Ternyata kita sama-sama ga suka bawang ya ris, hehehe.”
Segelintir kalimat yang membuat aku yakin selera kami selalu sama, sampai pada akhirnya aku sangat menyadari bahwa segala sesuatu tentang kesamaan tidak sama sekali menjamin tentang keutuhan.
*******
Sore ini aku ada janji sama teman, kita mau pergi ke kedai kopi termurah dan terenak, letaknya persis di depan kampus.
Memang hampir setiap hari aku selalu merias soreku dengan diskusi ringan mengenai matkul yang tadi siang dipelajari, atau paling tidak aku membahas buku yang semalam aku baca.
Sore ini diskusiku ditemani oleh Ilhak dan Arip, mereka teman SMPku. Sudah hampir satu minggu aku diskusi di tempat yang sama walaupun dengan orang yang berbeda.
Mengenai dua teman diskusiku hari ini aku punya segenggam kenangan.
Jadi, memang setelah lulus SMP kita saling menutup kabar, lantaran mengambil jalan masing-masing.
Ilhak meneruskan SMAnya di SMA swasta, berbeda dengan Arip, Arip menjadi orang yang paling beruntung di antara kita bertiga, dia diterima di SMA Negeri paling favorit di kota ini, bagaimana tidak beruntung, jangankan bersaing lewat adu kecerdasan, bahkan jika rumah kita lebih jauh 1 meter saja sudah dihitung kalah, huftt, kelemahan penerimaan peserta didik dengan sistem zonasi.
Arip memang orang yang cerdas, di SMP dia selalu juara kelas. Pernah satu ketika, ketika kami kelas 8 Arip tidak mendapatkan juara itu, dia hanya dapat di posisi ke-2, sungguh lucu memang si Arip, kalau menurut orang biasa meraih juara 2 di kelas sudah menjadi pencapaian yang luar biasa, namun berbeda dengan anak ambis itu, dia merasa itu adalah hari paling sial yang ia pernah rasakan. Entah apa sebabnya, seseorang bisa menggeser posisi si anak ambis itu tapi yang pasti total skor nilai Arip dengan si juara baru itu sangat berbeda jauh, sungguh fenomena yang luar biasa.
Dengan sifat yang ambisiusnya Arip tanpa ragu menyusuri setiap sudut sekolah ketika jam istirahat, aku tahu dia mencari siapa, prasangkaku dia mencari si juara kelas baru, karena dari jam pertama tadi tidak sama sekali memunculkan batang hidungnya. Jelas aku dan ilhak mengikuti dari belakang, karena kita berdua sudah membaca apa yang akan dilakukan manusia ambis dan gegabah itu, sampai pada akhirnya dia berhenti di pojok sekolah, persis di depan toilet, ternyata apa yang dicarinya sudah ditemukan, persis dua meter di depan Arip, kalau dari kami berdua persis empat meter, Aku dan Ilhak sudah mengambil aba-aba sewaktu-waktu si anak ambis itu berbuat yang aneh-aneh.
Dan benar untuk kesekian kalinya, Arip mulai mengepalkan jarinya kurang dari 30 detik dia lari ke arah si juara baru itu, tanpa basa-basi aku coba melerai, begitupun Ilhak, bahkan si juara baru yang tadinya tidak memahami keadaan pun tak terbendung emosi, walaupun tidak tahu apa alasan dan tujuannya setidaknya dia memastikan bahwa di detik itu dia selamat dari ancaman manusia pintar tapi bodoh itu.
Perkelahian itu diakhiri dengan pelipis sebelah kiri Arip yang berdarah, darahnya tidak tanggung-tanggung mengucur deras sekali, derasnya seperti amarah Arip yang tak terbendung tadi, alhasil sekarang dia dibawa ke UKS, ramai sekali keadaanya, ramai itu semakin ditimpah dengan ancaman guru BK “Setelah ini selesai, Arip, Ilhak, Haris dan kamu wira, ikut ke ruangan saya.”
Lalu Ilhak menangggapi Guru BK itu “Tapi kan Arip masih sakit pak.” Guru BK itu sama sekali tidak menanggapi.
Hari itu kita bertiga pulang lebih cepat, termasuk Wira si juara baru itu dia juga di pulangkan lebih cepat.
“Maksud lo apa Rip tiba-tiba mukul gue?” ungkap Wira dari rasa penasaranya plus rasa keselnya, dan aku sangat amat mewarjarkannya, memang Arip orang yang pinter tapi kebelinger.
Arip dengan wajah yang lusuh diam seribu bahasa, berbeda dengan Wira yang terus mengoceh mulai dari depan gerbang sampai di halte, sampai kita naik angkutan umum masih berkicau “Gara-gara lo nih kita jadi kena skors seminggu, ga jelas lo.” kata terakhir yang diucap Wira setelah kami semua diam, hening tanpa kata apapun sampai pulang kerumah masing-masing.
