Reni berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, menatap wajah yang selalu dianggap biasa saja. Matanya sedikit bengkak karena kurang tidur. “Hanya satu tahun lagi,” gumamnya, memotivasi diri sendiri.“Hanya satu tahun lagi sampai aku berusia delapan belas, dan setelah itu, aku harus mampu bertahan sendiri.”
Rumah kecil yang ditinggali Reni penuh dengan kenangan orang tuanya. Ayahnya dulu sering bercanda di ruang tamu, sedangkan ibunya senang menghabiskan waktu di dapur, membuat aroma masakan yang selalu menyenangkan. Sekarang, hanya keheningan yang tersisa, dan Reni belajar berdamai dengan rasa kesepian itu.
Namun, kesepian itu tidak selalu datang dalam bentuk sunyi. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat Reni meraih masa depan, justru menjadi ladang penderitaan yang tak henti-henti. Di sana, Reni sering menerima perundungan dari teman-temannya. Salah satunya adalah Vilio, anak perempuan yang selalu haus kekuasaan, berkat pengaruh besar keluarganya. Hari itu, Vilio mengamuk setelah Reni menolak memberikan contekan saat ujian.
“Kau pikir siapa dirimu, Reni?” bentak Vilio di lorong sepi sekolah, dikelilingi teman-temannya. “Orang sepertimu harusnya tahu diri!”
Reni menggigit bibir, menahan amarah dan rasa takut. “Aku... aku tidak bisa melakukannya. Itu tidak benar.”
Vilio mendengus, lalu mendorong Reni keras ke dalam sebuah gudang tua di belakang sekolah. “Nikmati kegelapan, ya, dasar yatim piatu!” ucapnya sambil menutup pintu gudang dengan kasar, suara tawa mengejek masih terdengar saat mereka pergi.
Reni berusaha menahan air matanya, mencoba meraba-raba dinding kayu gudang dalam gelap. “Tolong!” Ia mulai memukul pintu kayu itu, tapi tidak ada yang mendengar. Suasana semakin sunyi, mencekam. Reni terus mendorong dan menendang pintu, hingga tubuhnya goyah dan terjatuh. Kepalanya membentur ujung meja tua dengan keras, dan segalanya berubah menjadi gelap.
---
Pagi berikutnya, Reni tersadar oleh suara langkah kaki dan tawa riuh di luar gudang. Tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia meringsut ke arah pintu, memukul-mukul pintu kayu dengan sisa tenaga. “Tolong...” bisiknya, lemah.
Dion, salah satu teman sekelas yang sering mengawasi Reni dari jauh, mendengar suara itu. Ia berhenti, menajamkan pendengarannya. “Apa itu...?” Dengan cepat, ia berjalan ke gudang dan membuka pintunya. “Reni!” serunya, melihat gadis itu terbaring dengan wajah pucat.
Reni mengangkat kepalanya perlahan, melihat Dion dengan pandangan kabur. “Dion...”
“Ya Tuhan, kau baik-baik saja?” Dion meraih tubuh Reni, membantu memapahnya keluar dari gudang. “Kita harus membawamu ke rumah sakit.”
---
Kejadian itu dirahasiakan oleh pihak sekolah. Vilio dan keluarganya terlalu berkuasa untuk dilawan, dan kepala sekolah memilih menutup kasus tersebut. Reni dirawat seharian penuh, dan saat akhirnya diperbolehkan pulang, dia menyadari sesuatu yang aneh.
Di perjalanan pulang, Reni mulai melihat sosok-sosok yang tak seharusnya ada. Di sudut-sudut jalan, di dalam rumah-rumah yang gelap, bayangan-bayangan berkeliaran, melayang-layang. Tapi Reni berusaha mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa kepalanya masih pusing.
Keesokan harinya, saat kembali ke sekolah, Reni bertemu dengan seorang gadis yang tampak kebingungan di lorong. Gadis itu mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Reni, wajahnya pucat namun cantik, dengan rambut hitam panjang yang menjuntai hingga punggung.
