Di sebuah sekolah yang terletak di pinggiran kota, hari itu tampak seperti hari biasa. Para siswa sibuk dengan aktivitas mereka, dan hanya sedikit yang menyadari bahwa sesuatu yang aneh akan segera terjadi. Di antara keramaian itu, ada seorang siswi bernama Cimiya Asyila, atau biasa dipanggil Cimi. Cimi adalah siswi yang tampaknya biasa saja, dengan rambut panjang terurai dan kacamata tebal yang kadang membuatnya terlihat serius. Tapi, di balik penampilannya yang cuek, Cimi menyimpan rasa ingin tahu yang tinggi dan, yang lebih penting, dia punya semangat yang kuat untuk menghadapi apapun, bahkan dunia yang penuh dengan zombie—atau lebih tepatnya, zomblo.
Hari itu, seperti biasa, Cimi baru saja keluar dari kelas setelah pelajaran Kimia yang membosankan. Saat menuju kantin, dia melihat sesuatu yang aneh. Beberapa siswa tampak bergerak sangat lambat, dengan mata kosong dan tubuh kaku. “Zomblo?” gumamnya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Biasanya, kata “zomblo” digunakan oleh Cimi untuk menyebut seseorang yang kelihatannya seperti zombie karena kebiasaan mereka yang malas dan cuek. Tapi kali ini, ada yang berbeda.
Salah satu siswa yang sedang berjalan ke arahnya, Dimas, tiba-tiba terjatuh di depannya. Cimi menunduk, melihat wajahnya yang pucat dan ekspresi kosong. “Eh, Dim? Kamu kenapa?” tanya Cimi, sedikit khawatir. Dimas, yang biasanya sangat populer di sekolah, kini hanya mengeluarkan suara serak tanpa makna.
“Aa... aa.. naaa...,” Dimas mencoba berbicara, namun suara yang keluar malah terdengar seperti desahan zombie yang sedang lapar. Cimi hampir tidak percaya. Di tengah kebingungannya, Cimi melihat beberapa siswa lain dengan kondisi yang sama—bergerak lambat dan tampak bingung, seperti zombie yang kehilangan kendali atas tubuhnya.
"Zomblo... tapi kok parah banget?" Cimi bergumam, berusaha menganalisis situasi.
Saat itu, Zaki, teman sekelas Cimi yang agak kocak dan sering menjadi bahan olok-olok, datang mendekat. "Cimi, ada apa ini? Kenapa mereka kayak orang kebingungan gitu? Kamu lihat juga kan?" Zaki bertanya, tatapannya penuh kebingungan.
"Ini... kayaknya sih mereka lagi terkena virus Zomblo deh," jawab Cimi, mengernyitkan dahi. “Gara-gara nonton film zombie kemarin, bisa-bisa mereka ketularan secara gak sengaja.”
Zaki tertawa. "Cimi, kamu serius? Kamu pikir ini film horror? Kalau gitu, kamu bisa jadi pemeran utama ya—Cimi, sang penyelamat dunia dari Zomblo!" Zaki menirukan gaya dramatis seolah-olah dia sedang berbicara di depan kamera.
Namun, tawa Zaki terhenti ketika dia melihat lebih dekat, dan ternyata, dia juga mulai merasa efek aneh. Tubuhnya mulai kaku, dan dia mulai bergerak dengan gerakan yang terkoordinasi dengan sangat buruk. Matanya terbelalak kosong. "Cimi... gue... jadi... Zomblo juga, ya?" Zaki berusaha tertawa, tapi suaranya hanya keluar sebagai desahan pelan.
Cimi menahan tawa. Sungguh, keadaan ini absurd. “Zaki, kamu... emang sih, kamu itu zomblo banget, tapi kali ini beneran zomblo, loh,” Cimi terkekeh melihat Zaki yang mulai kesulitan berdiri tegak.
Cimi pun teringat pada Edo, cowok yang dia suka sejak lama. Edo adalah salah satu yang pertama kali menunjukkan gejala zomblo. Cimi harus segera mencari cara untuk menyelamatkan Edo. Jika dia tidak bisa menyelamatkannya, mungkin seluruh sekolah akan berubah jadi zomblo permanen!
Dengan penuh tekad, Cimi berlari ke kelas Edo. Ternyata, Edo sedang berdiri di pojok kelas, menatap kosong ke depan. Mata Cimi berkaca-kaca saat melihat Edo yang dulunya ceria, kini terlihat seperti zombie. “Edo... kamu kenapa, sih? Kamu gak mungkin ikut-ikutan kan?” Cimi meraih tangan Edo, menggoyangkannya dengan pelan.
Edo hanya menatapnya tanpa ekspresi. Namun, tiba-tiba dia mengerjapkan mata dan mengeluarkan suara pelan, “Cimi... kamu... cantik banget.”
Cimi terkejut. “Hah? Edo! Kamu sadar?”
“Zomblo... zomblo... tapi... kamu, cantik...” Edo berkata dengan suara pelan, masih terombang-ambing antara sadar dan zombie.
Cimi bingung. “Jadi, kamu cuma... mengidap zombie zomblo yang bikin kamu gak peka... tapi tetap bisa ngomong soal cinta? Ini aneh banget, Edo.”
Zaki yang mengikuti Cimi dari belakang, akhirnya mendekat. “Cimi, kayaknya ini bukan virus biasa deh. Gue denger dari guru, ini virus dari film horror yang gak sengaja nyebar lewat streaming online,” kata Zaki dengan serius.
Cimi melihat Edo yang masih terlihat seperti zomblo, tapi hatinya berbunga. "Edo, kamu emang zomblo, tapi kamu tetap... penting buat aku." Cimi mengusap kepala Edo dengan lembut, merasa aneh sekaligus lucu.
Tiba-tiba, seluruh kelas Edo mulai bergerak menuju mereka dengan gerakan lambat. Cimi tahu kalau dia harus bertindak cepat. "Zaki, kita harus cari cara biar mereka gak jadi zomblo terus. Ini... kita harus benerin jaringan streaming film itu, atau kalau gak, kita semua bakal jadi zomblo!"
Zaki setuju, dan mereka pun memulai petualangan konyol untuk menyelamatkan sekolah dari wabah zomblo. Dengan sedikit taktik konyol dan kebodohan yang kadang lucu, mereka berusaha mengatasi masalah yang tidak masuk akal ini.
Akhirnya, setelah melalui berbagai kejadian aneh dan humoris, Cimi dan Zaki berhasil mengakses server film itu dan menghentikan penyebaran virus zomblo. Namun, Cimi menyadari satu hal penting: meskipun Edo sempat menjadi *zomblo*, hatinya tetap memilih untuk bersama Cimi. Entah itu karena virus atau karena perasaan yang memang sudah tumbuh sejak lama.
Cimi tersenyum kecil, meski sedikit bingung, dan berkata, “Edo, kamu memang zomblo, tapi kalau kamu jadi zomblo di hatiku, itu gak masalah.”
Cimi dan Edo saling tersenyum, sementara Zaki hanya menggelengkan kepala, merinding melihat betapa konyolnya situasi itu.
Dan begitulah, sekolah itu kembali normal—atau setidaknya, sebagian besar siswa tidak lagi menjadi zomblo. Tapi bagi Cimi, hari itu akan selalu menjadi kenangan unik—di mana cinta dan zombie bertemu dalam bentuk yang paling aneh dan lucu.
Tamat.