Raka terbaring di lantai kamar, nafasnya memburu, tubuhnya terasa dingin, seolah baru saja melalui sebuah pengalaman yang memaksa seluruh jiwanya untuk terperangkap dalam ketakutan yang nyata. Setiap detik yang berlalu, pikirannya dipenuhi oleh gambaran cermin itu, bayangan wanita itu, dan suara yang terus menggema di kepalanya. Ia ingin lari, namun tubuhnya terasa lumpuh, seakan ada sesuatu yang mengikatnya di tempat itu.
Pelan-pelan, ia bangkit dari lantai, keringat dingin membasahi tubuhnya. Cermin itu tetap berdiri tegak di sudut ruangan, seperti tak tergoyahkan oleh kejadian yang baru saja terjadi. Permukaan kaca itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu meja yang masih menyala, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi bayangan dirinya yang tercermin. Cermin itu kini hanya mengeluarkan kilauan gelap yang menyeramkan, seperti mata yang tertutup rapat, menunggu untuk dibuka.
Raka berjalan perlahan menuju cermin, langkahnya penuh kehati-hatian. Ia merasa ada kekuatan yang menariknya, seperti ada tangan tak terlihat yang meraihnya, mengundangnya untuk datang lebih dekat. Ia merasa semakin terperangkap dalam dunia yang tidak bisa ia pahami. Dalam ketakutan yang menguasai dirinya, ia berusaha untuk menahan napas, mencoba mengumpulkan keberanian.
Saat tangannya hampir menyentuh bingkai cermin, suara itu kembali terdengar, lebih keras dan lebih jelas. "Raka..." Suara itu berbisik, namun kali ini bukan hanya suara wanita itu, melainkan suara ribuan bisikan yang seakan berasal dari kedalaman dunia lain.
Tangan Raka gemetar saat menyentuh permukaan kaca. Untuk sesaat, ia merasa ada getaran aneh yang merambat melalui tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mengalir dari cermin ke dalam dirinya. Ia ingin menarik tangannya, namun tubuhnya seperti tertahan oleh kekuatan yang tak terlihat.
Dalam kilauan gelap cermin itu, Raka melihat sesuatu yang tak pernah ia harapkan—sebuah ruangan yang luas dan gelap, dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang berkilauan dalam kegelapan. Di tengah ruangan, berdiri sosok yang ia kenali. Wanita itu, dengan wajah yang lebih jelas, namun kali ini dengan ekspresi yang lebih mengerikan. Wajahnya penuh dengan luka-luka mengerikan, matanya kosong, dan bibirnya terbuka, seolah ingin berbicara.
"Raka..." bisikan itu terdengar lebih keras, seolah menggetarkan seluruh ruangan. "Ini adalah tempatku. Tempat kita."
Sekejap, Raka merasakan sesuatu yang sangat dingin menyentuh tubuhnya, seolah ada tangan yang meraihnya dari dalam cermin. Tiba-tiba, ia merasa seolah terhisap ke dalam kaca itu, tubuhnya melayang, dan semua yang ada di sekitarnya menjadi gelap.
Matanya terbuka lebar, dan ia menemukan dirinya berada di dalam dunia lain. Dunia yang tak terjangkau oleh cahaya, dunia yang dipenuhi dengan bayangan hitam dan sosok-sosok yang tak terlihat. Di sekelilingnya, suara-suara aneh bergema, mengitari dirinya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang sangat besar di sana, sesuatu yang telah menunggu untuk dibebaskan. Sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada yang bisa ia bayangkan.
"Raka..." suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dalam, lebih menyeramkan. "Kamu sudah membuka pintu... dan sekarang, kamu adalah bagian dari dunia ini."
Raka mencoba berteriak, namun suaranya seolah tertelan oleh kegelapan. Ia ingin melarikan diri, namun tubuhnya terperangkap, tidak bisa bergerak. Ketika ia mencoba menoleh, sosok wanita itu muncul di hadapannya, dengan wajah yang lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Ia tidak bisa lagi melihat matanya yang kosong, karena wajah itu kini tersenyum. Senyum yang mengerikan, penuh dengan keputusasaan dan kebencian.
"Tidak ada jalan keluar, Raka," wanita itu berbisik, suaranya penuh dengan kebencian. "Kamu sudah memanggilku. Sekarang, kamu adalah milikku."
Raka merasakan tubuhnya semakin terperangkap dalam kegelapan yang tak bisa ia lari dari sana. Wajah wanita itu semakin mendekat, dan Raka tahu, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Cermin itu telah menutup dirinya di dunia yang gelap dan mengerikan ini. Dunia yang kini adalah penjara abadi baginya.