“Hai,” sapa gadis itu. “Aku... aku Luna. Aku murid baru, dan aku tidak tahu di mana letak kantor kepala sekolah.”
“Oh, aku bisa mengantarmu,” kata Reni, mencoba tersenyum meski masih merasa lemas. Ia menunjukkan arah, dan Luna mengikutinya, tampak sangat tenang. Reni tidak menyadari keanehan pada gadis itu sampai pelajaran biologi dimulai.
Di laboratorium biologi, suasana menjadi mencekam. Reni merasakan hawa dingin, dan dari sudut matanya, ia melihat sosok menyeramkan. Sebuah bayangan hitam dengan wajah terdistorsi, melayang di antara meja-meja laboratorium. Tubuhnya kaku, dan rasa takut merayapi setiap jengkal kulitnya. Pandangannya kabur, dan Reni kembali pingsan.
---
Setelah itu, Reni mulai diikuti oleh makhluk-makhluk tak kasat mata lainnya. Mereka berbisik di telinganya, mengganggu pikirannya, dan membuat Reni sulit berkonsentrasi. Guru-gurunya mulai menegur, menganggap Reni malas dan kurang serius. Namun, di tengah teror itu, Luna selalu ada. Ia datang saat Reni butuh pertolongan, menghalau roh-roh jahat yang mencoba menyerang.
“Mereka tak akan melukaimu,” kata Luna, memegang tangan Reni dengan erat. “Aku ada di sini untuk melindungimu.”
Reni menatap Luna, masih gemetar. “Kenapa kau menolongku?”
Luna tersenyum, senyuman yang penuh rahasia. “Karena aku tahu rasanya sendirian.”
Hari-hari berlalu, dan Reni mulai terbiasa dengan kehadiran Luna. Namun, rumor mulai tersebar di sekolah bahwa Reni mulai gila. Teman-teman sekelasnya melihat Reni sering berbicara dan tertawa sendiri, seolah-olah ada seseorang di sampingnya.
Dion, yang sering memperhatikan Reni dari jauh, merasa iba. Ia ingin membantu, tapi tahu bahwa kehadirannya hanya akan memperburuk situasi, terutama karena Vilio selalu mengawasi mereka. Vilio, yang sudah lama merasa terganggu oleh perhatian Dion pada Reni, menjadi semakin benci.
“Dion,” kata Luna suatu malam, saat Reni sedang mengerjakan tugas. “Dia selalu memperhatikanmu. Kau tahu itu, kan?”
Reni menghela napas. “Ya, aku tahu. Dion satu-satunya yang peduli padaku di sekolah itu. Tapi dia juga alasan mengapa Vilio begitu membenciku.”
“Kenapa begitu?” Luna bertanya, penasaran.
“Dion dan Vilio... mereka akan bertunangan setelah lulus. Keluarga mereka sudah mengatur semuanya,” kata Reni pelan. “Vilio tidak suka melihat Dion membantuku, karena dia menganggap kehadiranku sebagai ancaman untuk rencana pertunangan mereka kelak.”
Luna terdiam, memandangi Reni yang terus menulis tugas tanpa henti. “Kau sangat kuat,” katanya. “Apa yang membuatmu bertahan?”
Reni berhenti menulis sejenak, menatap Luna. “Impian ibuku,” bisiknya. “Ibuku ingin aku menjadi arsitek. Aku ingin melanjutkan kuliah dengan beasiswa, supaya aku tidak perlu bergantung pada siapa pun.”
Mata Luna bersinar penuh haru. “Aku percaya padamu, Reni. Kau pasti bisa.”
---
Hari libur semester tiba, dan Reni pergi lebih pagi. Ia mengenakan baju sederhana, tetapi tetap terlihat rapi. Hatinya dipenuhi keraguan, tapi ia tahu harus melakukan ini. Ia berdiri di depan sebuah gedung tinggi, milik Rendra, seorang pengusaha besar yang tak lain adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya.