Hari sial yang harusnya cuma dirasakan Arip saja, akhirnya kami pun kena getahnya, Arip yang merasa tersaingi, kita yang susah dan melarat kaya gini, memang benar ya beberapa orang pintar dan cerdas cenderung egois, hufft. Eh tapi bener kan? Atau salah? Ga tau dehh.
********
AKTIF
Aku selalu memaksa diriku untuk menyambut pagi se-dini mungkin, aku bangun sebelum azan subuh berkumandang, aku selalu menikmati lantunan azan, meski aku tak pernah mengerti artinya apa tapi menurutku itu adalah semacam syair penyambut untuk mengawali hariku. Pernah aku bertanya ke feri temen satu kosku yang beragama Islam, tentang apa arti dan makna azan, kata dia itu semacam panggilan bagi ummat muslim untuk melaksanakan ibadah solat, aku menyeletuk jawabannya, “ko lu ga merasa terpanggil fer?” , dia cuma menyisakan senyum malunya sambil menggaruk kepalanya. Feri tidak pernah ibadah tepat waktu soalnya.
Di semester tiga ini aku mulai aktif mengikuti kepanitian di kampus, selain menurutku pelajaran kuliah yang kurang nampol aku memang sejak SMA termasuk kategori orang yang aktif, jadi merasa ada yang kurang saja jika bangku perkuliahanku tidak dihiasi dengan kerumitan acara ini dan itu hehehe.
Sebenarnya di semester dua aku sudah resmi menjadi salah satu anggota aktif di organisasi eksternal kampus, bahkan untuk masuk beberapa kepanitianpun aku mendapat rekomendasi dari seniorku.
Bukan hanya aku yang mengikuti organisasi eksternal itu, Ilhak dan Arip juga menurutiku, dan sekarang mereka berdua berada di satu kepanitiaan bersamaku, kita cuma beda divisi, mereka berdua lebih memilih humas, berbeda dengan mereka aku lebih suka ke divisi acara, karena menurutku ini adalah fashionku banget. Entah kesialan atau keuntungan aku masih rumit mengartikannya, aku dipilih menjadi Kor. Div nya, ah shit.
Divisi-ku terdiri dari tujuh orang, empat dari tujuh orang yang aku pimpin justru satu tingkat di atasku, agak canggung memang awalnya karena salah-salah pengalaman mereka jauh di atasku. Tapi apa boleh buat karena beban itu sudah diletakan di atas pundakku mau tidak mau aku harus bertindak selayaknya pemimpin.
Pada dasarnya aku sudah sedikit memahami pola dan konsep yang akan dipakai, karena ini adalah acara tahunan yang sudah pasti digelar oleh BEM FISIP, dan kebetulan aku salah satu pesertanya di tahun lalu, mulai dari rangkaian kegiatan dan kekurangannya apa saja, aku sudah mencatat di naluri ke-organisasianku.
PDKM (Pelatihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa) Proker ini sengaja dibuat menjadi kultur di FISIP untuk melatih semua Mahasiswanya agar lebih terlatih tentang kedisiplinan dan kepekaan terhadap teman se-angkatan, acaranya tidak hanya digelar untuk Mahasiswa yang ingin jadi pemimpin, ini lebih menyadarkan bahwa setiap Mahasiswa pasti dibebani oleh tanggung jawab yang begitu berat, akan sangat kacau jika tidak dipondasikan dengan mental yang kukuh, dan pola pikir yang jernih.
****
“Udah dua tahun belakang ini, ada beberapa kultur buruk yang kita putus” jelas ketua Bem yang tiba-tiba memecah kesepian yang terjadi cukup lama di sekre.
Aku sedikit lega mendengar itu, setidaknya ada dua kesenangan yang aku dapat dalam satu kalimat itu.
Yang pertama, aku tidak merasakan kultur yang buruk itu ketika aku menjadi peserta PDKM tahun lalu.
Yang kedua, aku tidak menjadi pemeran dalam kultur buruk itu, atau setidaknya aku tidak menjadi orang yang berkomitmen akan membalas dendam kepada junior hanya karena aku telah merasakan keburukan itu lebih dulu.
“Pas zaman gue Maba, wah parah bangat pokoknya” ungkap ketua Bem yang bahkan membuat kita mangap karena penasaran.
Di sekre malam ini hanya ada 5 orang, ada Aku, Arip, Wisnu, Nara, dan Ketua BEM.
Memang kita tidak pernah merencanakan obrolan ini, tapi kebetulan hal itu didorong karena masih ada tugas di Divisi masing-masing.
