Disclaimer: Omniscient Reader's viewpoint selalu menjadi milik singshong-nim, penulis hanya meminjam nama dan cerita ini sepenuhnya milik imajinasi penulis.
Pagi itu, seperti biasa, Kim Dokja duduk di kursinya yang berada di barisan belakang kelas, tenggelam dalam halaman demi halaman novel favoritnya. Keheningan kelas yang baru diisi beberapa siswa terasa begitu menenangkan. Dokja menikmati momen ini—sebelum hari yang sibuk dimulai.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah saat suara langkah ringan mendekat. Han Sooyoung, dengan gaya khasnya, langsung menduduki kursi kosong di barisan depan Dokja. Tanpa aba-aba, dia memutar tubuhnya menghadap ke belakang dan menyengir lebar.
“Dokja, gue ada ide bagus buat weekend besok,” katanya, nadanya penuh semangat.
Dokja hanya mendengus kecil, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku di tangannya. “Apa lagi, Sooyoung?” tanyanya malas, sudah bisa menebak bahwa apapun ide ini, pasti akan merepotkan.
Sooyoung menyandarkan dagunya di sandaran kursi dan menatap Dokja dengan mata berbinar. “Gue nemu villa bagus tadi malem pas scroll sosial media. Lagi diskon gede, lho. Gimana kalau kita liburan ke sana? Seru banget pastii!.”
Mata Dokja tetap tertuju pada bukunya, tapi alisnya sedikit terangkat. “Gue gak bisa. Masih banyak tugas yang belum selesai. Lagian, ngapain juga ke villa segala?”
“Eh, tugas itu bisa ditunda lah. Lo kan suka banget baca di tempat tenang, kan? Bayangin aja lo baca buku di balkon villa, ngadep ke gunung, sambil minum kopi. Surga, gak sih?” Sooyoung mencoba meyakinkan dengan nada seolah itu penawaran yang tak bisa ditolak.
“Gak. Surga gue di kamar gue, bukan di villa,” jawab Dokja santai, tapi tegas.
Sooyoung mendesah, tapi wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak akan menyerah. “Dokja, please! Gue udah bayangin kita semua kumpul bareng di sana. Gue bakal ngajak yang lain juga Joonghyuk, Sangah, Heewon, sama Hyunsung. Lo tahu kan kalau mereka ikut, pasti rame. Jangan jadi anti-sosial terus, dong.”
“Justru karena rame itu, gue makin gak mau ikut,” balas Dokja tanpa ragu. “Dan lagi, gue gak nyaman tidur di tempat asing.”
Sooyoung memutar matanya dramatis. “Oh ayolah, lo gak bakal sendirian kok. Kalo lo mau, gue bisa pastiin lo dapet kamar sendiri. Atau, biar Joonghyuk jagain lo.”
Mendengar nama itu, Dokja akhirnya menurunkan bukunya sedikit, menatap Sooyoung dengan ekspresi datar. “Ngapain Joonghyuk jagain gue? Lagi pula, dia pasti juga gak mau diajak.”
Sooyoung menyeringai licik. “Oh, jangan salah. Joonghyuk itu gampang dibujuk, asal lo yang ngomong. Dia bakal langsung setuju kalau lo yang minta.”
Dokja memutar matanya kali ini. “Gue gak mau jadi umpan lo buat ngajak dia, Sooyoung.”
Sooyoung mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Dokja dengan penuh keyakinan. “Dokja, lo tahu kan gue gak bakal berhenti sampai lo bilang ‘iya’? Mau gue ngomong seharian juga gue gak keberatan, asalkan lo mau ikut"
Dokja menghela napas panjang, menyadari bahwa Sooyoung memang tidak akan menyerah. “Kenapa gue?” tanyanya akhirnya, nadanya hampir seperti keluhan.
“Karena lo yang paling susah diajak keluar, makanya gue mulai dari lo dulu. Kalo lo udah mau, yang lain pasti gampang,” jawab Sooyoung tanpa ragu.
“Ini pemaksaan, Sooyoung. Lo sadar kan?” Dokja menatapnya tajam.