Reni menguatkan hati, lalu berjalan ke resepsionis. “Aku ingin bertemu Tuan Rendra,” katanya tegas.
“Maaf, Nona, Tuan Rendra sangat sibuk,” jawab resepsionis dengan sopan tapi terdenga tegas dalam setiap ucapannya. Setelah banyak usaha, Reni akhirnya menyerah, meninggalkan sebuah paperbag yang berisi barang-barang milik Luna dan secarik kertas undangan untuk bertemu di danau.
Saat Reni berjalan keluar, Dion yang kebetulan berada di kantor ayahnya melihat Reni. “Apa yang dia lakukan di sini?” gumam Dion, keningnya berkerut.
---
Hari yang dijanjikan tiba. Reni duduk di tepi danau, menunggu dengan perasaan bercampur aduk. Di sampingnya, Luna terlihat lemah, melawan arwah-arwah yang ingin mengganggu Reni. Tubuh Luna mulai memudar, tapi ia tetap berusaha bertahan.
“Rendra akan datang bukan?,” kata Luna dengan suara lemah. “Aku harus menyelesaikan ini.” ujarnya penuh tekad.
Rendra muncul, dengan aura dingin dan penuh kebencian. “Kau yang mengirimkan barang-barang itu?” tanyanya, menatap Reni dengan sorot mata penuh amarah. “Apa maumu?”
Reni berdiri, tubuhnya gemetar. “Aku... aku hanya ingin kau tahu...”
Rendra menghempaskan tangannya ke udara. “Cukup! Aku tidak mau mendengar kebohongan lagi. Luna mengkhianatiku, meninggalkanku untuk pria lain, dan kecelakaan itu...,” suaranya pecah, seolah menahan beban yang begitu berat. “Dia sudah tidak pantas untuk kembali lagi dalam hidupku.”
Reni mundur setapak, menatap pria itu dengan campuran ketakutan dan rasa sakit. "Tidak... Luna tidak pernah mengkhianatimu," katanya dengan suara gemetar. Namun, Rendra tak mau mendengarkan. Ia berbalik, hendak pergi, membawa amarah yang membara dalam dirinya.
Tiba-tiba, tubuh Reni bergetar hebat. Matanya melotot, dan wajahnya berubah pucat. Luna, dengan segala kekuatan yang tersisa, merasuki tubuh Reni. Langkah kaki Rendra terhenti saat mendengar Reni berteriak, "Rendra!"
Rendra menghentikan langkahnya, matanya terbelalak menyadari ekspresi yang begitu akrab. Itu bukan Reni lagi. Tatapan di mata Reni... tatapan itu adalah milik Luna.
“Rendra...” Reni yang dirasuki Luna berlari, memeluk Rendra dengan erat. Tubuhnya gemetar hebat, dan air mata mulai mengalir. “Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku tidak pernah mengkhianatimu,” suara Luna terdengar putus asa dan penuh kerinduan. “Semua itu bohong... Aku terjebak dalam rencana licik mereka. Aku terjebak...”
Rendra berdiri mematung, hatinya seperti dihantam ribuan batu. Ia merasa dada sesak. “Luna?” bisiknya, seolah tak percaya dengan sosok yang kini berada dalam dekapannya.
“Aku tidak pernah pergi dengan pria lain,” Luna melanjutkan, memeluk Rendra lebih erat. “Aku... aku hanya ingin menjelaskan semuanya, tapi aku tidak sempat. Kecelakaan itu... itu bukan kesalahanku. Aku... aku bahkan melihat sepasang suami-istri yang tewas di depanku. Mereka adalah orang tua Reni...”
Tubuh Rendra menegang. Ia perlahan-lahan berbalik, melepaskan pelukan Luna yang ada di tubuh Reni. Ia menatap wajah gadis itu, mencoba mencari kebenaran di balik matanya. “Jadi... kau... kau sudah meninggal?” bisiknya, hampir tidak terdengar.
