#Cerita-Fantasi
Dengan napas terengah-engah, akhirnya Adrielle berhasil mencapai ruangan rubanah rahasia. Berlarian menyusuri lorong demi lorong sudah menghabiskan seluruh tenanganya. Dia merosot dengan punggungnya pada pintu kayu tebal setelah merasa aman dari pengejaran.
Lelah dan takut menguasai pikiran sementara sakit dan perih menyengat telapak kakinya. Berlarian tanpa alas kaki pada lantai batu yang kasar juga dingin bukanlah sesuatu yang nyaman. Namun, dia juga tahu kalau tetap mengenakan sepatu hak tinggi, dia tidak akan mampu mencapai ruangan ini.
"Keluarga bodoh! Andai saja mereka mendengarkanku, semua ini tidak akan terjadi!" Adrielle memekik kesal dan menjambak rambutnya dengan penuh frustasi.
Dentuman tak hentinya terus mendengung dan menggetarkan langit-langit batu rubanah. Pertempuran sihir masih berlangsung. Kerikil dan debu pun berjatuhan di atas rambut hitam Adrielle.
Di dalam ruangan rubanah yang gelap pekat, dia hanya terpaku di depan pintu. Tak lama langkah-langkah kaki berat dari para pengejar mendekat. Semakin jelas suara mereka ketika mencoba memutar gagang pintu kayu besar itu.
"Ini juga terkunci!" seru pria salah satu pengejar.
"Coba lagi! Pakai tenagamu, bodoh!"
Pria itu mencoba kembali seraya menggedor-gedorkan pintu. Adrielle menahan dengan punggunggnya dan bantuan topangan kedua lengan pada lantai sepenuh tenaga. Nafasnya semakin terengah-engah, berusaha untuk tidak bersuara menahan sakit dari hantaman pintu pada tubuhnya.
"Yang aku maksud dengan tenaga itu begini bodoh! Awas!" Kemudian rekan pengejar itu menendang kuat pintu tersebut.
Adrielle tersentak. Jantungnya berdegup semakin kencang ketika dia kehilangan kendali untuk menahan pintu. Namun begitu, insting bertahan hidupnya lebih kuat.
Melupakan rasa lelah dan sakit, dia menekuk kedua kakinya dan menjadikannya topangan untuk mendorong pintu. Sekuat tenaga hingga tanpa sadar dia menggertakan taring tajam yang hampir mengikis gigi putihnya yang rapi.
Beberapa detik Adrielle tidak hanya menahan pintu kayu besar dan tebal itu, tetapi juga mencoba untuk tetap tidak bersuara. Namun, bibir penuhnya mengkhianati dirinya dengan melontarkan erangan pelan.
Pria penggedor pintu tertawa. "Itu yang kau sebut tenaga?"
"Tutup mulutmu dan bantu aku."
"Tidak semua masalah diselesaikan dengan otot. Kalau kau punya otak untuk berpikir, putri jalang itu tidak mungkin berada di sana."
Rekannya pun geram. "Oh ya? Maksudmu kau lebih pintar dariku?"
"Terus terang, iya," timpalnya spontan.
Kekhawatiran Adrielle perlahan menyusut. Dia memanfaatkan pertikaian itu untuk mengendalikan napasnya, dan mencoba menenangkan diri. Dia mengira dirinya sudah ketahuan karena erangan dari bibirnya.
"Bajingan! Kalau begitu katakan rencana 'jenius' milikmu."
"Kita hanya membuang-buang waktu. Pikirkanlah ini, ketika kita sibuk teralihkan di sini, wanita itu bisa saja sudah kabur lebih jauh."
Diluar ekspektasi, rekannya itu mengangguk sepakat. "Kau benar. Bawah tanah ini bagaikan labirin. Kita sudah terpencar jauh dari regu."
"Akhirnya otakmu dipakai!"
"Arogan keparat! Akan kuhajar kau setelah penyerangan ini berakhir." Pria penendang pintu mengancam rekannya.
"Sudahlah. Dengarkanlah suara di atas, penyerangan masih belum berakhir. Kita harus menangkap Adrielle sebelum Tuan Emeraldo menghabisi Klan Duskfall."
