Kesadaranku kembali saat seekor anjing menggonggong keras di hadapanku. Aku tersentak dan berlari menjauh. Anehnya, anjing itu sama sekali tidak mengejarku. Yah, untung saja... Tapi, aku merasa ada yang janggal di sini. Aku masih bertanya-tanya, mengapa aku terbaring di atas tumpukan sampah? Apa aku pingsan? Kapan? Aku mencoba mengingat berkali-kali, tetapi tidak ada satu pun ingatan yang dapat menjelaskan semuanya. Tidak ada ingatan lain di kepalaku selain apa yang terjadi kemarin—hari itu, ketika aku bangun di pagi hari, aku melihat kucingku, Molly, dalam keadaan sekarat di ruang tamu. Aku bergegas untuk memeriksanya tetapi sudah terlambat. Anak kucing itu sudah mati dan, kurasa penyebab kematiannya adalah seniorku. Beberapa minggu yang lalu, senior kantorku berkunjung dan meminta izin untuk tinggal di rumahku sampai renovasi rumahnya selesai. Karena selama ini aku hanya tinggal bersama Molly, aku pun tidak keberatan untuk menampungnya di rumah kami. Tetapi sepertinya seniorku itu tidak suka pada Molly. Aku tahu dari gerak-geriknya yang selalu menyalahkan Molly, mengusirnya dari kamar tamu, dan bahkan, mencoba menyingkirkannya dari rumahku. Jadi, aku berpikir bahwa, dialah yang sudah menaruh racun tikus di wadah makanan Molly. Selain ia, tidak ada seorang pun yang akan tega melakukan hal keji seperti ini kepada seekor kucing. Aku sangat terpukul atas kematian Molly. Tentu saja, aku kesal dan marah pada seniorku. Hari itu, saat jam makan siang, aku memanggil seniorku ke gudang dan bertanya baik-baik padanya, tapi justru seniorku malah marah-marah dan menuduhku yang memfitnahnya. Kami kemudian bertengkar,dan akhirnya ia memutuskan untuk pulang lebih awal dan mengambil barang-barangnya yang tertinggal di rumahku—Ingatan itu membuatku jengkel. Gara-gara senior itu, aku hampir tidak bisa pulang karena harus bekerja lembur sampai malam.
Setelah dipikir-pikir, sekarang aku baru sadar kalau pakaian kerjaku masih sama dengan yang kupakai kemarin. Sebenarnya kenapa? Jika benar aku pingsan di jalan dan tertidur di sana, kenapa tidak ada seorang pun yang membangunkanku atau membawaku ke rumah sakit? Bukankah ini aneh? Apalagi sekarang sudah hampir tengah malam, jika aku pingsan sejak kemarin, bukankah seharusnya aku terbangun di rumah sakit? Entahlah, aku pusing...
Dalam perjalanan menuju rumah, aku tak sengaja bertemu dengannya. Kucing tampan. Hidungnya mungil. Matanya besar, bulat, dan berwarna biru tua. Tubuhnya panjang dan berotot. Dadanya cukup lebar dengan leher yang pendek. Kaki-kakinya kokoh. Cakarnya besar, bulat, dan berumbai. Bulunya seputih salju. Lihat, ekornya yang panjang dan lebat bergoyang-goyang saat ia berjalan menyeberangi jembatan di perempatan jalan. Lucu sekali. Ia tampak begitu menawan, seperti Molly. Tiba-tiba, aku kembali teringat pada Molly. Kucing malang...
Aku benar-benar merindukannya.
“Meong.”
Hei, apa kau mendengar itu? Kucing tampan itu mengeong. Suaranya merdu, membuatku ingin mendekatinya.
Aku berjalan perlahan di belakangnya. Oh, ia menatapku! Kurasa ia tersenyum. Garis-garis bibirnya melebar seolah ia benar-benar tertawa. Ia memperlihatkan taring-taringnya yang tajam. Menggemaskan. Sayang sekali ia selalu mengabaikan kehadiranku. Sombongnya. Nah, lihat itu, sekarang ia melengos pergi menyeberangi jalan raya di depannya.
“Meong.”
