Cahaya matahari yang temaram membanjiri jalanan kecil tempat kios-kios antik berdiri berjejer. Di antara aroma debu tua dan kayu lapuk, Raka menghabiskan waktunya menyusuri sudut-sudut toko baranv bekas. Untuk mahasiswa seji rupa semester akhir itu, tempat seperti ini adalah tambang emas. Dia sering menemukan kanvas tua, bingkai kusam, atau bahkan buku-buku bergambar langka yang memicu imajinasinya.
Hari itu, langkahnya terhenti di depan sebuah toko yang nyaris tertelan bayangan pohon beringin besar dan tua. Di depan toko, tergantung plang bertuliskan "toko antik" yang terlihat miring, seolah siap terlepas kapanpun, Raka melangkah maju, lonceng kecil di depan pintu berbunyi pelan, memperingatkan pemilik toko bahwa ada pengunjung baru yang datang.
Di dalam, suasana terasa lebih dingin daripada di luar, meskipun tidak ada kipas angin ataupun pendingin ruangan(AC), aroma kapur barus bercampur wangi bunga melati samar tercium. Di sudut ruangan, cermin besar dengan bingkai kayu hitam pekat menarik perhatian Raka. Ukiran pada bingkai itu seperti akar-akar pohon yang saling melilit, membentuk pola murni yang nyaris hidup.
"Menarik ya?" Suara serak seorang wanita tua yang membuyarkan rasa kekaguman Raka.
Ia menoleh, melihat seorang nenek dengan rambut memutih, tubuh kecil, dan tangan penuh keriput berdiri didekatnya.
"Cermin ini... unik sekali" ujar Raka sambil mengamati cermin itu lebih dekat, ia mulai menyentuh bingkai itu. Bingkai kayu itu terasa sangat dingin, hampir seperti logam.
"Ohh... cermin itu. Ceemin itu milik seseorang dari masa lalu, " nenek itu menjawab pelan. "Banyak yang bilang dia penyihir. Tapi ya... itu hanya cerita lama. Kalo kau suka ambil aja, harganya murah."
Mata Raka berbinar, untuk seorang mahasiswa dengan uang pas-pasan, mendengar kata "murah" adalah berkah. "Berapa bu?"
Nenek itu mengangkat bahu. "ya... lima puluh ribu."
Tanpa pikir panjang Raka langsung menyerahkan uangnya. Dengan bantuan nenek itu, ia membawa cermin besar itu ke kamarnya di rumah kos tua.
Saat malam tiba, kamar Raka terasa lebih gelap dari biasanya. Cermin yang ia beli tadi berdiri di sudut ruangan, bersandar pada dinding kosong dimana ia sering menggantung gambar sketsa. Lampu meja kecil memantulkan cahaya samar ke permukaan kaca, menciptakan bayangan-banyan aneh di sekitarnya.
Raka duduk di kursi meja kerjanya, mencoba menyelesaikan tugas menggambarnya. Namun, setiap beberapa menit, matanya tertari pada cermin besar itu. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan perhatian. Bukan hanya bentuk bingkainya yang memukau, tetapi juga kilauan aneh di permukaan kacanya, seperti ada sesuatu yang bergetar didalamnya.
Ia menggelengkan kepalanya, mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, ketika ia memandanginya lagi, ia bersumpah melihat bayangan samar melintas di balik cermin.
"Cuma imajinasi," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Beberapa waktu kemudian setelah ia melihat bayangan samar itu, ia mematikan lampu kamarnya dan merebahkan diri di tempat tidur, membiarkan rasa ngantuk perlahan mengambil alih.
Namun, tidur Raka malam itu jauh dari nyenyak. Dalam mimpinya, ia berdiri di ruangan yang sama, tetapi ada seseorang yang berdiri di depan cermin. Sosok itu berbaju lusuh, wajahnya kabur seperti tertutup kabut.
"Raka......." suara berbisik itu terdengar dari dalam cermin.
Ia langsung terbangun dengan napas memburu. Matanya langsung tertuju pada sudut ruangan. Cermin itu tetap berdiri di tempatnya, tetapi permukaannya terlihat lebih gelap dari sebelumnya.