Air mata mengalir di pipi Reni. “Ya, Rendra. Aku telah meninggalkan dunia ini... tapi aku terjebak di sini, dalam dunia yang dingin dan penuh penyesalan,” suara Luna terdengar lemah. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah menyakitimu, tidak pernah mengkhianatimu. Aku masih mencintaimu, bahkan hingga detik terakhir.”
Rendra terdiam, memandangi gadis yang tubuhnya kini lemas dan gemetar. Sesuatu di dalam dirinya runtuh, hancur berkeping-keping. Ia terjatuh ke tanah, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan. “Luna... aku... aku begitu bodoh...” isaknya. “Aku percaya kebohongan itu... aku...”
Saat itu, tubuh Reni mulai melemah. Luna perlahan melepaskan kendali, merasa energi terakhirnya hampir habis. Dengan senyum lemah, ia menatap wajah pria yang dulu dicintainya. “Rendra... aku harus pergi,” bisik Luna, suara yang lirih dan rapuh. “Selamat tinggal.”
Tubuh Reni akhirnya jatuh dalam pelukan Rendra. “luna?” panggil Rendra dengan panik, menyadari tubuh gadis itu mulai lunglai. Ia memeluk Reni dengan penuh penyesalan dan kehilangan. “Tolong... bertahanlah sebentar untukku.”
---
Dion, yang sejak awal melihat kejadian itu dari balik pohon besar, merasa hatinya terbakar oleh kebencian. Ia melihat ayahnya, Rendra, menangisi Reni dengan ekspresi yang tak pernah Dion lihat sebelumnya. Tatapan penuh cinta dan kehilangan, seolah-olah Reni adalah orang paling penting di dunia ini.
“Jadi... ini alasan Ayah selalu mengabaikan Ibu?” gumam Dion, matanya menyipit. Ia menggenggam erat tangannya, mencoba menahan amarah yang berkobar. “Reni... kau yang menyebabkan Ayah tidak pernah peduli pada kami. Kau yang membuat Ayah mengabaikan Ibu...”
Perasaan Dion berubah. Cinta yang dulu ia simpan untuk Reni kini meledak menjadi kebencian. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh ayahnya, tetapi juga oleh gadis yang diam-diam ia kagumi.
Dion berbalik, meninggalkan tempat itu dengan hati yang penuh amarah. Ia tidak tahu bahwa Vella, ibunya, adalah dalang di balik semua tragedi ini. Bahwa Vella lah yang merebut Rendra dari Luna dengan segala tipu daya, bahkan hingga berujung pada kecelakaan yang merenggut nyawa Luna dan kedua orang tua Reni.
---
Sementara itu, Reni mulai siuman di rumah sakit. Ia merasa lemah, tapi matanya perlahan terbuka. Di sampingnya, Dion duduk dengan ekspresi dingin. “Kau sudah sadar?” tanyanya, suaranya terdengar tak biasa.
Reni mencoba tersenyum, meski merasa aneh dengan tatapan Dion. “Dion... apa yang terjadi?”
Dion menatap Reni dengan penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Kau seharusnya tidak membawa dia kembali ke dalam hidup kami, Reni. Kau tidak tahu betapa rumitnya semuanya sekarang setelah kau melakukan semua itu.”
Reni merasa jantungnya berdegup kencang. “Dion... apa maksudmu?”
Dion berdiri, menatap Reni dengan sorot mata yang berbeda. “Ayahku... dia tidak pernah melupakan Luna. Dan sekarang, aku tidak akan membiarkan kau menghancurkan keluargaku. Aku tidak akan membiarkan ibuku menderita lebih dari ini.”