Aku dibuat bingung. Setiap kali ia berhenti di sebuah gang, ia terus mengeong seperti itu. Apakah ia sedang memanggil teman-temannya? Aku tetap berjalan di belakang kucing itu. Dan, sekarang ini aku sudah tiba di sebuah lapangan tandus yang dikelilingi oleh pohon-pohon meranggas. Kucing yang kuikuti tadi kini sedang duduk bersama kucing-kucing raksasa lainnya. Jumlah mereka mungkin lebih dari tiga puluh. Mereka duduk membentuk lingkaran dan mengeong-ngeong, seakan-akan mereka sedang membicarakan sesuatu. Kemudian, kucing tampan yang kuikuti sejak tadi mulai berdiri dan berjalan di depan kucing-kucing lainnya. Sepertinya mereka menuju ke kompleks perumahan di ujung jalan. Tentu saja, aku tetap mengikuti mereka. Selain karena penasaran, tujuanku juga sama dengan kucing-kucing itu. Alamat rumahku tidak jauh dari sini.
“Meong.”
Seekor anak kucing berwarna cokelat datang menyambut kawanan kucing berjenis Ragdoll itu. Anak kucing itu mirip sekali dengan Molly. Namun, yang mengejutkanku adalah cairan merah yang menempel di bibirnya. Seperti cat, tidak, itu lebih kental dari cat. Aku tidak bisa memastikannya. Mungkin ia habis makan buah naga, kurasa.
Kulihat, kucing-kucing itu sudah berjalan masuk ke dalam rumah berbata merah yang dikelilingi pagar bambu dan tanaman herbal. Tanpa kusadari aku juga mulai melangkah ke pekarangan yang dipenuhi oleh daun-daun kering kecoklatan. Rupanya rasa penasaranku semakin bertambah setelah aku melihat kucing-kucing di dalam itu sibuk menyeret wadah makanan dan menutup pintu rumah ini. Gerak-gerik mereka tampak mencurigakan. Aku segera memberanikan diri dan mengintip mereka lewat lubang pintu, tetapi ini terlalu sulit. Kemudian, aku berjalan ke tepi rumah itu dan mendekatkan wajahku tepat di jendela. Tanganku ditekan ke permukaan kaca sehingga aku bisa mengintip dengan bebas. Astaga! Aku hampir berteriak keras. Apa yang kulihat di sana? Apakah itu tumpukan daging?
Bibir kucing-kucing itu dipenuhi cairan berwarna merah pekat. Beberapa kucing lainnya sibuk mengunyah sesuatu yang tampak seperti kulit roti yang diolesi selai stroberi. Mereka terlihat seperti sedang berpesta. Ricuh sekali. Tapi apa yang sedang mereka makan itu? Mengapa mereka semua berkumpul dan saling menindih? Aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling ruangan di dalam. Kulihat banyak sekali darah yang mengalir dan beberapa di antaranya telah mengering di karpet, lantai, dan tirai jendela. Seluruh ruangan di rumah itu berlumuran darah dan tampak seperti kapal pecah. Barang-barang terpecah belah, kertas-kertas, dokumen, dan pakaian juga berserakan di lantai, seolah rumah ini habis kemasukan maling, dan, yang membuatku merinding adalah penampakan kaki berbalut highells merah itu. Kini aku melihatnya dengan jelas. Kucing-kucing itu sedang mengerumuni jasad seorang wanita. Aku melihatnya tepat setelah beberapa kucing turun dan memakan potongan-potongan panjang dan kecil dengan ujung berwarna merah. Aku dapat memastikan bahwa itu adalah jari-jarinya. Wanita yang tergeletak di lantai itu tampaknya telah meninggal beberapa hari yang lalu, terlihat jelas dari permukaan kulitnya yang kini membiru dan darah dari kepalanya yang mulai mengering. Aku juga sempat melihat pisau tertancap di perutnya. Sepertinya ia telah dibunuh. Aku menggigit bibirku. Pemandangan itu jelas mengerikan. Aku tak sanggup lagi melihatnya. Harus segera dilaporkan! Tidak, ponselku tidak ada di saku. Aku melihatnya lagi, kucing-kucing itu semakin ganas dan kini mulai menggerogoti bagian tubuh wanita itu. Mereka membolak-baliknya dan mencabik-cabik kulit wanita itu dengan kaki dan cakar mereka. Sesaat aku hanya terpaku di tempat. Seekor kucing berbulu putih yang tadi duduk di wajah wanita itu melompat ke arahku. Melihat itu, semua kucing yang sedang berpesta segera menatap ke arahku. Aku terkejut. Kucing-kucing berukuran besar yang jumlahnya lebih dari lima puluh itu berhenti mengunyah dan turun dari tubuh wanita itu. Saat itulah aku menyadari bahwa, tubuh wanita yang mereka makan itu adalah...
Aku.