“Anggap aja gue memberikan lo pengalaman hidup,” balas Sooyoung sambil mengangkat bahu. “Weekend di villa, bareng temen-temen. Lo bakal bersyukur nanti.”
Sebelum Dokja bisa membalas, Yoo Joonghyuk masuk ke kelas. Tatapan tajamnya langsung menuju Sooyoung. “Kenapa lo ribut banget pagi-pagi?” tanyanya dingin.
“Joonghyuk! Pas banget lo dateng. Gue lagi ngajak Dokja buat liburan ke villa weekend besok. Lo mau ikut, kan?” Sooyoung langsung mengalihkan topik dengan lihai.
Joonghyuk mengerutkan kening, tatapannya beralih ke Dokja. “Dokja, lo mau?” tanyanya singkat, suaranya datar seperti biasanya.
Dokja membuka mulut untuk menolak, tapi Sooyoung memotong. “Dia belum bilang ‘iya’, tapi bentar lagi pasti mau. Lo ikut juga dong, biar seru.”
Joonghyuk mendesah kecil, tapi tidak membantah. “Kalo Dokja ikut, gue ikut.”
Sooyoung tersenyum menang, sementara Dokja hanya bisa menatapnya dengan frustrasi. Dia tahu, sekali Joonghyuk ikut campur, tidak ada jalan keluar. “Baiklah,” gumamnya akhirnya menyerah. “Tapi gue gak bakal mau kalo nginep lama - lama."
Sooyoung bersorak kecil. “Yes! Oke, gue urus semuanya. Lo gak bakal nyesel, Dokja.”
Dokja hanya bisa menatap langit-langit kelas, bertanya-tanya kenapa dia selalu terjebak dalam rencana aneh Sooyoung.
Akhirnya, hari yang sudah lama dinanti-nantikan oleh Han Sooyoung tiba. Setelah merencanakan perjalanan ini yang bahkan persiapan nya tidak sampai satu minggu itu, dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Matahari pagi Sabtu menyinari jalanan yang masih sepi, menambah semangat rombongan kecil yang telah berkumpul di depan rumah Sooyoung. Dengan koper-koper kecil dan tas ransel di tangan, Yoo Sangah, Jung Heewon, Lee Hyunsung, Yoo Joonghyuk, dan tentu saja Kim Dokja, semuanya bersiap untuk memulai perjalanan ke villa.
“Gue udah bilang, kumpul jam tujuh pagi, kan?” ujar Sooyoung sambil melipat tangan di depan dada, memandang Joonghyuk dengan tatapan menuntut. “Kenapa lo dateng telat sepuluh menit, Joonghyuk?”
Joonghyuk yang baru keluar dari mobilnya hanya mendengus. “Gue harus isi bensin. Lagian, lo juga baru keluar rumah lima menit yang lalu.”
Heewon tertawa kecil, sambil menyeret kopernya ke arah mobil. “Sooyoung emang suka nyalahin orang lain biar keliatan dia yang paling on time,” ujarnya sambil melihat ke arah sangah.
Sangah tersenyum kecil, lalu mendekati Dokja yang berdiri di sisi jalan dengan wajah mengantuk. “Dokja, lo nggak bawa terlalu banyak barang? Kayaknya tas lo kecil banget.”
Dokja mengangkat bahu, mengusap matanya yang masih berat. “Gue cuma bawa satu buku dan beberapa baju. Ngapain juga bawa banyak kalau cuma semalem?”
Sooyoung langsung memutar tubuhnya mendengar itu. “Lo bawa buku? Gue nggak ngerti kenapa lo pikir liburan itu waktunya baca buku. Lo nggak bakal sempet baca. Gue udah bikin jadwal, kita harus berenang, barbeque-an, main board game, terus...”
“Lo bikin jadwal?” Joonghyuk memotong, menatap Sooyoung dengan alis terangkat. “Ini liburan atau pelatihan?”
“Ada jadwal biar seru, oke? Gue cuma pengen semua orang menikmati waktu di sana,” Sooyoung membela diri sambil membuka pintu bagasi mobil Joonghyuk. “Udah, udah. Ayo masukin barang. Kita harus berangkat sekarang biar sampe sebelum makan siang.”