Rekannya menghela napas panjang. "Kau benar. Sepertinya kau memang jenius."
"Aku tidak jenius. Kau saja yang terlalu bodoh untuk seorang vampir." Kemudian pria itu tertawa.
Para pengejar itu pun berkelahi, saling menghujat dan bertukar cacian. Adrielle menggunakan momen ini untuk mengumpulkan tenaga. Bersiap apabila mereka kembali bersikeras untuk mendobrak pintu. Adrielle belum merasa aman.
"Kenapa dia harus ditangkap? Bukankah lebih mudah jika putri itu dibunuh?" tanya si Bodoh.
"Hah! Jika memang Tuan Emeraldo menginginkan wanita itu mati, beliau sudah mengeksekusinya di ruang makan sedari tadi."
"Lalu kenapa? Kau masih belum menjawabku."
"Tentu saja dinikahkan! Wanita itu akan digunakan untuk melahirkan. Dia tidak lebih dari alat politik para bangsawan, kau tahu."
Adrielle terbelalak mendengar kedua pengejarnya itu. Tanpa sadar air mata mengisi pelupuk lalu mengalir dan membasahi pipi pada paras pucatnya. Kematian lebih baik dibanding apa yang akan menantinya jika dia tertangkap.
"Seperti biasa petinggi Klan selalu memiliki pemikiran yang gila. Maksudku, penyerangan kali ini saja sudah tidak masuk akal."
"Huh? Ke mana arah pembicaraan ini?"
"Ya ... dengarkan aku dulu sebelum kau menatapku seperti itu!"
Dentuman-dentuman di langit-langit mereda lalu berhenti seketika. Begitu juga getaran dari pertempuran sihir yang sengit. Adrielle masih dalam keadaan membatu. Dia tidak ingin menimbulkan suara, selagi dirinya mulai mengeraskan jemari tangan dan menajamkan kuku-kukunya. Menanti momen yang tepat.
"Katakanlah. Dari tadi aku menunggu."
"Maksudku, beliau datang kemari untuk menikahi putri penerus Klan Duskfall. Kenapa kita harus repot-repot membantai mereka, hanya untuk Tuan Emeraldo meniduri Adrielle dan menjadikannya alat politik. Kenapa tidak setelah pernikahan?"
"Hmm ... kau benar. Ternyata kau tidak sebodoh yang aku kira."
Amarah mencuat dari dalam diri Adrielle. Perasaan campur aduk membuat pergelangan tangannya bergetar tanpa dia sadari. Otot-ototnya berkedut, garis-garis nadi mencuat pada kulit pucat sang putri vampir.
Nafsu untuk membunuh sudah menguasai Adrielle. Sontak, dia berdiri dan meraih gagang pintu. Namun, sebelum sempat melepaskan kuncian pintu, suara menggema yang sangat lantang terdengar menembus langit-langit batu.
Adrielle tersentak oleh suara bebatuan rubuh dari balik pintu. Kedua pengejar itu menjerit dan di saat bersamaan Adrielle terhempas beberapa senti dari tempat dia berdiri.
Debu-debu kasar menyeruak pada hidung hingga tenggorokkan ketika Adrielle menarik napas untuk bangkit kembali. Pintu kayu tebal itu tergeletak hancur di lantai.
Adrielle terkesiap melihat lorong yang telah dia lalui terkubur puing-puing batu dari atap. Dengan cahaya samar-samar yang menembus celah-celah batu besar dan kokoh, dia melihat kedua pengejar itu terkubur.
Salah satunya menongolkan kepala di antara batu, wajahnya yang terhimpit dipenuhi darah, menatap jauh dengan hampa. Adrielle menebak itu wajah si Bodoh.
Sementara si Jenius tertimpa seutuhnya, terkecuali satu lengannya yang kejang-kejang seolah hendak mencakar udara.
Adrielle menyeringai kemudian tertawa gila. Kepuasannya pada pemandangan itu dia lengkapi dengan meludah pada mereka.
