janji resmi.
Di hari kelulusan Mira, Josua datang dengan setelan jas sederhana. Di tangannya, ada sebuah kotak kecil yang ia genggam erat. Setelah acara selesai, Josua mendekati Mira.
“Mira,” panggilnya lembut. “Aku tahu ini mungkin mendadak, tapi aku ingin kamu tahu... aku ingin melindungimu. Lebih dari siapa pun, termasuk keluargamu. Aku ingin kita membentuk keluarga kecil yang penuh kebahagiaan, tanpa beban yang kamu rasakan selama ini.”
Mira menatap Josua, air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu, di hadapannya berdiri seseorang yang benar-benar peduli, yang ingin menyembuhkan lukanya.
Dengan suara bergetar, Mira menjawab, “Josua, aku... aku ingin mencoba. Bersamamu.”
---
Cerita ini hanyalah permulaan dari perjalanan mereka, tetapi bagi Mira, ini adalah awal dari sebuah kebebasan yang selama ini ia impikan.
---
Beberapa minggu setelah kelulusan, kehidupan Mira mulai terasa lebih cerah. Meski keputusan untuk menjalin hubungan dengan Josua masih membuatnya merasa ragu di satu sisi, Mira juga mulai merasakan kebebasan yang lama ia impikan.
Mira menghabiskan sore di butik milik orang tua Sea. Jari-jarinya lincah menggambar desain gaun baru, sesekali tersenyum ketika Sea mengomentari sketsa-sketsa itu.
“Mir, kamu benar-benar berbakat,” puji Sea. “Kenapa nggak coba bilang ke orang tuamu kalau ini yang benar-benar kamu mau?”
Mira menatap sahabatnya. “Sea, aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau aku melakukannya. Rasanya terlalu rumit. Lagi pula, aku nggak mau mengecewakan mereka.”
Sea memegang tangan Mira, memberikan dorongan. “Mungkin mereka akan mengerti suatu saat. Kamu sudah cukup lama memendam perasaanmu. Nggak ada salahnya mencoba.”
Mira hanya tersenyum kecil, tetapi di dalam hatinya, pertanyaan itu terus berputar-putar. Apakah waktunya sudah tiba untuk melepaskan semua beban itu?
---
Sementara itu, Josua tak henti-hentinya mencoba membuat Mira merasa dicintai dan dihargai. Setiap hari, ia memastikan bahwa Mira tahu bahwa ada seseorang yang selalu mendukungnya. Malam itu, Josua mengajak Mira berjalan-jalan di taman kota yang penuh lampu warna-warni. Mereka duduk di bangku kayu, menyaksikan anak-anak kecil bermain riang.
Josua menatap Mira, lalu berkata, “Mira, aku ingin tahu sesuatu. Apa mimpi terbesarmu?”
Mira terdiam. Pertanyaan itu menghentikannya sejenak. Tak ada seorang pun yang pernah bertanya langsung tentang mimpinya. “Mimpiku?” ia mengulang, menatap ke kejauhan. “Aku... ingin punya label busana sendiri. Sesuatu yang bisa membuat orang merasa cantik dan percaya diri. Tapi... aku nggak tahu apakah itu mungkin.”
Josua mengangguk, mencoba memahami perasaan Mira. “Itu bukan sesuatu yang mustahil, Mira. Kamu punya bakat dan semangat. Yang kamu butuhkan hanyalah keberanian.”
Mira menghela napas. “Tapi aku nggak yakin keluargaku akan mendukungku. Aku selalu merasa seperti tidak cukup baik untuk mereka.”
Josua meraih tangan Mira, menghangatkannya dengan sentuhan lembut. “Kamu tidak harus menjadi sempurna di mata mereka. Kamu hanya perlu bahagia. Kalau keluargamu benar-benar mencintaimu, mereka pasti ingin melihat kamu bahagia.”
Air mata perlahan menetes di pipi Mira. Selama ini, ia selalu merasa beban untuk memenuhi ekspektasi keluarganya, tetapi kata-kata Josua membuatnya merasa ringan, seolah ada jalan keluar dari semua itu.
---
Keesokan harinya, Mira memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia ingin mencoba. Setelah makan malam yang diwarnai keheningan seperti biasa, Mira mengambil napas dalam-dalam.
“Ibu, aku ingin bicara sebentar,” katanya dengan suara gemetar.
Ibunya menatapnya, mengangkat alis. “Ada apa, Mira?”
Mira mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Bu, aku... aku ingin bicara soal masa depanku. Soal apa yang benar-benar aku inginkan.”
Ibu Mira meletakkan piringnya dengan pelan. “Apa yang kamu maksud?”
“Aku ingin mengejar mimpiku di dunia desain busana. Aku tahu Ibu dan Ayah ingin aku menjadi insinyur, tapi... itu bukan yang aku mau. Selama ini, aku memendam perasaan itu karena aku nggak mau mengecewakan kalian.”
Wajah Farida berubah. Ada kejutan, mungkin sedikit kekecewaan, tapi juga ada kebingungan. “Mira, kenapa kamu baru bilang sekarang? Kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Mira menunduk. “Karena aku takut. Takut mengecewakan kalian. Tapi aku juga takut... kalau aku terus hidup seperti ini, aku nggak akan pernah bahagia.”
Keheningan panjang mengisi ruang makan. Ibunya menatap Mira dengan mata yang penuh emosi. “Mira, kamu adalah anak kami. Mungkin kami terlalu keras karena kami tidak ingin kamu gagal. Tapi kalau ini benar-benar yang membuatmu bahagia... aku akan mencoba mengerti.”
Mira tidak percaya apa yang baru ia dengar. Air matanya tumpah, dan ia merasakan pelukan ibunya yang selama ini terasa jauh. Meskipun rasa lega itu belum sepenuhnya menghapus beban di hatinya, ia tahu inilah awal dari perubahan besar.
---
Josua berdiri di luar rumah Mira, menunggu dengan cemas. Ketika Mira keluar dengan wajah yang basah oleh air mata, ia langsung menghampirinya. “Mira, kamu baik-baik saja?”
Mira mengangguk, tersenyum sambil menghapus air matanya. “Aku baru saja berbicara dengan Ibu. Dan meski mungkin ini baru awal, aku rasa... segalanya akan membaik.”
Josua tersenyum, lalu merangkul Mira. “Aku tahu kamu bisa melakukannya.”
Mira menatap Josua, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa lebih kuat. Bersama Josua, ia tahu bahwa ia tidak lagi harus memikul semua beban itu sendirian.
Dan meskipun perjalanan menuju kebahagiaan sejati masih panjang, Mira akhirnya mengerti bahwa kebahagiaan itu bukan tentang membahagiakan semua orang. Tapi tentang menerima diri sendiri dan berani mengejar apa yang benar-benar diinginkan.
---
Begitulah cerita Mira yang terus berjalan, bersama mimpi yang perlahan-lahan mulai menjadi kenyataan dan cinta yang terus bertumbuh di sisinya.