Sekarang sudah jam 21.32, sedangkan rapat kami telah selesai dari tiga puluh menit yang lalu, kami memulai rapat setelah teman-teman muslim salat magrib, walaupun ini rapat perdana menurutku semua panitia sudah cukup mumpuni memahami job desk nya masing-masing, terlebih dari divisiku sebagian besar mereka adalah orang yang berpengalaman di bidang ini.
“Waktu itu ada senior yang galaknya minta ampun, namanya bang Juhri dia angkatan empat belas. Lu tau gue pernah diapain sama dia? Gilee, muka gue ditendang sama dia gegara dresscode gue engga sesuai sama ketentuan.”
Jujur saat itu aku kaget mendengar cerita ketua Bem dan benar-benar sangat bersyukur karena sekarang sistem seperti itu sudah berusaha dihapuskan.
Obrolan kita diakhiri dengan Bendahara umum Bem sekaligus pacarnya ketua Bem, dia menelpon ketua Bem dengan nada yang tinggi, “gimana sih tadi janjinya jam 20.50, liat sekarang jam berapa?!!” Tanpa basa-basi ketua Bem bergegas menyambangi pacarnya, mungkin jika telatnya nambah 10 menit lagi dia akan lebih tau konsekuensinya hahaha.
Karena sadar ini sudah cukup malam dan ternyata tugas kuliah belum sama sekali ada yang kami sentuh, kamipun bergegas pulang ke kos masing-masing.
Terhitung sudah tiga bulan setelah memasuki semester tiga giatku sangat menumpuk, imbasnya bukan hanya tugasku saja yang menumpuk pakaian kotorku juga sangat berantakan di kos karena ga sempat cepat-cepat dievakuasi ke laundry hehehe. Dan itu satu-satunya yang menjadi alasan kenapa Feri selalu memasang muka cemberut yang dilengkapi dengan gerutu sebal setiap kali aku tiba di kos.
“Iya fer besok gue bersihin deh ini kos, sebersih-bersihnya, sampe WC nanti gue bersihin semua deh” ujarku untuk menenangkan feri yang cemberut.
*******
“Nar, tolong dong ini mic mati, tolong benerin ya!” Aku berusaha tenang di situasi seperti ini.
Mic mati ketika acara berlangsung, semuanya jadi chaos, peserta tidak kondusif dan berisik.
Walaupun ini bukan jobdesk Nara aku sedikit memaksa agar dia bisa menolongku, entah pergi ke Afrika atau Afghanistan aku tidak tahu, yang pasti semua divisi peralatan tidak bisa ada yang diandalkan, maka terpaksa aku meminta tolong ke Nara dan kebetulan dia paham tentang itu.
Walaupun seperti itu situasi dan kondisi aman terkendali, kita sudah masuk ke waktu Ishoma, semua peserta diarahkan oleh panitia untuk melaksanakan solat, kecuali yang non-muslim mereka boleh langsung istirahat dan makan.
“Ris, makan yuk?!” ajak Nara
“Bentar deh ini nanggung, gue nunggu mereka selesai solat dulu deh”
“Yaelah, yang lain dulu kali Ris, lu istirahat sebentar, lu juga belum makan kan dari pagi, lagi pula masih ada akan anggota lu” ajakannya dilengkapi dengan menarik tanganku.
Apa boleh buat, aku cuma bisa nurut. Akhirnya kita berdua menuju ke tukang ketoprak, awalnya kami bingung mau makan apa, karena banyak sekali tukang makanan di Bumi perkemahan ini, dan akhirnya aku memilih ketoprak dan Nara ngikut denganku.
“Gue makan ketoprak, lu apa?” Tanyaku.
“Samain aja deh” jawab Nara yang ga mau ribet.
Aku memang suka sekali dengan ketoprak, bahkan disetiap pekan aku harus dan mesti mengawali atau mengakhirinya dengan ketoprak.
Ketoprak yang tanpa bawang, ya aku selalu memesan ke abang ketoprak untuk tidak memakai bawang.
“Ketopraknya yang satu ga usah pake bawang ya bang!” Suaraku yang dibayangi oleh suara Nara.
“Hah” kita berdua kaget, tidak lama dari itu kita ketawa, cukup keras pula, ada-ada saja memang.
“Ternyata kita sama-sama ga suka bawang ya ris, hehehe.” ungkap Nara atas insiden barusan.
Sambil menganggukan kepala aku sibuk mengunyah, aku sangat fokus pada makananku sampai pada akhirnya Nara menitipkan senyum manisnya padaku, seketika aku berhenti dan sedikit membalas senyumnya dengan bibir yang ragu.
*****
Soal kedekatanku dengan Nara sebenarnya sudah berlangsung sejak rapat perdana, aku lupa menceritakan kejadian itu hehe.
Jadi setelah rapat itu selesai, kami sedikit banyaknya membuka obrolan dengan ketua Bem lebih tepatnya dia yang membuka obrolan. Kami asik mengobrol sampai lupa waktu dan akhirnya semua diakhiri dengan masuknya telpon dari Bendum sekaligus pacarnya ketua Bem.
