Langit sore di kota kecil itu tampak lebih gelap dari biasanya, seolah ikut merasakan beratnya perasaan yang memenuhi hati Emily. Berdiri di depan kafe yang dulu menjadi tempat pelarian mereka dari hiruk-pikuk dunia, dia menggenggam secangkir kopi yang baru saja dibelinya. Kehangatan cangkir itu seperti ejekan bagi jiwanya yang dingin dan kosong.
Kafe itu tidak berubah. Lampu gantung kecil masih menerangi sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang akrab. Aroma kopi dan kue-kue panggang memenuhi udara, membawa Emily kembali pada masa ketika hidupnya terasa lebih sederhana, ketika dia dan Daniel hanya dua orang muda yang saling jatuh cinta tanpa memikirkan masa depan.
Namun, masa lalu sering kali menjadi pengingat yang kejam. Hubungan mereka sudah berakhir dua tahun lalu, tetapi Emily masih terjebak di dalam bayangan cinta itu. Dia tidak pernah benar-benar melangkah maju, sementara Daniel... Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Daniel setelah itu.
Saat pintu kafe terbuka, suara lonceng kecil di atasnya membuat Emily tersentak. Dia tahu itu Daniel bahkan sebelum melihat wajahnya. Ada sesuatu tentang cara dia membuka pintu—tenang, namun penuh keraguan—yang membuat napas Emily tertahan.
Daniel tampak berbeda. Dia lebih kurus dari yang Emily ingat, dengan rambut yang sedikit lebih panjang, memberikan kesan bahwa dia telah melalui banyak hal. Matanya, yang dulunya ceria dan penuh gairah hidup, kini tampak redup, membawa bayangan beban yang tidak pernah Emily tahu.
"Emily..." suara Daniel terdengar ragu, seperti langkah pertama seseorang di atas es yang tipis.
Emily menoleh perlahan, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. Tapi hatinya berdebar kencang, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. “Hai, Daniel,” jawabnya, suaranya hampir tenggelam oleh riuh rendah pengunjung di kafe itu.
Mereka berdiri canggung selama beberapa detik, saling memandang dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Di sudut ruangan itu, di meja kecil yang dulu menjadi favorit mereka, dua cangkir kopi panas tampak seperti menyapa keduanya untuk duduk dan berbicara.
“Boleh aku duduk?” tanya Daniel akhirnya, menunjuk meja itu.
Emily mengangguk, terlalu banyak emosi berkecamuk dalam dirinya untuk bisa berkata-kata. Mereka duduk di sana, di tempat yang dulu dipenuhi tawa dan candaan ringan, tapi sekarang terasa seperti ruang kosong yang menyesakkan.
"Kita pergi terlalu jauh..."
“Aku tahu ini mendadak,” Daniel memulai, tangannya memainkan sendok kecil yang ada di atas meja. “Aku hanya... merasa aku perlu bicara denganmu.”
Emily mengangkat bahu, berusaha terlihat acuh. Tapi di dalam, dia tahu dia juga membutuhkan percakapan ini, meski dia tidak tahu apakah dia siap untuk mendengarkan apa yang Daniel katakan.
“Aku tahu aku banyak salah, Emily,” lanjut Daniel, suaranya serak seperti seseorang yang telah lama menyimpan beban. “Aku terlalu egois waktu itu. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri sampai aku tidak sadar bahwa aku... melukaimu.”
Emily menatap secangkir kopinya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Kamu memang melukaiku, Daniel. Tapi aku juga tahu aku punya bagian dalam semua ini. Kita... kita saling menyakiti, kan? Mungkin itu alasan kenapa semuanya akhirnya hancur.”
Daniel mengangguk, menggigit bibir bawahnya dengan canggung. “Aku selalu berharap kita bisa memperbaikinya. Tapi semakin lama, aku sadar, mungkin kita terlalu berbeda. Atau mungkin kita terlalu takut untuk benar-benar mencoba lagi.”
“Daniel,” Emily akhirnya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke matanya. “Kita bukan hanya terlalu berbeda. Kita terlalu jauh. Dunia ini sudah membuat kita seperti dua orang asing yang tidak bisa saling menemukan.”
Suasana di antara mereka berubah menjadi hening yang menyakitkan. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan cangkir di meja sebelah, suara kecil yang seolah menegaskan kesunyian besar di antara mereka.
Kenangan yang Menyayat
Daniel akhirnya memecahkan keheningan. “Kamu tahu, aku selalu ingat waktu kita pertama kali ke tempat ini. Aku masih bisa merasakan betapa bahagianya aku saat melihat kamu tertawa. Aku rasa itu pertama kalinya aku benar-benar merasa hidup.”
Emily tersenyum tipis, tapi itu adalah senyuman yang membawa lebih banyak kesedihan daripada kebahagiaan. “Aku juga ingat, Daniel. Aku ingat semuanya. Itulah yang membuat ini semua jadi lebih sulit.”
“Kamu tahu kenapa aku kembali?” tanya Daniel, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Emily menggeleng, meskipun dia sudah tahu bahwa jawaban itu tidak akan memberinya kedamaian.
“Aku kembali karena aku sadar,” Daniel berkata dengan suara pelan, “bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Emily. Dia tidak tahu apakah itu membawa harapan atau justru semakin mempertegas betapa mereka telah kehilangan segalanya.
“Aku juga masih mencintaimu, Daniel,” jawab Emily jujur, air mata akhirnya jatuh di pipinya. “Tapi kita tidak bisa hidup hanya dengan cinta. Kita sudah mencoba. Dan kita gagal.”
Mata Daniel terlihat basah, tapi dia tidak menangis. Dia hanya menunduk, menerima kebenaran yang sudah lama dia tahu di dalam hatinya. “Jadi ini akhirnya, ya?”
Emily mengangguk. “Aku pikir, kita memang sudah berakhir sejak lama. Hanya saja, kita terlalu takut untuk mengakuinya.”
Melangkah ke Arah Berbeda
Ketika mereka akhirnya bangkit dari meja itu, mereka saling memandang untuk terakhir kalinya, mencoba mengingat wajah masing-masing seperti dulu, sebelum dunia menjadi begitu rumit.
“Jaga dirimu, Emily,” kata Daniel, suaranya hampir tidak terdengar.
“Kamu juga, Daniel,” jawab Emily, menahan gemetar di bibirnya.
Mereka melangkah keluar dari kafe, ke arah yang berlawanan. Langit yang gelap tampak lebih muram sekarang, seperti ikut menangisi perpisahan mereka. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—bukan hanya rasa kehilangan, tapi juga kedamaian kecil yang perlahan meresap di hati mereka.
Mereka tahu, ini adalah akhir dari cerita mereka. Tapi mereka juga tahu, bahwa kadang-kadang, perpisahan adalah satu-satunya cara untuk menemukan diri sendiri lagi.