"Mampus! Pergilah ke kegelapan paling gelap!" Adrielle menyumpah serta tergelak tawa.
Kenikmatan melihat kematian mereka sangat terlukis pada wajah cantik sang putri vampir dengan melodi yang kejam tetapi juga gerah akan hasrat di dalam suaranya yang merdu.
"Terkutuklah kalian bajingan, terkutuklah—" tuturan sumpah serapah Adrielle mendadak terhenti oleh sesuatu yang mencekik dari dalam tenggorokannya.
Sang putri vampir terbatuk-batuk parah, berupaya mengeluarkan sesuatu dari mulutnya yang membuat dia tersedak. Dia meraba lehernya secara reflek, rasa gatal yang menggaruk dinding tenggorokan juga diikuti sengat yang membakar tak kunjung hilang.
Adrielle jatuh terlutut, dia semakin tercekik. Karena semakin panik, dia merangkak perlahan pada puing-puing.
"Tolong," ucapnya sangat pelan, bahkan dirinya sendiri sulit mendengarnya.
Dia semakin tercekik dan pengap di dada ketika dia mencoba lagi untuk bersuara. Mata merahnya berpaling pada celah-celah batu di atas puing batu, dan lengannya terentang mencakar langit penuh putus asa.
Kabut sihir hitam perlahan mengalir pada jalur cahaya di celah-celah batu. Siapa pun yang bertarung di atas sana telah melepaskan sihir yang luar biasa kuat, jika endapannya saja bisa menguak hingga ke bawah tanah.
Adrielle tahu itu, tetapi tidak yakin pihak siapa yang melontarkan sihir dengan ledakan kuat tadi. Dia berharap itu sihir orang tuanya dan memenangkan pertempuran.
Perlahan pandangan Adrielle mulai mengkabur, diikuti kesadarannya yang menghilang. Akhirnya sang putri vampir pun tergeletak tak sadarkan diri.
"Sayangku? Kau baik-baik saja, Nak?"
Sayup-sayup suara wanita paruh baya terhembus halus pada telinga. Adrielle perlahan terbangun dari tidurnya yang entah sudah berapa lama.
"Kau baik-baik saja?" Suara yang lembut dan menenangkan kembali hadir dari kejauhan.
Adrielle membuka mata sepenuhnya, napasnya mulai terkendali. Kemudian dia mengamati sekitar.
Semua masih sama. Berbaring di ruangan yang gelap, lorong yang runtuh dengan sedikit cahaya dari sela-sela bebatuan pun masih sama.
Kekecewaan pun timbul di lubuk hatinya. Dia mengira suara lembut yang familiar telah membangunkan dia dari mimpi buruk.
Putus asa dia merangkak pada secercah cahaya di langit-langit ruang lorong yang runtuh, berteriak meminta pertolongan. Hanya keheningan dunia yang membalas permintaannya.
Pertempuran sudah berakhir di atas sana, tetapi kekhawatiran pada kedua orang tuanya terus bergulat bersama rasa takut. Tidak tahu apa hasil pertempuran itu, tidak tahu siapa yang menang.
Penyerangan tiba-tiba oleh Duke Emeraldo di Duskfall Manor menjadi hal yang paling Adrielle sesali seumur hidupnya. Dia tahu hal itu akan terjadi, dia pun sudah berusaha mencegahnya, tetapi usaha dia tidak cukup untuk melawan takdir.
Pernikahan politik direncanakan secara mendadak oleh sang Raja Vampir, ayahnya Adrielle, setelah Kerajaan Vampir terjepit di antara dua perang: pemberontakan bangsawan vampir dan perang melawan manusia.
Sebagai putri kerajaan, Adrielle hendak memenuhi tugasnya demi keselamatan bangsa. Namun, semua berubah ketika sahabatnya memperingatkan Adrielle akan pengkhianatan Duke Emeraldo.
Uang dan koneksi pribadi, Adrielle kerahkan seluruhnya untuk menggali informasi itu. Ahli Intelejen menolak membantu sang putri, menganggap sikap kekanak-kanakannya itu telah menganggu fokus terhadap strategi perang.