Pada saat itu kami memutuskan untuk bergegas pulang juga, aku membereskan laptop dan lain lain, begitupun semua. Sampai tiba di parkiran tiba-tiba Nara mengahampiriku,
“Ris lu sendirikan?”
“Maksudnya?” timpalku dengan pertanyaan.
“Iya lu bawa motor sendirikan, ga ngebonceng siapa-siapa?”
“Ohh iya, kenapa emang?” aku selalu menjawab dengan pertanyaan.
“Boleh minta anter ga ke kos gue, gue tadi nebeng ke mira tapi dia pulang duluan, boleh engga anter gue?”
“Oh boleh” aku mengiyakan dia.
Aku mulai menyalakan vespa tuaku, sedikit aku miringkan selayaknya pengguna vespa pada umumnya sebelum menyalakan vespa, dan si besi tua mulai bersuara dengan ciri khas yang berisiknya.
“Ayo Nar”
“Iya ris bentar, ini gimana naiknya heheh”
“Yaelah engga pernah naik vespa ya?” Aku sedikit meledeknya.
“Hehhe iya, ini kali pertama gue naik vespa”
“Anjay” tukasku
“Eh sebenarnya udah waktu itu tapi lupa kapan ya” Nara berusaha mengelak.
“Ah yang bener?” Ledekku semakin memojokannya. “Yaudah, sini gue bantu”
“Makasih ris”
“Eh boleh engga ajak gue muter-muter dulu sebentar aja, gue pusing banget nih” pinta Nara padaku.
Ternyata mauku sama sepertinya, setelah ini memang aku berniat tidak langsung balik kos, aku ingin cari angin sebentar, karena jujur kepalaku hampir meledak memikirkan ini dan itu, setidaknya kepalaku terkena oksigen segar sebelum memikirkan banyak hal lagi.
Kebetulan Nara merasakan hal yang sama, dia pusing begitupun aku, jadi aku mengiyakan pintanya.
Aku menyusuri jalan yang padahal sudah mulai larut tapi masih saja ramai, selain itu Nara mulai membuka percakapan padaku.
Dia banyak curhat padaku di malam itu, tidak terlalu dalam sih, hanya banyak menceritakan tentang keluh kesah masalah kampus saja, sedikit-sedikit dia juga membahas tentang keinginannya menjadi anggota Bem di tahun depan.
Sedikitnya aku juga mulai terpancing dengan obrolan ini, aku sedikit mulai menceritakan tentang kelelahan di organisasi eksternal, tentang perkuliahan dan bahkan sampai pada akhirnya kami sama-sama merasa lapar.
Kita melipir ketukang Nasi goreng, kata Nara nasi goreng yang kita mampiri lumayan terkenal dan enak, dan yang pasti murah meriah.
“Ternyata dari kita banyak kesamaan ya Ris” ucap Nara dengan tiba-tiba.
“Eh iya gimana Nar?” Aku mendengar tapi berusaha meyakinkan bahwa apa yang kudengar tadi tidak salah.
“Iya kita tuh banyak kesamaannya” tegas Nara.
Pada dasarnya aku tidak gampang membuka obrolan tentang diriku sendiri, entah bagaimana caranya aku dengan gampangnya membuka cerita-ceritaku yang bahkan jarang kuceritakan pada Arip dan Ilhak.
Lebih dari itu, aku bahkan butuh waktu lima bulan untuk merasa dekat dengan Nayla pacarku sebelum aku pacaran degannya.
Entah kenapa,walaupun aku sudah kenal Nara Sebelumnya, kenal ku hanya sebatas kenal.
ini kali pertama aku mengobrol berdua dengan Nara, kali pertama duduk sedekat ini, kali pertama makan berdua, kali pertama berboncengan, tapi rasanya seperti sudah kenal dekat, kenapa seperti ini? Kenapa rasanya terlalu nyaman?
*********
KEINGINAN UNTUK BERKUASA
Setelah sekian banyak kepanitian yang aku lahap dan dilengkapi dengan kegiatan-kegiatan yang sering digelar oleh organisasi eksternalku, aku mulai menyadari bahwa sepertinya aku belum mencapai puncak keinginanku.
Nanti sore aku akan mengobrol dengan Arip dan Ilhak untuk berdiskusi tentang apapun cuma bedanya kali ini aku tidak singgah di kedai kopi melainkan di tepi danau, tujuanku agar pikiran dan otak sedikit lebih segar.
Banyak sekali yang kami diskusikan, termasuk membahas tentang keinginanku menjadi Ketua Bem. Aku mendapat respon positif dari mereka, mereka siap menemaniku berjuang. Jujur semangatku untuk meraih itu semakin meningkat. Jadi, fokusku sekarang cuma satu, aku masuk dahulu kepengurusan Bem sekarang untuk mengisi bangku kepengurusan, sembari menganalisis apa yang terjadi di dalamnya.