Joonghyuk mengemudikan mobil dengan tenang, sementara Sooyoung duduk di kursi depan, terus mengoceh tentang fasilitas villa yang dia temukan saat scrolling sosial media. Heewon dan Hyunsung duduk di barisan tengah, saling berbagi playlist musik, sementara Dokja dan Sangah berada di kursi belakang.
“Gue masih nggak ngerti kenapa gue diajak,” gumam Dokja pelan, mencoba memejamkan mata.
Sangah terkekeh kecil. “Karena kalau lo nggak ikut, Sooyoung bakal ngerengek terus, Dokja. Lagi pula, sekali-sekali nikmatin udara segar, nggak ada salahnya.”
Setelah perjalanan dua jam yang penuh dengan diskusi kecil, lelucon, dan ocehan Sooyoung, mereka akhirnya tiba di villa yang sudah dinantikan. Bangunan bergaya modern itu berdiri megah dengan dinding kaca besar yang menghadap ke halaman belakang. Udaranya terasa jauh lebih segar dibandingkan di kota, dengan aroma pepohonan yang menenangkan.
“Gue udah bilang kan, villa ini keren banget?” Sooyoung berkata penuh kebanggaan sambil mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi pihak villa. “Tunggu sebentar ya, gue kasih tau mereka kita udah sampe.”
Joonghyuk mematikan mesin mobil, melangkah keluar sambil mengamati sekeliling. Pandangannya berhenti di halaman belakang yang luas, dengan kolam renang biru jernih di ujungnya. Sebuah ayunan berdiri manis di bawah pohon besar, seakan menunggu untuk digunakan.
“Tempatnya lumayan,” gumamnya singkat, tapi cukup terdengar oleh Heewon yang berdiri di sampingnya.
“Lumayan?” Heewon menyeringai. “Lo pasti suka tempat ini kalo nggak jaim.”
Hyunsung yang baru selesai mengeluarkan koper dari bagasi tertawa kecil. “Gue setuju sama Heewon. Ini tempat yang bagus buat refreshing.”
Tidak lama kemudian, Sooyoung menutup teleponnya dengan senyum lebar. “Oke, pemilik villa nya bentar lagi kesini buat ngasih kunci”
Begitu pintu villa dibuka, udara sejuk langsung menyambut mereka. Interiornya modern dan minimalis, dengan ruang tamu luas yang menghadap ke halaman belakang. Dokja, yang selama ini terlihat setengah mengantuk, akhirnya menunjukkan sedikit ketertarikan.
Setelah semua barang bawaan tersimpan di kamar masing-masing, mereka pun berkumpul di ruang tengah untuk mendiskusikan tugas berikutnya siapa yang akan memasak makan siang.
“Hei, jadi siapa yang masak buat makan siang?” tanya Heewon, sambil melirik ke arah dapur terbuka yang sudah dilengkapi dengan semua peralatan masak.
“Bukan gue, itu udah pasti,” kata Sooyoung cepat sambil mengangkat kedua tangan, seolah menyerah sebelum ada yang menyebut namanya. “Lo pada tau kan apa yang terjadi terakhir kali gue masak?”
“Bukan cuma tau, gue masih trauma,” sahut Hyunsung sambil tertawa. “Inget waktu lo bikin sup? Gue nggak ngerti gimana caranya bawang putih bisa berubah jadi pahit kayak gitu.”
Sooyoung memutar mata, pura-pura tersinggung. “Itu kan kecelakaan! Bumbu nya nggak sengaja tumpah! Lagian, lo semua masih hidup kan?”
“Barely,” timpal Heewon sambil menahan tawa. “Oke, jadi jelas bukan Sooyoung. Gue juga nggak jago masak, jadi gue mundur juga.”
Sangah mengangkat tangan dengan senyum lembut. “Aku bisa bantu. Aku nggak jago, tapi setidaknya aku bisa bikin makanan sederhana.”
Semua mata langsung beralih ke Joonghyuk, yang duduk bersandar di sofa sambil memijat pelipisnya, terlihat sudah lelah hanya karena mendengar diskusi ini.