Sebagaimana usaha Adrielle saat ini untuk membuka celah langit-langit lorong yang berakhir merobohkan atap batu seutuhnya, usaha dia mengungkap rencana Duke Emeraldo pada ayahnya pun berakhir sia-sia. Sang Raja Vampir menghardik keras atas tuduhan Adrielle dan menganggap ketidakpatuhannya itu akan membawa kehancuran pada kerajaan.
Dua jam sebelum makan malam, Adrielle menghabiskannya dengan menangis penuh frustasi, setelah tidak ada satu pun orang yang mempercayainya. Begitu pula pada malam ini, langit-langit lorong runtuh seluruhnya. Tanpa cahaya, tidak ada siapa pun disekitarnya, hanya kegelapan pekat memeluknya bersama keheningan.
Ketika kedua pihak keluarga sudah berkumpul di meja makan, Adrielle mengungkapkan rencana pengkhianatan Duke Emeraldo di depan semua orang. Amarah mencuat dari wajah Raja dan Ratu Vampir, menghardik putrinya sendiri yang telah merusak suasana dengan tuduhan yang tidak berdasar.
Namun, Duke Emeraldo justru tertawa pada tuduhan Adrielle. Reaksi dirinya dan keluarga Klan Emeraldo tidak seperti yang diharapkan oleh sang Raja.
"Maafkan putriku, Duke Emeraldo," pinta ayahnya Adrielle.
Duke Emeraldo menyeringai. "Tentu saja, tidak masalah, Yang Mulia. Aku mengerti jika dia sulit menerima pernikahan ini."
"Adrielle! Kendalikan dirimu dan duduk manis di tempatmu!" titah sang Ratu.
Adrielle mendengus "Aku tidak sudi." Dia pun berjalan cepat meraih pintu ruangan.
"Adrielle!"
Duke Emeraldo mengangkat salah satu tangannya pada sang Ratu. "Tidak apa, Yang Mulia. Lagipula—"
"Tidak bisa aku membiarkan kalian diperlakukan seperti ini, Duke Emeraldo," tukas ibunya Adrielle.
"Tidak perlu repot-repot, Yang Mulia. Lagipula kalian berdua seharusnya mendengarkan ucapan putri kalian sendiri."
Duke Emeraldo mulai melemparkan sihir pada sang Ratu hingga dis terhempas kuat pada jendela. Kekacauan dimulai seiring keluarga Klan Emeraldo melancarkan serangan sihir di ruang makan.
Sebelum sempat bereaksi, Adrielle terhempas keluar dari ruang makan oleh sihir dari Duke Emeraldo. Ketika pria itu mulai mendekat dengan pedang peraknya, sang Raja menerjang Duke Emeraldo.
"Adrielle! Pergi dari sini!" pekik sang Raja Vampir.
Adrielle mencoba bangkit pada kakinya. "A-Aku—"
"Setidaknya dengarlah ayahmu untuk sekali saja!"
Para penyerang sudah menerobos masuk ke kediaman Klan Duskfall. Adrielle berlari, di setiap sudut ruangan dan lorong para prajurit kerajaan disibukkan melawan para penyusup. Perang sihir yang masif pun terjadi di sekitar halaman rumah yang megah itu. Tidak ada pilihan, Adrielle berlari menuju rubanah, dikejar oleh dua para penyerang.
Hari demi hari berlalu tanpa Adrielle sadari. Entah sudah berapa lama dia terjebak di ruangan yang gelap ini.
Tersandar lemas pada tembok batu, putri cantik yang penuh luka itu terus merenung. Diam tidak bergerak menatap kehampaan, karena tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Jika dia melakukan sesuatu pun akan berakhir percuma, sia-sia, hanya kegagalan yang menjadi hasilnya.
Seminggu pun berlalu, dia tetap enggan bergerak. Bahkan sudah terlalu lelah untuk menangis. Berandai-andai dalam angan jika dia melakukan hal yang berbeda pun tidak akan mengubah apa pun, tidak pernah memberi rasa nyaman dalam pikiran.