Dan aku juga akan mengukuhkan posisi di Bem bersama Arip dan Ilhak, aku memilih di departemen Kajian Dan Aksi Strategis (Kastrat), Arip memilih membebankan dirinya di departemen Advokasi Kesejahteraan Mahasiwa (Adkesma), jika kami berdua mimilih pada satu naungan bidang yang sama yaitu Sosial Politik, Ilhak memilih beda sendiri, dia lebih memilih menjadi sekretaris II, dia ingin fokus mempelajari dan mempertajam kemampuan kesekretarisannya.
Di tengah-tengah kefokusan kami berdiskusi tiba-tiba Arip melontarkan kalimat yang cukup membuatku kaget.
“Eh, kenapa engga ajak Nara aja naik ke Bem, denger-denger dia mau naik jadi pengurus Bem, iya engga Ris?”
“Loh ko nanya gue” jawabku cukup lugas.
“Ini mah denger-denger doang ye ris, katanya lu mulai deket juga ya? Saran gue sih jangan coba-coba main api deh Ris.” Segelintir kalimat fakta tapi membuat hatiku sedikit sempit.
“Main api gimana maksud lu?” Tanyaku berusaha memahami maksud Arip.
“Eh nayla mau lu kemanain, lu ga bisa naif begitu Ris!”
Jleebbb, aku diam seribu bahasa, aku tak bisa jawab apa-apa, aku harus membakar rokok untuk mencairkan pikiran, aku bingung dengan keadaan ini.
Aku selalu bingung jika ditanyakan tentang kedekatanku dengan Nara, aku yang tidak pernah mengerti sejak awal, sejak pertama kali dia memintaku untuk mengantarkannya ke kos, sejak pertama kali dia memintaku untuk keliling jalan sebelum pulang ke kos, sejak pertama kali kami makan berdua, sejak pertama kali aku mendengar ceritanya begitupun sebaliknya dan akhirnya sama-sama tau bahwa kami banyak samanya. Aku tidak sama sekali memahami diriku ketika disangkut pautkan dengannya, aku tidak tau sejak kapan Nara mulai benar-benar yakin bahwa aku menjadi orang terdekatnya, aku bingung dengan semuanya, tapi yang pasti aku selalu nyaman padanya, sebatas nyaman, tapi entahlah.
“Jadi gimana kalau Nara kita suruh ngisi di Bendahara II aja?” Sambung Arip.
“gue sih boleh aja, apalagi kalau emang dia punya ambisi ya” Ilhak menanggapi Arip
“Kalau lu gimana Ris” Pertanyaan ini itu balik lagi kepadaku.
Pada dasarnya aku sudah tau bahwa Nara memang mau mengisi kursi di Bem, karena mungkin aku orang pertama yang ia ceritakan tentang ambisinya. Aku sangat mendukung ambisi itu, tapi memang aku tak pernah mengobrol serius tentang keinginanku menjadi ketua Bem, pembahasanku selalu cetek tentang itu padanya.
Kebetulan Arip dan Ilhak ingin menyertakan Nara dalam rencana ini, aku mencoba menghubungi Nara lewat telpon, tujuannya satu agar dia ikut nimbrung bersama kami.
Setelah mengobrol akhirnya Nara menyetujui dan sangat mendukungku, katanya ambisi kita sama, kenapa tidak disatuin aja agar lebih kuat, sempat dia menyinggung juga tentang aku yang tidak pernah cerita tentang ambisi ini, aku hanya bisa membalas pertanyaannya dengan nada yang rendah dan mencoba ngelak dari itu, dan yang paling penting dia tidak marah atas usahaku yang sedikit menutupi ambisi, ini yang membuat aku lebih senang.
******
TERJEBAK
“Pokoknya jangan sampe kamu engga ikut misa di minggu ini ya Ris!!” Ancam Ibuku di seberang telpon.
Tidak bisa dipungkiri aku bukan salah satu hamba yang rajin ibadah, maaf ya Tuhan, ampuni anakmu ini.
Setelah olahraga aku bergegas membersihkan badan dari keringat yang lekat di tubuhku, setelah itu aku bergegas ke Gereja, biasanya aku harus ditarik dulu baru mau ikut ke Gereja, tapi sekarang tidak. Walaupun pada awalnya aku ditegaskan oleh Ibu tapi percayalah datangnya aku ke gereja di minggu ini tanpa keterpaksaan sedikitpun, aku benar-benar ingin berdoa dengan khusuk pada Tuhan.
Sengaja aku tidak beli sarapan, aku berniat untuk sarapan setelah misa nanti, memang biasanya seperti itu, aku jarang sekali sarapan yang terlalu pagi.
