"Sin, Aku bisa jelasin..." Suara berat itu terdengar gelisah, raut wajahnya terlihat sendu dengan kantong matanya yang menghitam, memperlihatkan seberapa lelahnya dirinya sekarang.
Tapi Aku tidak peduli, bagai permen karet yang telah kehilangan rasanya, hatiku tidak lagi merasa bahagia bila melihatnya, perasaan menggebu-gebu yang manis dengan wajah merona dan perut menggelitik itu sudah tidak ada lagi.
Kini hanya perasaan muak dan benci, serta kenangan pahit yang terlintas di dalam hati. "Sintya, Aku mohon..."
"Untuk apa?" Suara ku kembali terdengar, kali ini terdengar lebih tegas dari biasanya, aku bisa melihat betapa tidak senangnya dirinya dengan nada suaraku yang terdengar tidak semanis biasanya.
"Sintya, Aku salah."
"Aku tau, makanya Aku lelah." Jawab ku lantas menatap datar Reyhan yang berada di hadapan Ku, aku bisa mendengar helaan berat napasnya, membuat ku memutar mataku malas. "Kamu yang salah, jangan sok dramatis." Sambungku sembari tersenyum remeh.
"Aku tau aku salah, ini kesalahan Ku, Aku tau itu semua Sin... tapi tidak bisakah kamu mendengarkan ku? Hanya sekali lagi, cukup sekali."
Suara Reyhan terdengar bergetar, membuatku merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatiku, tidak... ini tidak boleh.
"Katakan..." Ucapku yang membuat senyuman Reyhan terukir tipis di bibirnya, senyuman yang semanis gulali di wahana bermain.
"Dia yang mulai, Aku udah nolak berulang kali, Aku bahkan udah bilang ke dia kalau Aku udah punya pacar, tapi dia tetap terus ngejar Aku," Ucapan Reyhan terhenti sejenak, aku bisa mendengar tarikan napasnya yang cukup panjang.
"Sampai, malam itu. Waktu pesta di rumah Dion, Aku mabuk Sin, Aku benar-benar mabuk... Aku gak sadar, kepalaku rasanya sakit, dan begitu Aku bangun di pagi hari, Aku sudah berada di dalam posisi itu." Jelas Reyhan.
Aku terdeiam, bohong jika aku tidak berpikir kalau semua itu hanya alasan, dan omong kosongnya saja. Hanya saja sesuatu terasa mengganjal, seolah ada yang datang lagi, seolah sesuatu kembali menjeratku di dalam hubungan Toxic yang memilukan ini. Dan dengan bodohnya, membuatku kembali terjebak dengan cara yang sama, senyuman Reyhan.
"Kamu percaya sama Aku kan Sin?" Suara Reyhan kembali terdengar, kali ini sebelah tangannya menggenggam erat tanganku, menatap Ku penuh arti, atau mungkin hanya aku yang merasa begitu.
"Sin?"
"Iya, Aku percaya." Jawabku, dengan bodohnya. Jawaban yang akan Ku sesali seumur hidupku.
Demi Tuhan, jika aku bisa mengulangi waktu, jika Aku bisa kembali pada saat-saat itu, jika saja semua itu bisa Ku lakukan, aku akan menampar baj*ngan itu dengan tangan ku sendiri.
.
.
.
.
Dua tahun berlalu, dan kini Aku sudah menikah. Benar, dengan Reyhan, pria gula dengan senyuman manis bagaikan permen kapas di taman hiburan itu. Jangankan senyumannya, perkataan dan tingkah lakunya selalu sukses membuat Ku terjerat di dalam racun mematikan, yang menggerogoti diriku di dalam kepahitan, dan mulai menggenang kemudian perlahan menenggelamkan perasaan Ku.
Hari ini wedding anniversary kami yang ke-dua, Senang? tentu saja.
Walaupun terkadang tidak semulus dan semanis yang Ku impikan, namun melihat Ku bisa mempertahankan pernikahan ku sampai saat ini artinya sebuah kesuksesan. Bodoh? iya saat ini aku memang bodoh.
Aku berjalan keluar dari toko roti, dengan sebuah kotak kue di tanganku, hati ku terasa senang hari ini, mengingat dekoran indah yang telah aku siapkan untuk kejutan malam nanti. Jika tahun lalu Reyhan yang menyiapkannya, maka tahun ini Aku ingin Aku yang menyiapkan semuanya.
Semuanya berjalan lancar, atau mungkin saat itu, Aku terlalu cepat menyimpulkan?
Bruk!
Kotak kue itu jatuh dari tangan ku, menggelincir dengan cepat membentur aspal, mataku membulat dengan tubuh yang membeku, bibir ku bergetar serta tenggorokan ku mulai mengering.
Aku tersadar saat semua orang mulai melihat ke arahku, beberapa dari mereka menanyakan apakah aku baik-baik saja. Membuat hatiku semakin tersayat dan terasa begitu perih, dengan cepat aku berbalik, berlari sekuat tenaga ku, dengan air mata yang tidak dapat ku bendung lebih lama lagi.
Ternyata benar, Aku memang sebodoh ini, ternyata benar, Aku memang sepayah ini, bukan salahnya, tapi salah ku yang terlalu percaya dengan sesuatu yang terlalu manis.
Bagai orang yang terkena penyakit karna gula berlebihan, kini aku merasa sama sakitnya. Tubuh Ku terasa begitu rapuhnya, hatiku hancur, semuanya sudah selesai, aku tidak ingin merasakan perasaan itu lagi, rasa manis gulali di wahana bermain.