Reni terdiam, tak mengerti mengapa Dion berubah begitu dingin secara tiba-tiba. Ia tidak tahu bahwa di dalam hati Dion, cinta lama yang tak terucap kini telah berubah menjadi kebencian yang dalam. Dan dalam bayang-bayang dendam itu, Reni tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Reni menatap langit sore dari jendela kamarnya. Sejak kejadian di danau, hidupnya tak pernah benar-benar sama lagi. Luna menghilang, dan teman-teman sekolahnya semakin menjauhkan diri darinya, seolah-olah Reni adalah hantu yang berkeliaran di antara mereka. Vilio dan gengnya masih terus menyebarkan rumor bahwa Reni gila, berbicara dengan makhluk tak kasat mata. Namun, di balik semua itu, Reni mulai menemukan sebuah panggilan yang lebih besar dari sekadar bertahan di tengah perundungan. Panggilan untuk membantu mereka yang sudah tidak bisa menemukan kedamaian terakhir.
Malam itu, di rumahnya yang sepi, Reni menerima kunjungan arwah pertama yang akan mengubah pandangannya tentang hidup dan kematian. Arwah itu adalah Bu Wati, seorang nenek tua dengan wajah penuh keprihatinan. Ia melayang di samping Reni, mengenakan kain batik tua dengan pandangan yang penuh kesedihan.
“Reni, kau bisa mendengarku, bukan?” tanya Bu Wati dengan suara yang lembut.
Reni mengangguk, meski rasa lelah menggelayut di matanya. “Ya, saya bisa. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu?”
Bu Wati menghela napas panjang, bayangannya tampak sedikit memudar di bawah cahaya lampu kamar Reni. “Cucuku, Hanum, dipenuhi dendam pada ibunya. Setelah anakku meninggalkan keluarga kami, Hanum tak pernah lagi merasakan cinta. Ia menyimpan amarah, dan saya khawatir ia akan tersesat selamanya.”
Reni mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun dirinya sering merasa terasingkan, rasa empati yang ia miliki selalu membuatnya ingin membantu. “Apa yang bisa saya lakukan untuk Hanum?” tanyanya.
Bu Wati tersenyum samar. “Temui dia. Bicarakan apa yang ada di hatinya, dan sampaikan bahwa saya ingin dia melepaskan kebencian itu. Tidak ada hidup yang layak dihabiskan dengan kebencian.”
---
Keesokan harinya, Reni berdiri di depan rumah Hanum, jantungnya berdebar-debar. Hanum, seorang pemuda dengan wajah yang tampak keras oleh kebencian, membuka pintu dengan tatapan curiga.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Hanum dengan nada tajam.
Reni menelan ludah, lalu berkata dengan hati-hati, “Saya datang atas permintaan nenekmu, Bu Wati. Beliau ingin kau tahu bahwa hidup tidak seharusnya dipenuhi dendam.”
Hanum terdiam, mata kelamnya berkilat dengan amarah. “Jangan bicara tentang nenekku! Ibuku menghancurkan keluarga kami, meninggalkan kami dalam kesulitan. Kau tidak tahu apa-apa!”
Reni merasakan aura dingin yang memancar dari Hanum. Ia tahu bahwa rasa sakit Hanum sangat dalam, dan tidak mudah untuk disembuhkan. “Nenekmu hanya ingin kau hidup dengan tenang, Hanum. Memaafkan tidak berarti melupakan, tapi melepaskan beban yang selama ini kau bawa,” ujar Reni dengan lembut.
Hanum menggigit bibirnya, tangannya mengepal, tetapi air mata mulai mengalir di pipinya. “Nenek... dia masih peduli padaku?” bisiknya, suaranya penuh rasa tak percaya.
Reni mengangguk. “Beliau mencintaimu, Hanum. Dan dia ingin kau menemukan kebahagiaan yang dulu pernah kau miliki.”
Setelah momen penuh emosi itu, Reni tahu bahwa ia berhasil. Hanum mulai perlahan-lahan melepaskan dendamnya, dan Reni merasakan beban di hatinya sendiri sedikit terangkat. Setiap kali ia membantu orang lain, ada perasaan hangat yang membuat kesepian tidak lagi terasa menakutkan.