Biasanya aku tidak pernah sampai selesai mengikuti misa tapi tidak tau kenapa aku sangat menikmati misa pada kali ini. Setelah rangkaian ibadah selesai aku beringsut keluar berniat membeli makanan di luar, tapi ketika aku hendak keluar di depan pintu cukup ramai, setelah aku memfokuskan mata pada kerumunan ternyata ada beberapa relawan yang membagikan makanan dan snack, tanpa berpikir panjang aku langsung mengikuti antrian, kenapa tidak? Kalau ada yang gratis kenapa harus mencari yang bayar? Kebetulan uang saku di dompetku sudah tipis sekali, dan yang sekarang sedang ramai di pikiranku adalah aku harus mengamankan perutku dulu, hehehe.
Nanti sore aku berencana mau ke kedai kopi, aku ingin menyendiri setidaknya menenangkan pikiran setelah membiarkan otak ini bergelut dengan semesta, aku selalu menjadwalkan di setiap akhir pekan untuk menikmati americano yang segar, kopi yang pahitnya semerbak ke hidung, kopi yang tidak dirusak oleh gula, aku selalu menikmatinya di akhir pekan.
Setelah sampai kos mataku terasa ada yang menempelkan getah, sepat sekali, aku mengantuk, aku mencari Feri tidak sama sekali terlihat batang hidungnya, dan pintu kos pun tidak dikunci, aku coba menghubunginya, ternyata aku lupa semalam dia bilang padaku bahwa dia mau main ke rumah pacarnya, katanya mau dikenalin ke orang tua pacarnya, kebetulan pacarnya pribumi di daerah sini.
Sesudah meyakinkan keberadaan Feri, tanpa berpikir panjang aku menikmati siang ini dengan tidur, aku menyalakan AC, mematikan lampu, menutup gorden agar lebih meyakinkan bahwa kamar kos ini benar-benar gelap, aku tidur pulas.
Belum sampai sepuluh detik mataku padam notifikasi chat berbunyi cukup mengagetkan, pada dasarnya aku sangat malas membuka jendela chat itu, entah kenapa aku merasa ada yang mendorong sehingga aku membuka chat itu.
“Nanti sore ngopi yu Ris, nenangin pikiran” chat dari Nara, dia mengajakku ngopi.
“Di tempat yang biasa lu ngopi aja Ris, nanti jemput ya” lanjutnya untuk menegaskan ajakannya.
“Oh, ayo boleh”. Aku selalu mengiyakan ajakannya, aku tidak pernah menolaknya nya.
Kendati aku berniat pergi sendiri untuk menikmati americano sambil mendengar “Putih” dari Efek Rumah Kaca, tapi justru aku mengiyakan ajakannya. Selalu begitu, bukan karena terpaksa justru karena aku selalu nyaman ketika di sampingnya, ketika mengobrol dengannya, ketika menitipkan cerita padanya, aku nyaman itu.
“Sekarang gue tidur dulu ya, sore gue kabarin”.
********
NAYLA
“Gaja, lagi apa? Kok ga ada kabar seharian ini?” pertanyaan ketiga di hari ini yang dilontarkan Nayla lewat chat.
Bukannya aku malas membalas, aku lebih takut kalau aku jawab dan aku teruskan chat dengannya akan menjadi kacau, aku sedang tidak mau marah dan emosi padanya, kapasitas tenagaku hanya cukup untuk tidur dan membaca novel ringan.
Nayla punya panggilan khusus untukku, dia selalu memanggilku Gaja, ini sebenarnya nama plesetan dari nama panjangku, Nama asliku Haris Subagja, cuma Nayla mempleseti dengan memanggilku Gaja.
Jujur aku senang ketika pertama kali nama itu resmi diletakan padaku, karena menurutku setiap orang yang kita sayangi berhak mempunyai panggilan khusus, hanya saja aku yang terlalu norak, aku tidak punya panggilan khusus untuknya, aku hanya memanggil Nayla, menurut teman-temanku aku orangnya tidak romantis, aku sama sekali tidak tersinggung dan aku mengakui hal itu.
Hubunganku sama Nayla sudah berjalan tiga setengah tahun, cukup lama. aku selalu menjadwalkan pertemuan setiap sebulan sekali, karena jarakku cukup jauh, berbeda denganku dia tidak kuliah, dia lebih memilih kerja.
Nayla adalah wanita terbaik yang pernah aku temui sepanjang masa setelah Ibuku dan Nenekku. Aku tidak menilai baik ini dari kecantikan atau kesempurnaan, baik yang aku maksud adalah sifatnya yang sangat amat baik, aku kira dia memberikan sifat baiknya ke siapapun, bahkan semenjak aku sekolah sampai sekarang aku tidak sama sekali mendengar bahwa ada seseorang yang membencinya, jangankan itu, sekedar bertengkar dan adu argumen tentang ke egoisan saja Nayla tidak pernah mencatat di rumus kehidupannya, memang benar-benar baik Naylaku.