“Joonghyuk, lo masak ya,” kata Heewon dengan nada setengah memerintah. “Lo satu-satunya di sini yang bener-bener bisa masak, dan kita semua tau itu.”
Joonghyuk mendesah panjang. “Kenapa selalu gue?”
“Karena kalo bukan lo, kita bakal makan makanan mentah atau berakhir keracunan,” jawab Sooyoung sambil mengerling nakal. “Ayo deh, Joonghyuk. Gue janji nggak bakal ngerecokin lo di dapur.”
“Gue bantu kok,” tambah Sangah cepat, mencoba meringankan beban Joonghyuk. “Setidaknya gue bisa jadi asisten.”
Akhirnya, dengan sedikit ogah-ogahan, Joonghyuk berdiri dari sofanya dan berjalan ke arah dapur, diikuti oleh Sangah yang tampak lebih bersemangat. “Kalo lo mau bantu, jangan malah bikin ribet,” gumamnya ke arah Sangah, meskipun nadanya tidak terlalu tajam.
Sementara itu, di ruang tengah, Sooyoung dan Heewon sudah sibuk mengutak-atik televisi yang besar dan sistem karaoke yang disediakan villa. Sooyoung tampak sangat antusias, mencoba berbagai lagu sambil memegang remote kontrol seperti mikrofon.
“Heewon, cepetan pilih lagu! Gue pengen banget nyanyi ini!” Sooyoung berseru sambil menunjuk layar.
“Lo yakin mau mulai duluan?” Heewon tertawa kecil. “Gue nggak mau jadi korban telinga budeg gara gara lo.”
“Eh, suara gue tuh bagus, oke?” balas Sooyoung sambil menatap Heewon dengan ekspresi pura-pura tersinggung.
Hyunsung, yang duduk di salah satu sofa dengan minuman dingin di tangan, hanya menggeleng pelan sambil tersenyum. “Gue lebih suka jadi penonton aja. Kalian aja yang nyanyi.”
Di sudut lain, Dokja sudah tenggelam dalam dunianya sendiri, fokus pada ponselnya. Dia tampak tidak terganggu dengan kegaduhan kecil di ruang tengah, meskipun Sooyoung sempat mencoba menarik perhatiannya.
“Dokja!” panggil Sooyoung sambil melompat ke sofa di sebelahnya. “Ikut karaokean, dong!”
“Gue nggak tertarik,” jawab Dokja tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
“Heh, lo tuh ya, bawa suasana suram terus. Udah, simpen dulu itu HP. Hidup lo nggak akan berakhir kalo lo nggak baca novel sepuluh menit,” kata Sooyoung sambil mencoba merebut ponselnya.
Dokja memiringkan tubuhnya sedikit, menghindari tangan Sooyoung. “Gue cuma baca berita, bukan novel. Lagi pula, karaokean itu bukan gaya gue.”
“Ya ampun, Dokja. Sekali-sekali bersenang-senang dong!” ujar Heewon, yang kini duduk di lantai sambil melihat daftar lagu di layar.
Tapi Dokja tetap bergeming. Dia hanya mendesah pelan, lalu melanjutkan aktivitasnya, membiarkan Sooyoung dan Heewon tenggelam dalam kegembiraan karaoke mereka. Dari dapur, terdengar suara Joonghyuk dan Sangah yang sedang sibuk, dengan sesekali Sangah bertanya sesuatu tentang bumbu, dan Joonghyuk menjawab dengan singkat namun jelas.
“Gue rasa kita bakal makan siang yang layak kali ini,” ujar Hyunsung santai sambil melihat ke arah dapur.
“Kecuali kalo Joonghyuk tiba-tiba kesel sama kita semua dan cuma masak buat dirinya sendiri,” balas Heewon sambil tertawa.
Setelah makan siang selesai, suasana berubah menjadi lebih santai. Mereka semua duduk bersama di meja makan yang cukup luas, menikmati hidangan sederhana yang terasa lebih nikmat karena dimasak dengan tangan mereka sendiri. Canda tawa memenuhi ruangan, terutama dari Sooyoung yang sibuk menirukan ekspresi serius Joonghyuk saat memasak tadi.