Sebulan dia lalui bersama mimpi buruk dan trauma. Walau hidup penuh kemewahan, dia masih mampu menahan rasa lapar. Namun, dahaga yang candu akan darah manusia tidak dapat dia bendung.
Ketergantungan yang tidak terpenuhi mengubah emosi tak terkendali, tubuhnya bergetar penuh kecemasan. Kemudian penyesalan yang mendalam berubah menjadi kemarahan yang meledak.
Adrielle mulai melemparkan sihir tak terkendali ke seluruh arah, seperti hendak merobek kegelapan pekat ruangan. Raungan amarah berulang kali menggema, mengembalikan utaran cacian yang penuh kebencian kembali padanya.
"Bajingan! Kenapa tidak ada yang mau mempercayaiku?! Terkutuklah kalian Klan Emeraldo!"
Lantai batu yang keras dipukul-pukul tanpa ampun, mencakarnya tanpa menghiraukan decit yang menyiksa telinga. Sayangnya dia berada di lantai terakhir rubanah Duskfall Manor.
"Emeraldo! Emeraldo!"
Hari demi hari Adrielle mengutuk Klan Emeraldo dengan tuturannya yang penuh kebencian. Tanpa henti dia juga menggertakan giginya hingga terkikis kasar.
Sekali lagi dia tersadar, hanya gelap dan hampa yang mendengar kemarahannya. Adrielle pun tertawa gila dengan lantang, mentertawai dirinya sendiri.
Suatu hari dia menajamkan kuku-kukunya. Dia dekatkan lalu menatapnya penuh keraguan. Rasa takut akan kematian begitu kuat menyengat tubuh, hingga mengurunkan niat untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Kemudian, dengan tubuh yang lemas dia mulai melontarkan sihir ke langit-langit ruangan. Segala jenis sihir dia hempaskan, semakin dia coba, semakin melemah sihirnya.
Sebagaimana usahanya yang lain, upaya untuk meruntuhkan atap ruangan juga berakhir sia-sia. Namun, kali ini pikirannya kebas, kehampaan sudah tercermin pada kedua matanya.
Alternatif kematian pun akhirnya dia pilih. Daripada dia menusuk dirinya sendiri, dia memilih untuk mengumpulkan seluruh energi sihirnya pada telapak tangan sekuat tenaga.
Pusaran sihir kuat dan perlahan membesar di telapak tangan seiring mulai mempersiapkan diri menghadapi kematian. Energi sihir semakin besar dan ketika dia mengaliri perasaannya, pusaran api yang membakar mulai berputar kencang di atas telapak tangannya.
Pancaran cahaya dari api mengoyak kegelapan ruangan, menerangi seluruh sudut ruangan dengan jelas. Rasa takut akan kematian mendadak mencuat di hatinya ketika Adrielle melihat dua peti mayat di tengah ruangan.
Adrielle mulai panik, ragu akan keputusannya, tetapi sihir itu semakin tidak terkendali. Teror akan kematian meracun pikiran, dan karena gelisah, tanpa sengaja sihir api pun terlontarkan.
Langit-langit itu pun bergetar oleh serangan api yang kuat. Alih-alih hujan batu dari runtuhnya atap ruangan, api yang membakar dengan cepat menyelimuti seluruh dinding-dinding ruangan.
Berada di tengah ombak api, Adrielle meringkus dirinya penuh ketakutan akan sihirnya sendiri. Hawa panas pun dengan cepat menyusut seiring sihir api itu menghilang.
Beruntung dia selamat tanpa luka bakar sedikit pun. Adrielle menarik napas lega, mengira dia akan terbakar oleh sihirnya sendiri.
Ruangan gelap pekat dan hampa itu pun berubah menjadi terang oleh lampu-lampu obor di tiap dinding. Sontak dia beralih pada langit-langit ruangan, tetapi bebatuan masih kokoh membentang di atas kepalanya.
Dua peti mayat dengan ukiran perak, yang indah terletak berbelahan di tengah ruangan, menarik perhatian penuh Adrielle. Selama ini ternyata dia tidak pernah kesepian di sini.