Karena kebaikannya aku merasa nyaman, dan menumbuhkan bunga di perasaan yang terlalu menerka. Waktu itu aku sama sekali tidak membuka hati pada siapapun, mungkin termasuk pada Nayla. Dulu aku sempat melamun dan timbulah pikiran yang luas, seluas samudera, tidak cuma itu, pikiranku cukup lembab dan asin, cukup sepi dan rumit, cukup kusut dan berkelompok, waktu itu aku berhasil memyimpulkan lamunan itu, ternyata aku berpikir, aku merasa rasa cinta yang kuberikan tidak lebih besar dari rasa cinta yang ia berikan padaku, Damn.
Proses pendekatanku waktu itu cukup lama, sampai pada akhirnya aku luluh padanya, bukan aku ragu pada cinta dan kebaikannya, hanya saja aku cukup waspada dengan hal semacam itu, aku khawatir bahwa cinta yang seperti itu hanya berapi di permulaan, dan akan padam di tengah perjalanan, ternyata tidak, bahkan sampai saat ini aku sangat merasakan cintanya Nayla sama sekali tidak berubah seperti cintanya sejak awal.
Akan sangat naif jika aku katakan bahwa semakin lama cintaku semakin berkurang, jujur aku akan mengatakan bahwa cintaku tidak sama sekali berkurang, aku masih sangat mencintai Nayla.
Malam ini chat Nayla sengaja tidak kubalas, mungkin Nayla mulai mengerti keadaanku yang sekarang, mungkin dia tau kalau aku selelah apa, mungkin Nayla tau kalau semenjak kuliah aku harus membagi waktu, mungkin Nayla mulai mengerti semua, mungkin, mudah-mudahan saja.
Aku selalu dan akan terus mengatakan bahwa cintaku tidak pernah berkurang, tapi, ah, aku selalu takut mengatakan ini, tapi, ah sial, sebentar… tapi jujur dengan hubungan selama ini ternyata aku mulai masuk ke titik jenuh, cintaku masih sama, tapi aku cukup sadar ada rasa yang mulai beda, aku merasa di diri ini ada yang mulai menghilang, aku selalu nyaman bersama Nayla tapi entah kenapa ketika aku bersamanya bukan nyaman yang aku butuhkan, seratus persen aku yakin bahwa yang merasakan hal bodoh ini cuma aku, aku yakin Nayla tidak akan merasakan hal ini, Nayla masih cinta dan nyaman padaku, Nayla selalu mengangggap aku menjadi hidup dan matinya, aku yakin dia selalu menganggap aku mawar yang harus dirawat, bukan hanya merawat kembang dan bunganya saja bahkan berikut durinya.
*******
TENTANG CINTA DAN KECEWA
Sepulang dari rapat Mingguan di Bem aku mengajak Nara mampir dulu ke pecel lele, sudah lama sekali aku tidak makan pecel lele, dan kebetulan Nara suka sekali pecel, dia bilang itu makanan kesukaanya.
Sudah hampir dua bulan aku menjabat di Bem, aku sangat memaksimalkan kesempatan ini, menurutku ini adalah bekal serta amunisiku nanti untuk menjabat menjadi Ketua Bem.
Sengaja aku mengajaknya ke warung pecel lele, karena dari tadi siang muka dan ekspresi wajahnya selalu ditekuk, aku baru berani menanyakan apa penyebabnya tadi sore, aku kira dia tidak akan menjawab pertanyaanku soal kabarnya, ternyata dia ceritakan semua penyebabnya.
“Gue ga bisa diginiin terus ris, cape gue tuh cape bangeet, hampir dua tahun gue turutin kemauan dia” keluhnya padaku.
Cowonya Nara mempunyai sifat posesif yang agak berlebih, awalnya aku membantah keluhan Nara mengenai sifat cowonya, aku menjelaskan padanya bahwa sifat seperti itu justru tanda sayang dan cinta, tapi semakin lama sepertinya aku mulai memahami kenapa Nara tidak sanggup dengan sifat dan sikap yang seperti itu, cowonya sangat berlebihan, dia tidak bisa membedakan mana cemburu mana bodoh, mana cinta mana menyakiti, bahkan dengan mempunyai sikap yang seperti itu justru sangat menggangu kehidupan Nara, Nara sangat terbatas dengan hal itu.
Inilah yang kusebut bahwa setiap aku dan Nara selalu mempunyai kesamaan, sekarang kita mempunyai kesamaan tentang problem hubungan, aku yang sudah mulai jenuh dengan Nayla, dan Nara yang mulai muak dengan kebrengsekan Cowonya.