---
Beberapa hari kemudian, Reni menerima kunjungan arwah lain. Kali ini, seorang pria yang tampak gagah, mengenakan jas rapi, dengan wajah yang dipenuhi rasa bersalah. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Pak Sugeng.
“Aku perlu bantuanmu, Reni,” katanya, suaranya rendah dan penuh penyesalan. “Putriku, Rina, mengira aku bunuh diri. Tapi itu bukan keinginanku. Aku melompat dari lantai 23 untuk menyampaikan sebuah pesan.”
Reni mendengarkan, rasa penasaran menggantung di pikirannya. “Pesan apa yang ingin kau sampaikan?”
Pak Sugeng menatap Reni dengan sorot mata penuh penyesalan. “Pesan bahwa istriku, ibunya Rina, merencanakan sesuatu yang kelam. Dia ingin menguasai semua kekayaan keluarga, bahkan jika itu berarti menghancurkan kebahagiaan anakku. Aku mencoba menghentikan kejahatannya, tapi aku kalah.”
Reni tahu bahwa ini adalah kasus yang berat, tetapi ia tidak akan mundur. Ia mengunjungi Rina di rumahnya, mencoba memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rina mendengarkan dengan penuh emosi, akhirnya memahami bahwa ayahnya tidak pernah meninggalkannya dengan sengaja. Ia menangis, tapi rasa lega mulai membasuh luka yang telah lama terpendam.
“Terima kasih, Reni,” bisik Rina, memegang tangan Reni dengan erat. “Ayahku mencintai kami sampai akhir.”
Reni merasakan kehangatan lain di dadanya. Satu per satu, arwah yang tersesat mulai menemukan kedamaian, dan ia mulai merasa bahwa hidupnya memiliki tujuan yang lebih besar.
---
Namun, kasus yang paling mengguncang Reni adalah kasus Nilum, seorang gadis pekerja paruh waktu di supermarket. Arwah Nilum muncul dengan wajah yang penuh ketakutan dan luka di lehernya.
“Mereka menyebutku pencuri,” kata Nilum, matanya penuh dengan rasa sakit. “Tapi aku bukan pencuri. Aku dibunuh oleh pemilik supermarket karena dia ingin menyembunyikan penggelapan dana yang dia lakukan. Mereka menciptakan cerita bahwa aku berutang pada debt collector dan bahwa aku mencuri untuk melunasinya.”
Reni merasa marah mendengar ketidakadilan itu. “Aku akan membantumu, Nilum. Aku akan menemukan kebenaran.”
Dengan bantuan arwah Nilum, Reni menyusuri setiap sudut supermarket. Akhirnya, ia menemukan bukti. Bukti berupa sebuah pisau yang masih berlumuran darah, tersembunyi di belakang rak yang jarang dijamah orang. Reni melaporkan temuan itu ke polisi, dan setelah penyelidikan, kebenaran terungkap. Pemilik supermarket, yang menyembunyikan kesalahannya dengan mengorbankan Nilum, akhirnya ditangkap.
Sebelum menghilang ke alam baka, Nilum menatap Reni dengan mata penuh terima kasih. “Terima kasih telah mengembalikan keadilan untukku,” ujarnya, sebelum lenyap menjadi bayangan samar yang terbawa angin malam.
---
Setiap kali Reni berhasil membantu arwah yang tersesat, ia merasa semakin kuat. Hidupnya yang dulu terasa sepi dan penuh kesedihan kini dipenuhi oleh tujuan. Meskipun ia tetap terasing di sekolah, dengan Vilio dan teman-temannya terus merundung, Reni tidak lagi merasa hampa. Ia memiliki kekuatan yang lebih besar dari rasa takut dan kesepian.
Namun, hari kelulusan akhirnya tiba, dan Reni memilih untuk tidak hadir. Di sekolah, Dion merasa gelisah, pandangannya mencari-cari sosok Reni, tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan.