Raka duduk dengan napas terengah-engah di atas tempat tidurnya, pandangannya tetap terkunci pada cermin yang kini terlihat aneh. Permukaan kaca yang tadinya memantulkan cahaya dengan lembut, kini hanya tampak gelap, seolah menghisap cahaya di sekelilingnya. Ada sesuatu yang mengerikan dalam kilauan itu, seperti sebuah lubang hitam yang menanti untuk menelan segalanya.
Tangan Raka terus bergetar saat mencoba berdiri dari tempat tidurnya, namun tubuhnya terasa kaku. Seolah ada kakuatan tak kasat mata yang terus menahannya di tempat tidur. Sekali lagi, ia mendengar bisikan misterius itu-kali ini lebih keras. Seolah datang dari kepalanya.
"Raka......"
Suara itu memanggilnya dengan nada yang hampir tak terdengar, tapi suara itu penuh dengan ketegangan. Tanpa menahan rasa ingin tahu yang mulai menguasai dirinya, Raka berjalan menuju cermin. Langkahnya terasa berat, seperti ada daya tarik yang menariknya untuk mendekat, seakan-akan cermin itu memangil-manggilnya.
Ketika ia berdiri di depan cermin, matanya terkunci pada bayangan yang mulai muncul di permukaan kaca. Bukan hanya dirinya yang tercermin di sana. Namun juga sosok itu, sosok yang muncul di dalam mimpinya, kini terlihat jelas, wanita dengan rambut panjang terurai, mengenakan pakaian lusuh yang nampak sangat tua, berdiri di dalam cermin.
Raka terkejut, "Siapa kamu?" Tanya Raka, Suara terdengar serak dan gemetar.
Sosok wanita itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan mata yang gelap dan penuh kehampaan. Bayangan itu mulai bergerak perlahan ke arah Raka. Seolah mengikuti perintah yang tak terucapkan, Raka merasa tubuhnya bergerak tanpa kendali, ia meraih cermin itu dengan tangan yang gemetar, begitu jarak antara tangan dan cermin itu tersisa beberapa sentimeter lagi, bayangan di dalam cermin itu menghilang. Seperti ditelan oleh cermin itu sendiri.
Beberapa saat setelahnya, sebuah suara keras terdengar, memecah keheningan di kamarnya. Raka mundur dengan cepat, merasakan ketakutan yang mendalam. Ia mulai melihat bayangan di cermin kiji telah berganti-sebuah wajah yang lebih familiar, wajahnya sendiri. Tapi kali ini, mata di cermin itu tidak memandang ke arahnya. Namun menatap lurus ke dalam kegelapan, seperti sedang menunggu sesuatu.
Rasa aneh menggelayuti Raka. Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar rasa takut menyelimuti hatinya. Ia merasakan hawa kehadiran yang jauh lebih kuat dari sebelumnya-dunia yang ada di balik cermin itu. Suara bisikan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan lebih tajam.
"Raka, kamu telah memanggilku....."
Dengan rasa terkejut, Raka mencoba mundur beberapa langkah dari cermin itu namun kakinya seolah tidak bisa bergerak lebih jauh. Cermin itu seakan menjadi penghalang, sebuah gerbang yang terbuka, membawa sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih gelap dari yang bisa ia pikirkan.
Perasaan berat mengendap di tubuhnya, seolah ada tangan tak kasat mata yang menariknya kembali ke hadapan cermin. Sekali lagi, bayangan dirinya muncul, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Bayangan itu tidak mengikuti gerak tubuhnya, melainkan tetap diam, menatap lurus ke dalam kegelapan yang tak terjangkau oleh cahaya kamar. Raka merasa tubuhnya seakan terperangkap di dalam cermin, meskipun ia masih berada di dunia nyata.
Tangan Raka gemetar saat ia mencoba untuk mundur, tetapi entah mengapa, kakinya terasa seolah tertanam di lantai. Cermin itu memancarkan kilauan yang lebih kuat, seolah-olah ingin menelan segala yang ada di sekitarnya.
"Raka..." suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih mendalam. "Kamu tidak bisa lari."