Reflek dia bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju 'teman baru'-nya. Beberapa perhiasan emas dan tumpukan koin-koin emas di sekitaran peti, dia injak seakan itu hanyalah rumput liar ketika dia menilik kedua peti.
Belladonna Duskfall terukir di salah satu peti dan Armand Duskfall di peti di sebelahnya. Adrielle terkejut mendapati kedua nama itu, yang merupakan pendiri Klan Duskfall.
"Kenapa peti mereka ada di sini?"
Adrielle akhirnya mengistirahatkan punggungnya dengan duduk di peti milik Belladonna. Lalu, dia peluk erat peti perak itu seraya kedua kakinya dia rentangkan di atas tumpukan perhiasan.
"Andai kalian tahu, Klan yang kalian bangun hancur akibat kebodohan," ucapnya lirih.
Tahu bahwa kedua peti mayat itu tidak akan menimpal, juga masih terjebak di ruangan ini untuk waktu yang lama—mungkin selamanya, Adrielle pun menceritakan semua apa yang terjadi. Setidaknya setelah sebulan lebih terjebak seorang diri, sekarang dia memiliki teman curhat, atau tempat curhat.
Seusai bercerita, sang putri vampir menangis kencang. Pelukan pada peristirahatan terakhir leluhurnya itu semakin erat.
"Aku mengerti, Nak."
Suara wanita yang lembut dan juga elegan menggema dari peti Belladonna. Sang putri vampir tersentak hingga terjatuh di atas tumpukan emas.
"Kau ... kau berbicara?!" pekik Adrielle sangat nyaring.
Kedua mata merahnya membelalak ketika suara itu sama persis seperti suara yang membangunkannya setelah pingsan di depan lorong. "Suara ini .... kau selama ini bisa berbicara?"
"Maaf, maaf," tertawa kecil yang manis dari peti Belladonna pun terdengar. "Selama ini aku dilarang Armand."
"Hm! Kau juga sepakat untuk memberinya waktu untuk menyendiri, Bella," suara pria dari peti Armand menggelegar. Tegas dan kasar.
Adrielle semakin merangkak mundur. Wajahnya berkerut bingung dan ketakutan.
"Lihat apa yang kau lakukan, Armand," kata Belladonna. "Sudah tidak perlu takut, Sayangku."
Suaranya yang merdu dan tenang memberi rasa aman ke dalam hati Adrielle. Dia pun berdiri.
"Nah sekarang, katakan," ucap Belladonna. Kemudian bersamaan dengan Armand, keduanya bertanya, "Kenapa kau berada di sini?"
Adrielle terkejut merinding oleh resonansi suara keduanya yang menganggumkan. Suara mereka cocok seperti yang dia bayangkan ketika membaca sejarah Klan Duskfall, potret wanita vampir elegan yang mempesona milik Belladonna dan pria vampir dengan wajah tegas yang arogan milik Armand.
"Bukankah aku sudah menceritakan panjang lebar tadi?" timpal Adrielle. "Lagipula, kenapa kalian dimakamkan di sini? Tidak, kenapa kalian bisa bicara?"
"Oh begitu," ucap Belladonna.
"Kenapa kau banyak tanya? Kami lah yang seharusnya bertanya di sini!" seru Armand menggelegar seisi ruangan.
"Armand! Bersikaplah baik pada anak kita!" Belladonna menghardik.
"Hm!" Armand mendengus kesal.
Adrielle semakin bingung. Perlahan dia berjalan mundur menjauh sembari menyeringai. Kemudian dia tertawa kecil.
"Tidak. Aku pasti sudah gila."
Gelegar tawa timbul dari kedua peti setelah mendengar ucapannya. Rasa ngeri mulai menggerogoti tubuhnya seraya dia terus mempertanyakan kewarasannya.
"Aku mengerti, Sayang. Aku mendengar ceritamu. Kemarilah, semua bukan salahmu," ucap Belladonna menenangkan.
Adrielle memekik. "Tentu saja semua bukan salahku! Andai keluarga bodoh itu mendengarkanku ..."