“Lo tuh bener-bener kayak koki profesional, Joonghyuk! Tapi muka lo kayak lagi perang sama wajan,” ujar Sooyoung sambil tertawa, diikuti oleh gelak tawa dari Heewon dan Hyunsung.
Joonghyuk hanya menghela napas pendek, memilih untuk tidak menanggapi. Sementara itu, Dokja diam-diam memakan makanannya, merasa cukup terhibur dengan kehebohan mereka meski tidak ikut banyak bicara.
Setelah semua piring kosong dan meja sudah dirapikan, Sooyoung mengusulkan ide berikutnya dengan penuh semangat. “Ayo, berenang! Kolamnya udah manggil-manggil gue dari tadi!”
Mereka pun bersiap-siap, mengganti pakaian, dan berjalan ke kolam renang di belakang villa. Udara sore yang segar membuat suasana semakin menyenangkan. Tanpa banyak basa-basi, Sooyoung langsung menceburkan diri ke air, membuat cipratan besar yang membasahi Hyunsung yang dibalas protesan oleh hyunsung karena sooyoung sangat petakilan.
“Makanya cepet nyebur! Jangan diem kayak patung!” balas Sooyoung sambil mengguyur Hyunsung dengan tangan penuh air.
Permainan air pun dimulai. Mereka bermain bola air, saling menyemprotkan air, bahkan sempat mencoba membuat tim untuk bermain pertandingan kecil. Joonghyuk, seperti biasa, terlihat enggan bergabung, tapi akhirnya menyerah saat Sooyoung menariknya ke kolam sambil tertawa lebar.
Waktu berlalu tanpa terasa, dan matahari perlahan tenggelam, menyisakan langit jingga yang memudar menjadi gelap. Setelah puas bermain, mereka semua membersihkan diri dan kembali berkumpul di halaman belakang untuk acara berikutnya, barbeque.
Semua bahan makanan yang telah mereka bawa dari rumah dikeluarkan, mulai dari daging, sayuran, hingga sosis dan jagung. Heewon dan Hyunsung menyiapkan panggangan, sementara Sangah dengan telaten merapikan bahan-bahan di meja.
“Gue nggak nyangka bakal seseru ini,” ujar Heewon sambil tersenyum, mengipas bara api di panggangan.
“Karena ada gue, makanya seru,” sahut Sooyoung percaya diri sambil menusuk sosis ke tusuk sate.
“Percaya diri banget, lo.”
Sementara semua orang sibuk, Dokja duduk sedikit menjauh dari keramaian, menggenggam sosis bakar di tangannya sambil memandang ke langit. Langit malam itu gelap, tanpa satu pun bintang terlihat, tapi entah kenapa terasa menenangkan. Angin sejuk berembus pelan, membawa aroma kayu bakar dan suara canda tawa teman-temannya.
Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada jendela di pojok bangunan villa. Di sana, di balik kaca, samar-samar terlihat sosok seseorang yang berdiri diam, tak bergerak sedikit pun.
Dokja mengerutkan alis. Siapa itu?
Dia menoleh ke arah teman-temannya, menghitung mereka satu per satu. Sooyoung, Heewon, Hyunsung, Sangah, bahkan Joonghyuk—semuanya ada di sini, sibuk dengan tugas masing-masing.
“Eh, Sooyoung,” panggil Dokja akhirnya, suaranya sedikit ragu.
“Apa?” jawab Sooyoung sambil memasang potongan daging ke panggangan.
“Villa ini... kalau ada yang nyewa, pemiliknya bakal ikut tinggal di sini buat jagain, nggak?”
Sooyoung berhenti sejenak, menatap Dokja dengan alis terangkat. “Nggak, lah. Gue udah nanya. Pemiliknya tinggal di rumah bawah, bukan di sini. Kenapa?”
Dokja menggigit bibirnya, menoleh kembali ke jendela yang tadi dilihatnya. “Tadi gue liat ada orang di sana, di jendela ruangan pojok. Tapi kita semua ada di sini, kan?”