TINN.....
BRUK!!
Kepala ku terasa kosong, tubuh Ku terasa ringan, hatiKu terasa lebih tenang, saat tubuh ku melayang di udara merasakan angin yang membelai ku dan mengantarkan ku ke dalam pelukan hangat langit di musim panas, Aku menutup mataku, membiarkan aspal keras itu membentur kepalaku, membuat teriakan terdengar di mana-mana.
Perlahan, dengan samar-samar aku bisa melihat sosok pria dengan senyuman semanis gulali berlari ke arah Ku, wajah nya pucat dengan bibir yang bergetar hebat, tangannya menangkup keuda pipiku, air mata mengalir membasahi pelupuk matanya.
Aku tersenyum, tidak masalah jika begini, tidak masalah jika berakhir seperti ini, seperti seorang yang terkena penyakit gula, Aku akan pergi membawa seluruh kebodohan yang ada di dalam diri ini.
"Selamat tinggal, Pria gulali..."
.
.
.
.
Hujan kembali melanda kota, suara air yang jatuh menghantam aspal terdengar dengan jelas di telinga Ku.
Mata ku memerah, dengan wajah dan bibir yang pucat, tubuh ku mengurus, dengan kepala yang terasa ringan akibat dari serbuk yang baru saja ku konsumsi.
Kedua tangan Ku masih memeluk erat sebuah bingkai foto. Bingkai penuh kenangan dan memori indah yang terlanjur ku sia-siakan, membuatku mencicipi penyesalan yang tidak tau kepada siapa harus Ku katakan.
"Sin... sintya..." Gumam ku berulang kali, perasaan bersalah---ah ralat, perasaan amarah pada diriku sendiri, kembali menyelimuti hatiku, membuat ku kembali mengambil pecahan kaca di samping ku, dengan perlahan kembali menggoreskan nya di pergelangan tanganku. Iya begitu, rasa sakit itu, rasa sakit yang ku rasakan ini, seperti inilah rasa sakit mu sejak mengenal ku, benar begitu?
"Haha.. bodoh, bodoh, bodoh..." Ucapku berulang kali, merutuki kebodohan diriku sendiri.
Pintu terbuka, menampilkan sosok wanita dengan wajah memerah, jelas sekali jika dia menahan amarah.
"SUDAH BERAPA KALI AKU BILANG, KALAU MASIH MAU TINGGAL DI SINI JANGAN MENYUSAHKAN!" teriakan nya kembali terdengar, seperti biasanya.
Wanita itu mengambil serbuk di dalam bungkusan kecil di dekat ku, melemparnya ke dalam perapian, membuat semuanya terbakar hangus. "Reyhan! Aku muak, Aku lelah, Aku gak bisa gini terus!" Ucapnya, masih seperti biasanya.
Aku terdiam, memeluk erat foto pernikahan ku, mendekapnya dengan hangat seolah ini sangat penting untukku.
Rahang Ashel mengeras, melihat tingkah laku ku, dan ekspresi tidak peduliku padanya membuatnya semakin mengamuk di tempatnya.
"Cukup Rey, cukup!" Bentak Ashel, lalu dengan paksa menarik foto itu dari pelukanku. "Sintya sudah mati, tidak ada lagi Sintya!" Teriakan nya kembali terdengar.
Aku kembali merebut foto pernikahan ku darinya, kini pandanganku menatap Ashel dengan tajam. "Diam!" Ucapku dengan jari telunjuk mengacuk ke wajah Ashel.
Ashel tertawa sinis "Diam? Kamu pikir Aku ini Kamu, yang cuma bisa diam menikmati penyesalan?" Ucap Ashel, dengan senyuman mengejek.
"Sintya sudah mati, dia sudah mati, kamu yang membunuhnya, dia mati karena sakit hati melihat Kamu mencium ku di depan toko kue tahun lalu!" Sergah Ashel, dadanya naik turun mengatur napasnya yang tersenggal-senggal.
Aku mengatupkan rahangku, tanganku terkepal dengan keras. "Diam!" Teriak ku semakin mendekat ke arahnya.
"Kenapa? Aku benarkan? kematian Sintya adalah hadiah dari Tuhan, untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan kalian!" Sambung Ashel, senyuman nya terlihat begitu puas saat melihat reaksi ku.
"Aku bilang Diam Ashel!"
PARR!!
Sebuah tamparan ku layangkan ke pipi wanita itu, membuat wajahnya berpaling, dengan cap merah di pipinya.
Ashel menatap ku kembali, tatapannya penuh dengan amarah, napasnya memburu, wajahnya memerah dengan dahi yang berkerut.
"Kamu... cukup, Kamu juga harusnya mati saja Rey!!" Teriak Ashel lalu dengan cepat mendorongku ke atas kasur. Tubuh ku terasa lemas, efek dari serbuk yang ku konsumsi terasa begitu besar mempengaruhi kesehatan ku, membuat ku menjadi begitu kurus dan lemah.
Aku menggerang, merasakan udara tidak masuk ke dalam tenggorokan ku saat tangan Ashel dengan kuat mencekik ku di atas kasur. Perlahan-lahan penglihatan ku memburam, detak jantung ku terasa melemah dan wajah ku membiru, samar-samar, entah bagaimana, aku bisa melihat siluet itu di hadapanku, siluet wanita itu, Sintya istri Ku.
"Sintya..." gumamku, untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan dunia sesak itu, dunia yang ternyata sangat hampa bila ku jalani tanpa mu. Sintya, jika Aku meminta maaf lagi, akankah Kamu memaafkan Ku?