Hujan rintik-rintik mengiringi pagi yang dingin di bulan November. Aroma tanah basah menyeruak, membaur dengan kenangan yang terus berputar di kepala Laila. Gadis itu duduk di dekat jendela, memandangi gerimis yang turun seperti benang-benang perak, sementara hatinya tenggelam dalam keheningan yang tak biasa.
Hari ini, usianya genap delapan belas tahun. Biasanya, setiap tahun, suara berat namun hangat itu akan menjadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Ayahnya. Tapi kali ini, ucapan itu takkan pernah datang lagi.
Tiga bulan lalu, dunia Laila runtuh. Sang ayah, pelindung sekaligus sahabatnya, dipanggil Tuhan dalam sebuah kecelakaan yang tiba-tiba. Kenangan terakhir yang Laila miliki hanyalah pelukan hangat di pagi itu, dan janji ayahnya untuk membelikan kue ulang tahun terindah di hari spesialnya. Tapi takdir berkata lain.
***
Ruang tamu masih sama. Foto keluarga yang terpajang di dinding seakan tersenyum mengejek. Laila mendekati meja kecil di sudut ruangan, tempat ayahnya biasa menyimpan buku-buku kesukaannya. Di sana, sebuah kotak kecil berwarna biru menarik perhatiannya. Dengan tangan bergetar, ia membuka kotak itu.
Di dalamnya, ada sebuah kartu dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal.
*"Untuk Laila, putriku tersayang. Selamat ulang tahun ke-18, Sayang. Ayah selalu bangga padamu. Tetaplah menjadi cahaya yang menerangi dunia, meski ayah mungkin tak selalu ada di sampingmu. Ayah mencintaimu, selalu."*
Tangannya gemetar, matanya memanas. Air mata tumpah, seperti hujan yang jatuh tanpa henti di luar sana. Majas personifikasi dari surat itu terasa nyata, seakan tulisan ayahnya berbisik lembut, menggantikan kehadiran yang kini hanya bisa dirindukan.
Laila memeluk surat itu erat, membiarkan tangisnya pecah. Di tengah keheningan yang menyakitkan, ia bisa merasakan pelukan ayahnya—hangat, meski hanya lewat kata-kata.
***
Malam itu, Laila berdiri di depan makam sang ayah, membawa sepotong kue kecil dengan lilin menyala di atasnya. "Ayah, aku tahu Ayah selalu ada untukku, meski aku tak bisa melihat Ayah lagi," ucapnya dengan suara bergetar.
Angin malam berembus lembut, seolah membisikkan doa yang tak terdengar. Lilin di atas kue tetap menyala, melawan dinginnya malam. Dalam hati Laila, ia tahu, cinta ayahnya tak pernah padam.
Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian ayahnya, Laila tersenyum di antara air matanya. Selamat ulang tahun, Laila. Selamat ulang tahun, dari Ayah, dari kenangan, dari cinta yang tak pernah pergi.