Ia ingin berteriak, tapi suara itu menghalangi semua pikiran rasionalnya. Keinginan untuk lari, untuk bersembunyi, hanya membuatnya semakin terperangkap. Dan saat itulah, bayangan wanita itu kembali muncul, semakin jelas, semakin nyata, hingga seakan-akan dia berdiri tepat di belakang Raka, meski ia tidak bisa melihatnya di dunia nyata.
Raka mencoba menggerakkan kakinya, namun tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan yang menahannya. Cermin itu, yang seharusnya hanya sebuah benda antik biasa, kini berubah menjadi penghalang tak terlihat, seolah menahan langkahnya di dunia nyata. Wajahnya yang memantul di permukaan kaca kini tampak semakin jauh, seakan terjebak dalam kedalaman yang tak bisa dijangkau. Di belakangnya, sosok wanita itu muncul lagi—kali ini dengan lebih jelas, lebih nyata, seperti seseorang yang benar-benar berdiri di sampingnya.
“Raka...” suara itu terdengar lagi, lebih jelas, lebih memaksa. “Kamu telah membuka pintu.”
Tangan Raka gemetar, meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol diri. Setiap detik yang berlalu, cermin itu semakin mengeluarkan kilauan yang mencolok, hampir seperti ada energi yang menghisap segala yang ada di sekitarnya. Di dalam kaca, bayangan wanita itu kini bergerak lebih dekat, dan Raka merasakan sebuah tarikan yang luar biasa kuat, seolah ada sesuatu yang menarik dirinya untuk melangkah masuk ke dalam cermin.
Rasa takut yang tak terlukiskan memenuhi dadanya. Kepalanya berputar, dan tubuhnya terasa semakin berat, terikat pada tempat itu. Tidak hanya karena ketakutan yang mencekam, tetapi juga karena sesuatu yang lebih mengerikan—sebuah kekuatan yang tidak bisa ia lawan. Sesuatu yang telah menunggunya sejak lama, sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap dari yang bisa ia bayangkan.
“Tidak...” Raka berusaha berbisik, mencoba melawan, mencoba mundur. Namun suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih menuntut.
“Raka, kamu sudah memanggilku. Sekarang, saatnya kamu membayar.”
Raka merasakan darahnya dingin, seolah ada sesuatu yang mulai menjalar dari dalam dirinya. Kaki dan tangannya terasa seperti dililit oleh tangan tak terlihat yang makin menekan, makin menahan. Semakin ia berusaha untuk bergerak, semakin kuat pula tarikan itu, mengancam untuk menyeretnya ke dalam cermin. Bayangan wanita itu kini sudah sangat dekat, hampir seolah menatap langsung ke dalam matanya, dengan mata yang gelap dan kosong, penuh kehampaan yang mencekam.
Saat itu, di balik cermin, Raka melihat sosok yang berbeda. Bukan lagi dirinya, bukan juga wanita itu. Ada bayangan hitam besar yang muncul di dalam kaca, seolah seperti sesuatu yang tidak dapat dijelaskan—makhluk besar yang menunggu di balik dunia ini. Wajah Raka yang tercermin di sana mulai berubah, matanya menjadi gelap, hampir seperti terperangkap dalam suatu dunia yang lebih gelap dan lebih tua.
Dengan napas yang berat, Raka berusaha sekali lagi menggerakkan tubuhnya. Namun, kali ini ada suara keras yang terdengar dari cermin, sebuah suara yang merobek keheningan. Cermin itu tiba-tiba bergetar, dan Raka merasa kakinya akhirnya bisa bergerak. Dengan kekuatan yang tersisa, ia mundur, tetapi cermin itu seolah menariknya kembali, seperti sebuah gerbang yang tidak bisa ia hindari.
Wajahnya yang terpantul di kaca kini mulai memudar, perlahan-lahan menghilang, seperti ditarik ke dalam lubang hitam yang tak terlihat. Raka terjatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya gemetar. Ia merasa seolah baru saja bertemu dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia manusia—sesuatu yang menunggu untuk datang kembali. Cermin itu berdiri di sana, seolah menunggu, menunggu kedatangannya yang tak bisa dihindari.