“Kenapa aku merasa seperti ini?” bisik Dion, menyadari bahwa di balik kebenciannya dulu, ada perasaan yang lebih dalam yang selama ini ia abaikan. Rasa bersalah dan cinta bercampur menjadi satu, menggerogoti hatinya.
Dion tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu, sebelum rasa penyesalan menelannya seumur hidup.
---
Sore itu, Reni berada di perpustakaan kota, duduk di salah satu sudut yang tenang dengan beberapa buku terbuka di hadapannya. Ia mencoba mempelajari arsitektur (impian ibunya) tapi pikirannya terus saja melayang, teringat semua kejadian yang pernah dialaminya. Tiba-tiba, keheningan di ruangan itu terasa berubah, seperti ada hawa dingin yang merayap di antara rak-rak buku. Reni mengangkat wajah, meneliti sekelilingnya.
Di dekat salah satu rak, ia melihat seorang siswi bernama Maya. Maya tampak gugup, sesekali menoleh ke belakang seakan merasa ada yang mengikutinya. Reni bisa melihat dengan jelas bayangan arwah perempuan paruh baya yang terus melayang di belakang Maya, dengan tatapan penuh kesedihan bercampur kebencian. Arwah itu mengenakan pakaian usang, rambutnya berantakan, dan wajahnya memancarkan kegelapan yang dalam.
Reni menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Baiklah, Reni. Kau harus melakukan sesuatu,” bisiknya pada diri sendiri. Ia mendekati arwah itu dengan hati-hati, berharap bisa memulai percakapan tanpa memicu amarah.
“Halo,” sapa Reni dengan lembut. “Bisakah kita bicara sebentar?”
Arwah itu menoleh, matanya yang kosong menatap langsung ke dalam mata Reni. “Apa yang kau inginkan, anak manusia?” tanya arwah itu, suaranya bergetar dengan amarah yang terpendam.
Reni menelan ludah, mencoba mengatasi rasa takutnya. “Aku ingin membantu. Aku tahu kau merasa sakit, dan aku ingin tahu apa yang membuatmu tetap di sini.”
Arwah itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara. “Perempuan itu... dia menyebabkan kematianku,” katanya, menunjuk Maya yang kini sudah berjalan menjauh. “Aku tidak akan melepaskannya sampai aku mendapatkan keadilan.”
Reni merasa ada simpul di dadanya. Kasus ini tampak lebih rumit daripada yang dia bayangkan. “Tolong, ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi,” desaknya, berharap arwah itu mau membuka diri.
---
Arwah itu mulai bercerita, suaranya penuh emosi. “Aku hanya ingin melindungi cucuku. Dia bilang perempuan itu, Maya, mempermainkan perasaannya, membuatnya hancur. Aku hanya ingin melindungi cucuku dari rasa sakit...”
Reni mendengarkan dengan saksama. Ia bisa merasakan kepedihan yang terpancar dari arwah tersebut, tetapi ada sesuatu yang tidak benar. Ia tahu bahwa ada dua sisi dari setiap cerita. Setelah perbincangan itu, Reni berjanji untuk mencari tahu lebih banyak, meski arwah itu menatapnya dengan penuh keraguan.
“Jangan coba-coba menghalangiku,” arwah itu memperingatkan. “Dendam ini harus dibalaskan.”
Reni mengangguk pelan, meski hatinya merasa tidak nyaman. Ia tahu bahwa dendam hanya akan menciptakan lebih banyak rasa sakit.
---
Beberapa hari kemudian, Reni mencari kesempatan untuk berbicara dengan Maya. Gadis itu awalnya enggan membuka diri, tetapi setelah melihat ketulusan di mata Reni, ia mulai bercerita.