Pelupuk matanya kembali berlinang air, kemudian mengalir membasahi wajahnya yang pucat. Dia menjatuhkan tubuhnya hingga berlutut.
"Aku tidak mengerti kenapa kau mengeluarkan sihir api sekuat itu," tutur Armand jujur.
Kesedihan Adrielle mendadak larut dan kembali menjadi amarah. "Kau pikir apa lagi?! Aku masih ingin berjuang untuk keluar dari sini!"
Adrielle bangkit dan berjalan cepat menuju peti milik Armand. Kemudian, dia menendang-nendang peti perak itu sekuat tenaga.
"Daripada kau, kalian, peti mayat yang tidak berguna. Kalian sudah mati, aku masih hidup," ucap kesal Adrielle sembari menendang. "Kenapa kalian tidak menolongku? Jika kisah-kisah kehebatan kalian itu benar kenapa kalian tidak menolongku! Kenapa?!"
Adrielle pun kembali menjatuhkan diri setelah tendangan terakhir. "Kenapa ... kalian tidak menolong keluargaku. Klan kalian?"
Kesedihan kembali membajiri Adrielle. Perasaan dan pikiran yang terus bergulat selama kesendiriannya di ruangan ini, telah menghancurkan kestabilan emosinya.
"Kami tidak bisa," timpal Belladonna.
"Kenapa? Kalian tersegel sihir atau apa?"
"Semacam itu. Tidak ada yang bisa mengeluarkan kita dari itu," tutur Belladonna begitu tenang. "Kemarilah, Sayangku."
Adrielle merangkak dan mendekat pada peti Belladonna, kemudian kembali memeluknya erat. Dia curahkan seluruh perasaan dan penyesalan dalam tangisnya.
"Kau sudah menjadi Duskfall yang hebat. Kami bangga padamu Adrielle Duskfall." Armand berkata penuh wibawa.
"Benar. Pasti berat menjalani semua ini. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, itu hanya membebanimu, Sayang."
"Tentu saja berat! Kau tidak tahu betapa sulitnya bertahan tanpa darah manusia," keluh Adrielle.
Armand tertawa. "Hah! Aku suka anak ini."
Adrielle menempelkan wajahnya pada peti perak Belladonna. Begitu dingin walaupun telah terbakar sebelumnya.
"Maafkan aku. Aku telah gagal mempertahankan Klan yang kalian dirikan. Membiarkan diriku terjebak di sini. Entah bagaimana keadaan orang tuaku berada di atas sana."
Sesuatu tak kasat mata mulai mengusap rambut hitam panjang miliknya dengan lembut. Seakan Belladonna membalas pelukannya dan membelainya penuh kasih sayang.
"Hush, hentikan," Belladonna berbisik halus. "Semua baik-baik saja. Semua bukan salahmu, kau sudah berjuang dengan baik."
Adrielle menatap peti Belladonna sendu. "Tapi, aku gagal. Aku adalah kegagalan."
"Seseorang yang gagal hanyalah mereka yang tidak pernah berbuat," timpal Armand tegas. "Kau Adrielle, sudah berjuang sebagaimana seharusnya vampir dari Klan Duskfall."
Adrielle menyeringai. "Aku benar-benar sudah gila. Mencari pembenaran diri dari orang yang telah mati."
"Kau tidak." Kedua peti itu berkata serempak.
Adrielle terkesiap. "Lalu kenapa aku bisa berbicara dengan kalian? Kenapa baru sekarang?"
"Hush." Belladonna mengusap kepala Adrielle lalu pada pipinya dengan lembut. "Kami berdua senang kau datang kemari. Sekarang tutup matamu, kau membutuhkan istirahat yang banyak."
Adrielle menutup kedua mata merahnya, diikuti air mata yang mengalir halus di pipi. Rasa aman dan nyaman membentuk senyum tipis pada bibirnya.
"Kalian datang menjemputku," ucap Adrielle.
"Benar."
"Apa mereka berada di sana?"
"Benar. Semua akan baik-baik saja."
"Kalau begitu tolong antarkan aku. Maaf, aku terlambat."