Hujan deras mengguyur hutan lebat malam itu, membuat perjalanan Raka, Dina, dan Bayu terasa lebih berat dari yang mereka bayangkan. Mereka awalnya bersemangat mencari “Air Terjun Pengabdi,” tempat yang katanya bisa membawa keberuntungan. Namun, antusiasme itu perlahan-lahan berubah menjadi kecemasan ketika jejak mereka hilang ditelan rimbunnya hutan.
“Woi, Yu! Gimana nih? Katanya kompas lu canggih, tapi kita malah nyasar gini?” sindir Raka sambil membetulkan senter di tangannya.
Bayu menghela napas kesal, lalu mengangkat kompasnya. “Rak, lu pikir gua jualan kompas palsu? Ini yang salah hutannya, bukan kompasnya. Pohonnya aja kayaknya pindah-pindah sendiri.”
Dina, yang sudah basah kuyup, menyeka wajahnya sambil mendengus. “Ya bagus banget, ya. Kita bertiga tersesat karena kompas ‘beneran’ yang dibeli di pinggir jalan. Keren.”
Bayu menoleh ke Dina. “Eh, maaf nih, Din. Kalau mau protes, kenapa nggak sekalian bawa GPS? Oh iya, kita nggak ada sinyal. Jadi diem aja, ya.”
Raka menengahi. “Udah, udah. Fokus aja cari jalan. Tadi gue yakin banget kita lewat pohon yang ada akar gantungnya. Mana tuh?”
Dina menunjuk sekeliling dengan sarkas. “Rak, boleh lebih spesifik nggak? Semua pohon di sini ada akar gantungnya.”
Raka melotot. “Makasih ya, Din. Bener-bener bantu banget."
Saat suasana semakin hening, tiba-tiba terdengar suara tangisan kecil di antara pepohonan. Dina langsung berhenti.
“Eh, denger nggak?” bisik Dina.
“Denger apa?” Raka memandang sekeliling.
“Itu… suara anak kecil,” jawab Dina dengan suara gemetar.
Bayu langsung menyeringai kecil. “Iya, Din. Ada anak kecil jam segini main petak umpet di tengah hutan. Serius banget tuh anak, ya.”
“Tapi ini beneran, Bayu. Serem banget!” Dina mendekat ke Raka, matanya waspada.
Raka mengangkat bahu. “Din, anak kecil mana yang nangis di hutan jam segini? Kalau pun ada, udah pasti itu bukan anak kecil yang lu harapkan buat ketemu.”
Bayu menambahkan dengan nada malas. “Coba deh bayangin. Kita dateng, terus anak itu bilang, ‘Halo kakak, tolong saya.’ Terus tiba-tiba mukanya jadi kayak nenek-nenek. Lu mau ngapain?”
Dina menatap mereka dengan sebal. “Lu berdua nggak lucu sama sekali.”
“Bukan mau lucu, Din,” balas Bayu dengan nada santai. “Gua cuma realistis. Kalau lu denger suara aneh di hutan, jawabannya satu: lari.”
Tak lama setelah itu, Dina menunjuk sesuatu di tanah. Ada jejak kaki kecil yang basah, mengarah lebih jauh ke dalam hutan.
“Lihat tuh! Jejak anak kecil! Kita harus tolong dia,” seru Dina, nadanya penuh emosi.
Bayu mendekat dan menatap jejak itu sambil mendengus. “Wah, anak ini hobi mandi kali, ya. Kok jejaknya kayak habis basah-basahan?”
“Bayu, ini serius!” Dina mulai marah.
“Serius?” Bayu menatapnya balik dengan alis terangkat. “Oke, gua serius. Anak ini pasti... bukan manusia. Jadi mau gua bilang apa?”
“Udah, Din. Jangan ikut-ikutan jejak ini,” sela Raka, mencoba menenangkan.
Tapi Dina tetap melangkah maju, mengikuti jejak itu. “Kalau kalian nggak mau bantu, ya udah. Gua sendiri aja.”
Raka mengeluh sambil menyusul. “Kenapa ya, di film horor, ada aja yang ngotot kayak gini? Sekarang di dunia nyata gua harus ngalamin langsung. Kurang asik apa coba?”
Jejak itu membawa mereka ke sebuah gubuk tua di tengah hutan. Dindingnya penuh lumut, dan pintunya terbuka dengan bunyi berderit.
“Din, gua rasa ini ide terburuk kita malam ini,” bisik Bayu. “Serius. Kita udah nyasar, sekarang malah masuk ke tempat serem kayak gini.”
“Gimana kalau anak kecil itu ada di dalam?” jawab Dina, masih ngotot.
“Kalau beneran ada, kita bilang, ‘Hai, dek. Kakak nggak bawa makanan. Selamat tinggal!’” Bayu menjawab santai.
“Bayu! Serius deh!” Dina memelototinya.
“Serius juga. Kalau ini jebakan, lu bakal bilang apa?” balas Bayu.
Raka memotong. “Udah, jangan ribut terus. Kita cek dulu, tapi jangan masuk terlalu dalem.”
Mereka melangkah ke depan gubuk dengan hati-hati. Tapi sebelum sempat masuk, sebuah tangan kotor tiba-tiba mencengkeram kaki Dina dan menariknya ke dalam.
Dina menjerit. “WOI! LEPASIN GUA!”
Raka dan Bayu langsung menarik tubuh Dina sekuat tenaga. Saat mereka berhasil membebaskannya, terdengar suara tawa pelan dari dalam gubuk.
“Lu denger itu?” bisik Raka dengan wajah pucat.
“Denger? Gua bahkan bisa ngerasain. Kita cabut sekarang!” sahut Bayu, nada sarkasnya hilang berganti panik.
Setelah berlari tanpa henti, mereka tiba di sebuah tanah lapang. Saat itu, terdengar suara adzan subuh dari kejauhan.
“Eh, adzan!” seru Dina. “Masjid! Kita selamat!”
Bayu mendongak, wajahnya setengah lega. “Wow, ternyata gua masih hidup buat denger adzan lagi. Makasih ya, Tuhan.”
Raka menunjuk sebuah jalan setapak kecil yang terlihat samar di bawah sinar matahari pertama. “Itu jalannya. Kita harus ikutin itu!”
Mereka berlari menyusuri jalan setapak itu, hingga akhirnya tiba di sebuah desa kecil. Para penduduk desa menatap mereka dengan heran.
“Kalian dari mana?” tanya seorang pria tua. “Hutan Larangan? Kok bisa keluar? Biasanya nggak ada yang balik dari sana.”
Bayu tersenyum tipis sambil mengusap wajahnya. “Iya, Pak. Kami ‘beruntung.’ Makasih banget buat pengalaman horor gratisnya.”
Dina hanya terdiam, tapi suara tawa kecil yang mereka dengar sebelumnya masih terngiang-ngiang di telinganya.
TAMAT....
Dah itu aja, makasi dah mau baca...🙏