“Sebenarnya, aku tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun,” kata Maya, suaranya gemetar. “Cucu perempuan itu... dia mulai menyebarkan rumor tentangku setelah aku menolak perasaannya. Dia mengejarku, menguntitku, membuatku merasa tertekan setiap hari. Suatu hari, neneknya datang padaku di dekat rel kereta api. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi dia berusaha mendorongku ke rel saat kereta mendekat. Aku beruntung bisa menghindar tepat waktu, tapi... dia...”
Maya terisak, mengingat kejadian mengerikan itu. “Dia yang malah terjatuh ke rel dan... aku tidak bisa menyelamatkannya.”
Reni terdiam, perasaan berat menggelayuti dadanya. Kini semua mulai masuk akal. Arwah nenek itu terjebak dalam rasa salah yang dia salah tafsir sebagai keinginan untuk balas dendam, sementara Maya menjadi korban dari rasa sakit yang diwariskan oleh cucunya.
---
Malam itu, Reni kembali ke stasiun kereta, tempat yang diceritakan maya sebelumnya, berharap bisa berbicara lagi dengan arwah tersebut. Ia menemukannya di tempat yang sama, kali ini tampak lebih gelisah.
“Aku tahu kebenarannya,” kata Reni dengan suara mantap. “Kau ingin melindungi cucumu, tapi tindakanmu salah. Kau berusaha melukai Maya, dan itulah yang membuatmu terjebak di sini.”
Arwah itu tampak terkejut, lalu berubah marah. “Itu bohong! Aku hanya ingin melindungi...”
“Tidak,” potong Reni, suaranya penuh ketegasan. “Dendammu tidak akan membuat apa pun lebih baik. Kau harus menerima kebenaran dan melepaskan rasa sakit itu.”
Untuk pertama kalinya, arwah itu tampak ragu. Perlahan, bayangan kegelapan di wajahnya mulai memudar, digantikan oleh air mata penyesalan. “Aku... aku tidak tahu... aku hanya ingin cucuku bahagia.”
Reni mendekat, meletakkan tangan di dada arwah itu, meskipun hanya bisa merasakan hawa dingin. “Kau harus pergi. Biarkan cucumu menemukan jalannya sendiri. Kebencian hanya akan menghancurkan lebih banyak orang.”
Arwah itu menangis, sebelum akhirnya memudar dan menghilang, meninggalkan keheningan yang damai. Reni merasa lega, meskipun kelelahan mulai merayap ke tubuhnya.
---
Namun, setelah kasus itu selesai, Reni menyadari satu hal bahwa hidupnya di kota ini penuh dengan rasa sakit yang terus-menerus menghantuinya. Rendra masih sering datang, berharap bisa membangun kembali hubungan yang pernah rusak, tetapi kehadirannya hanya membuat luka lama semakin terbuka. Reni tahu bahwa Rendra ingin menebus dosa-dosanya, tetapi Reni tidak ingin bergantung pada siapa pun lagi. Ia ingin melangkah ke depan, meninggalkan masa lalu yang penuh dengan kenangan pahit.
Di dalam kamar sederhananya, Reni menatap surat penerimaan dari universitas yang terletak jauh di luar kota. Ia menghela napas panjang, merasakan kelegaan yang aneh mengalir dalam dirinya.
“Sudah saatnya aku pergi,” bisik Reni pada dirinya sendiri. “Aku harus memulai hidup baru, jauh dari semua ini.”
---
Pada pagi yang cerah, Reni mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Ia menatap rumah yang selama ini menjadi saksi bisu perjuangannya. Meski berat, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar. Ia ingin memulai lembaran baru, di tempat yang tidak mengingatkannya pada arwah-arwah penuh dendam, atau rasa sakit masa lalu.
Saat ia berjalan menuju stasiun, bayangan Luna muncul untuk terakhir kalinya. Luna hanya tersenyum, sebelum menghilang dalam sinar matahari pagi yang menyinari langkah baru Reni. Perjalanan Reni baru saja dimulai, dan ia tahu bahwa meskipun masa lalunya penuh dengan luka, masa depannya masih terbuka, menunggu untuk diukir.