Raka mencoba mengedipkan matanya, berharap ini semua hanya mimpi buruk yang bisa ia bangunkan, namun kenyataan itu semakin menjerat dirinya. Sosok wanita itu kini berada sangat dekat dengannya, dengan senyum yang tidak mengandung kebaikan sedikit pun. Senyum itu bukanlah senyum manusia—lebih seperti senyum dari sesuatu yang sudah lama mati, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
“Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang, Raka,” suara wanita itu terdengar semakin mengerikan, serupa bisikan yang mengalir langsung ke dalam pikirannya. “Kamu sudah datang ke dunia kami. Kamu sudah memanggil kami.”
Sosok wanita itu mulai bergerak, perlahan-lahan melangkah mendekat, namun setiap kali ia bergerak, tubuhnya semakin berubah. Kini, ia bukan lagi seorang wanita dengan pakaian lusuh. Wajahnya semakin kabur, matanya menjadi seperti dua lubang hitam yang tak ada dasarnya. Kulitnya terkelupas, berubah menjadi sesuatu yang lebih menyeramkan—sebuah bentuk tubuh yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata manusia.
Raka merasa tubuhnya menjadi semakin lemas, seakan kekuatannya terhisap begitu saja. Ia ingin berteriak, namun suaranya terhenti di tenggorokan. Ada perasaan berat, seolah-olah ada sesuatu yang sedang menekan dadanya. Matanya mulai kabur, dan ia merasa seperti terperangkap dalam dunia yang tak lagi dikenalinya.
“Tak ada lagi jalan keluar, Raka. Kamu sudah memilih. Kamu sudah membuka jalan untuk kami.”
Semakin lama, dunia di sekitarnya semakin kabur. Bayangan-bayangan hitam yang bergerak cepat mulai muncul dari kegelapan yang memeluk setiap sudut ruang. Suara mereka seperti gema, berbaur satu sama lain, membentuk suara yang menyatu, yang membuat telinga Raka terasa sakit. Sosok-sosok ini, yang tidak memiliki wujud yang jelas, bergerak seperti bayangan yang berputar di sekitar tubuhnya, mengelilinginya, mendekatinya.
“Siapa kalian?!” Raka berusaha bertanya, namun suaranya hilang dalam deru bisikan itu. “Apa yang kalian inginkan?”
Tertawa, tawa yang tidak manusiawi, memecah kesunyian. Wanita itu, atau lebih tepatnya, makhluk yang kini berbentuk seperti wanita, menggelengkan kepalanya. “Kami hanya menunggu. Menunggu untuk dibebaskan.”
Mendengar kata-kata itu, Raka merasa seolah-olah dunia ini mulai menghisap dirinya lebih dalam. Dunia yang kelam dan gelap ini, penuh dengan kekuatan yang lebih tua dan lebih jahat dari segala hal yang ia kenal. Tidak ada harapan di sini. Tidak ada tempat untuk melarikan diri. Seperti dia terjebak dalam suatu takdir yang telah digariskan sejak lama, dan dirinya hanya merupakan bagian dari permainan yang lebih besar.
Dalam detik berikutnya, seberkas cahaya merah gelap menyilaukan muncul di hadapannya. Cahaya itu datang dari cermin yang kini tergantung di tengah ruang itu, cermin yang tiba-tiba muncul dari kegelapan, seolah-olah menunggu untuk menelan segalanya. Di balik cermin itu, Raka melihat wajahnya sendiri, tetapi kali ini bukan dirinya yang sedang menatapnya. Wajah di cermin itu mengeluarkan senyum—senyum yang sangat mengenalnya, senyum yang dipenuhi kebingungan dan ketakutan, senyum yang datang dari dirinya sendiri.
Raka mundur beberapa langkah, tubuhnya hampir terjatuh. Ia menyentuh wajahnya, tetapi wajah yang ia lihat di cermin itu tetap tertawa. Tidak ada cara untuk melawan, tidak ada cara untuk keluar.
“Raka...” suara itu kembali, kali ini lebih dalam, lebih berat. “Kamu telah datang. Kamu telah membuka jalan untuk kami.”
Dan seketika, dunia di sekitar Raka runtuh. Cermin itu seolah menjadi portal, memuntahkan seluruh kegelapan yang ada di dalamnya ke dunia ini. Sosok-sosok bayangan itu semakin kuat, semakin dekat. Tangan mereka mulai meraih tubuhnya, menariknya kembali ke dalam cermin. Raka mencoba melawan, namun rasanya seperti tubuhnya tidak lagi miliknya. Cermin itu, dengan segala kekuatan yang dimilikinya, menyedot Raka kembali ke dalamnya.
“Tidak!” Raka berteriak dalam hati, namun suara itu seolah menghilang, tak terucap.
Dengan sekali tarikan, Raka merasakan tubuhnya terhisap ke dalam cermin, ke dalam dunia yang gelap dan penuh dengan bayangan itu. Kegelapan itu mengelilinginya, menelan setiap bagian dari dirinya, menyisakan hanya kegelapan yang abadi, dan sebuah suara yang terus berbisik, "Selamat datang di dunia kami, Raka."