Sooyoung ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Dokja, begitu juga Heewon dan Hyunsung yang mendengar percakapan mereka. Namun, saat mereka semua melihat ke sana, jendela itu tampak kosong, hanya gordennya yang tertutup rapat.
“Kayaknya lo salah liat, deh,” ujar Sooyoung, meski nadanya sedikit ragu. “Mungkin bayangan aja.”
“Tapi tadi jelas ada orang...” Dokja bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kalau lo takut, bilang aja. Nanti gue lindungin,” canda Sooyoung sambil menyenggol lengan Dokja.
Dokja hanya mendesah, tidak membalas. Tapi pandangannya tetap tertuju ke jendela itu, perasaan tidak nyaman perlahan merayap ke dalam dirinya. Sosok itu—siapa pun atau apa pun itu—terasa terlalu nyata untuk sekadar bayangan.
Malam semakin larut, dan suasana di halaman belakang villa mulai hening. Bintang-bintang tetap tidak tampak, tapi angin malam yang dingin seolah menggantikan kehadiran mereka, membelai lembut wajah-wajah lelah yang masih berkumpul di sekitar panggangan barbeque. Canda tawa yang tadi meriah kini mulai mereda, digantikan dengan obrolan ringan yang mengalir pelan, seperti aliran sungai yang tenang.
Heewon menjadi yang pertama menyerah pada rasa kantuk. Ia menguap kecil sambil mengusap matanya. “Gue udah nggak kuat. Ngantuk banget. Gue duluan, ya.”
“Tidur aja, jangan lupa setel alarm. Besok pagi lo yang masak sarapan,” balas Sooyoung dengan nada setengah menggoda, membuat Heewon melotot sebentar sebelum akhirnya mengabaikan komentar itu dan masuk ke dalam villa.
Dokja yang sedari tadi diam, hanya memperhatikan mereka dari sudut tempat duduknya. Angin malam yang dingin mulai menusuk, membuatnya menarik jaket lebih rapat. “Gue juga masuk, ya. Udah mulai dingin.”
“Biasa, lemah banget,” cibir Sooyoung sambil tertawa kecil.
Dokja tidak menggubrisnya, hanya melambaikan tangan singkat sebelum beranjak masuk.
Sementara itu, Joonghyuk dan Hyunsung memutuskan untuk mulai merapikan peralatan barbeque. Hyunsung membawa piring-piring bekas pakai ke dapur, sedangkan Joonghyuk membereskan panggangan yang sudah dingin. “Gue bawa ini ke dapur, lo beresin meja di luar,” ujar Joonghyuk dengan nada datar. Hyunsung hanya mengangguk tanpa protes.
Ketika Joonghyuk memasuki dapur, ia membawa alat-alat panggangan ke meja, niatnya ingin segera menyimpannya agar semuanya beres. Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sesuatu. Di bawah tangga dekat dapur, Dokja duduk diam dengan kepala tertunduk, punggungnya sedikit melengkung seperti tengah memeluk dirinya sendiri untuk mengusir rasa dingin.
Joonghyuk mengernyitkan alis. Ada sesuatu yang aneh dengan cara Dokja duduk. Tubuhnya terlihat begitu kaku, dan wajah pucatnya terlihat jelas walaupun memang biasanya kulit dokja memang lebih putih dari nya.
“Dokja,” panggil Joonghyuk pelan, mencoba menarik perhatian laki-laki itu.
Dokja tidak menjawab, hanya mengangkat kepala sedikit dan menggeleng kecil, lalu kembali menunduk.
Joonghyuk menghela napas panjang, sedikit kesal karena Dokja tidak menjelaskan apa-apa. “Kalau dingin banget, kenapa nggak langsung ke kamar aja? Mau gue ambilin air anget?” tanyanya sambil berjalan mendekat, tapi Dokja tetap tidak merespons.
Merasa ada yang tidak beres, Joonghyuk memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ia berbalik ke meja dapur, menuangkan air hangat ke gelas, dan bergegas kembali ke tempat Dokja. Namun, saat ia ingin memberikan gelas itu, langkahnya terhenti.
Sebuah suara samar terdengar dari arah belakangnya, diikuti dengan derit pintu. Pintu toilet kecil yang terletak di pojok dapur perlahan terbuka, dan dari baliknya, Dokja muncul dengan santai, mengelap tangannya yang basah pada bajunya sendiri.
Joonghyuk terpaku. Otaknya seolah tidak bisa memproses apa yang baru saja dilihatnya. “Lo... baru dari mana?” tanyanya, suaranya sedikit serak.
“Ya dari toilet, jelas. Kenapa?” Dokja balas bertanya, menatap Joonghyuk dengan wajah bingung.
Joonghyuk berbalik ke arah tangga. Kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Perasaan tidak nyaman merayap di punggungnya, membuatnya ingin menoleh ke segala arah. “Tadi gue liat lo duduk di tangga,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Duduk di tangga?” Dokja menaikkan alis. “Gue langsung ke toilet dari halaman tadi. Udah mules banget. Mana sempet duduk-duduk?”
Joonghyuk memandangnya tajam, mencoba mencari tanda-tanda bahwa Dokja sedang bercanda. Tapi wajah Dokja terlihat serius, meski sedikit lelah.
“Minum ini dulu,” kata Joonghyuk akhirnya, menyerahkan gelas berisi air hangat ke tangan Dokja.
Dokja menerima gelas itu dengan bingung. “Lo kenapa? Kayak abis liat setan aja.”
Joonghyuk tidak menjawab, hanya memalingkan pandangan ke arah jendela dapur yang memantulkan bayangan dirinya sendiri. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa seolah ada yang mengawasinya dari balik bayangan itu.
“Kalau lo capek, mending istirahat aja,” kata Dokja akhirnya sambil meminum air hangat itu. “Jangan halusinasi di villa orang.” Joonghyuk mendengus pendek, tapi tidak membalas.
Kembali ke heewon, setelah kembali dari halaman belakang, Heewon merasa tubuhnya begitu lelah. Angin malam yang dingin seolah menempel di kulitnya, membuatnya ingin segera membungkus diri dengan selimut. Begitu masuk ke kamar, ia langsung mengganti pakaian dengan baju tidur yang lebih nyaman, lalu mematikan lampu dan menjatuhkan diri ke atas kasur.
Kenyamanan mulai menyelimuti, dan matanya perlahan terpejam. Tapi sebelum benar-benar terlelap, ia merasakan sesuatu. Kasur di sebelahnya bergerak pelan, seperti ada seseorang yang ikut berbaring di sana.
Heewon membuka matanya sedikit, mengintip ke samping. Di sana, seseorang dengan rambut panjang orange tergerai membelakanginya, tampak tenang seperti sedang tidur.
“Oh, Sangah udah balik,” gumamnya pelan. Ia tidak berpikir macam-macam karena tahu bahwa ia memang sekamar dengan Sangah. Dengan cepat, Heewon memejamkan matanya lagi, berniat melanjutkan tidurnya.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, Heewon tidak pernah bisa tidur tanpa mendengarkan musik dari headset-nya. Ia mengerang pelan, menyadari bahwa benda itu sepertinya tertinggal di ruang tengah. Dengan malas, ia bangkit dari kasur, melirik sekilas ke arah Sangah yang masih membelakangi. “Lo tidur duluan aja, Sangah. Gue nyari headset bentar,” bisiknya meski tahu Sangah mungkin sudah terlelap.
Langkah-langkah kecilnya terdengar di lantai kayu yang sedikit berderit saat ia berjalan ke ruang tengah. Ketika sampai, ia melihat headset-nya tergeletak di atas sofa. Ia mengambilnya dengan lega, tapi langkahnya berhenti ketika telinganya menangkap suara tawa kecil dari luar.
Heewon melangkah ke jendela ruang tengah, mengintip ke halaman belakang. Di sana, ia melihat Sooyoung sedang bercanda sambil mengobrol santai dengan... Sangah.
Heewon berdiri kaku, otaknya mencoba mencerna apa yang dilihatnya. “Itu... Sangah?” gumamnya, nyaris tak terdengar. Ia memandang ke arah halaman belakang lebih lekat. Tidak mungkin salah. Itu memang Sangah, masih sibuk membantu Hyunsung membereskan sisa-sisa sampah barbeque sambil tertawa lepas dengan Sooyoung.
Wajah Heewon memucat. Jantungnya berdebar keras. Ia buru-buru kembali ke kamar.
Setelah membuka pintu dengan cepat, ia langsung melirik ke arah kasur. Tubuh yang tadi membelakanginya sudah tidak ada. Selimut tampak rapi, seperti tidak ada yang pernah menyentuhnya. Ruangan itu terasa terlalu sunyi. Heewon berdiri di ambang pintu, mencoba mengatur napasnya yang mulai tersengal.
Tanpa pikir panjang, ia kembali ke halaman belakang dengan langkah tergesa. Sampai di sana, ia langsung menunjuk ke arah Sangah yang masih sibuk berbicara. “Lo... lo tadi di kamar, kan?! Gue liat lo tidur bareng gue!” serunya dengan nada tinggi, membuat semua orang menoleh.
Sangah menatap Heewon dengan bingung. “Apa? Gue dari tadi di sini, bantuin Hyunsung sama Sooyoung. Gue belum balik ke kamar sama sekali.”
Heewon tergagap. “Tapi... tadi gue liat lo. Lo tidur di kasur gue. Gue bahkan ngomong ke lo kalau gue mau keluar bentar!”
Sooyoung menyipitkan matanya sambil menatap Heewon. “Lo ngelindur, ya? Sangah nggak gerak dari sini sama sekali, kok. Gue juga sama dia terus.”
“Gue serius!” Heewon menggeleng cepat. “Gue nggak salah liat! Itu Sangah, jelas banget! Rambut panjang, posisi tidurnya juga kayak biasa!”
Sangah mendekat, mencoba menenangkan Heewon yang mulai panik. “Weon, lo capek, kali. Udah, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Gue di sini dari tadi, sumpah.”
Sebelum Heewon sempat membalas, Joonghyuk muncul dari arah dapur dengan ekspresi serius, membawa nampan kosong yang baru saja ia simpan. Mendengar keributan kecil itu, ia berhenti di tempat. “Ada apa?” tanyanya singkat.
Hyunsung menjelaskan dengan singkat bahwa Heewon bersikeras melihat Sangah di kamar, padahal Sangah ada di halaman belakang. Mendengar cerita itu, Joonghyuk menyipitkan matanya, lalu mendesah panjang. “Gue juga ngalamin sesuatu barusan,” gumamnya.
Semua mata langsung tertuju pada Joonghyuk. “Apa maksud lo?” tanya Sooyoung.
Joonghyuk menghela napas sebelum menceritakan kejadian di dapur. Bagaimana ia melihat Dokja duduk di tangga dengan wajah pucat, tapi tidak lama kemudian melihat Dokja keluar dari toilet sambil mengelap tangannya.
“Bentar-bentar,” potong Heewon. “Jadi lo juga ngeliat ‘sesuatu’ yang kayak Dokja?”
Joonghyuk mengangguk, ekspresinya semakin serius. “Kayaknya ada yang nggak beres sama tempat ini.”
Semua orang saling pandang, wajah mereka kini berubah tegang. Sooyoung menelan ludah sambil melirik ke arah villa yang mulai terasa lebih gelap dan dingin. “Jadi... menurut lo ini apa? Villa ini angker?” tanyanya dengan nada setengah bercanda, meski jelas terlihat ia mulai merasa tidak nyaman.
“Udahlah, jangan dibahas di sini,” potong Hyunsung. “Kita beresin semuanya cepet, terus masuk. Gue nggak mau ada yang kejadian aneh-aneh lagi.”
Tanpa berkata banyak, mereka langsung bergerak dengan cepat, membereskan sisa-sisa sampah dan alat barbeque. Ketegangan di udara begitu terasa, hingga tidak ada yang berani bercanda seperti sebelumnya.
Di dalam kamar, Dokja sudah tertidur dengan tenang, tidak menyadari bahwa teman-temannya sedang ketakutan sekarang.