Sepertinya aku mulai jatuh hati pada Nara, sekarang ini selain nyaman aku juga mulai melibatkan perasaan padanya.
Aku bahkan sedang bertanya pada diriku sendiri, apakah sekarang aku sedang sadar?
apakah ini benar-benar cinta? Apakah aku sadar bahwa aku sedang membangun sebuah meriam yang kutujukan untuk menghancurkan Nayla? Apakah aku benar-benar cinta Nara? Apakah ini nafsu belaka? Aku bingung dengan semuanya, kepalaku sakit setengah mati, pikiranku serasa diikat mati oleh ribuan tali.
“kamis depan engga ada matkul kan Ris?”
“Iya” jawabku
“Nonton yu!!”
“Nonton apa?”
“Udah lo ikut aja, nanti gue kasih tau, pokoknya lu pasti suka deh”
“Oh yaudah, kalo jadi nanti kabarin aja ya”
“Okeee” jawab Nara dengan nada gembira.
********
TITIK
Senin ini mata kuliah kelasku dilaksanakan secara daring, katanya semua Dosen di Fakultas sedang ada Rapat di luar, aku yakin itu hanya alasan saja, bilang saja kalau dosen-dosen ingin tamasya, mereka hanya mengganti nama saja menjadi rapat global.
Setelah menyelesaikan matkul pertama mataku ngantuk sekali, sebenarnya aku ingin membereskan peralatan kuliah ku dulu sebelum tidur tapi sepertinya tidak bisa, mataku sudah ngantuk sekali.
*****
Hari ini aku ingin bertemu dengan Nayla, aku sangat merindukannya, sengaja aku tak bilang kalau aku ingin menemuinya, aku ingin membawa kue kesukaannya, Nayla suka sekali kue bolu pisang, sebenarnya dia sangat suka bolu yang dibuat ibu, tapi sekarang aku coba membuat sendiri, aku
benar-benar ingin membuatnya senang, barangkali dengan aku membuat bolu kesukaannya sendiri dia akan lebih senang. Karena di kos tidak ada peralatannya, sengaja sejak pagi aku pergi ke rumah Andi sembari membawa bahan bahan, rumahnya dekat sekali dekat kampus.
“Di, bahan-bahan udah siap nih, gue otw rumah lu ya?!”
“Okedeh, gue tunggu” jawab Andi lewat chat.
Setelah semuanya selesai aku bergegas balik ke kos, aku mandi, beres-beres kos sebentar dan prepare untuk menemui Nayla, aku berencana ingin menyambangi rumahnya sore ini.
Segala sesuatunya aku siapkan, aku juga sudah memanaskan motor, aku memasukan surat-surat untuk berkendara, karena jarak dari kosku ke rumah Nayla cukup lama, aku harus menempuh dua jam lamanya di perjalanan baru aku bisa melihat wajah Nayla yang manis, bibirnya yang tipis, pipinya yang kadang kadang merah ketika tertawa, rambutnya yang lurus dan wangi, melihat bola matanya yang coklat, kulitnya yang hitam manis, ah semakin aku tidak sabar menemui kekasihku.
Tidak lupa aku juga menyiapkan beberapa hadiah untuk bunda Ira (Ibunya Nayla) atas anjurannya aku diperbolehkan menyebutnya bunda, menurutku memanggil Ibu dengan panggilan bunda sangat menyentuh sekali, terlepas dari panggilan itu semakin melekatkan kasih sayang, panggilan seperti itu juga sangat enak didengar, tapi sayangnya aku memanggil ibuku dengan sebutan Ibu, tapi setidaknya aku masih bisa memanggil bunda walaupun bukan ke Ibu kandungku tapi ke calon mertuaku, heheh.
Di rumah, Nayla hanya berdua dengan bunda, sedangkan Nayla harus kerja setiap pagi sampai sore, Bunda selalu mengisi kesendiriannya dengan hal-hal yang sekiranya membuat dia merasa senang, aku pernah bertanya waktu itu tentang kegiatannya yang padet, kata bunda “kalau bunda engga gerak justru bunda ngerasa cape Mas”.
Nayla sudah ditinggalkan Ayahnya sejak umur tujuh tahun, ayahnya selingkuh dan memilih meninggalkan mereka, makanya aku sangat salut dengan bunda yang mendidik Nayla dengan baik, Bunda menyuapkan Nayla dengan kasih sayang yang sangat cukup, Bunda tetap memberi Nayla cinta walaupun dalam keadaan kecewa, Bunda tetap menghujani Nayla dengan senyum dan tawa, mungkin itu yang membuat Nayla menjadi seperti sekarang, yang menjadikan Nayla penuh kasih sayang dan lemah lembut, menjadikan Nayla yang baik hati. Tapi ada satu hal yang paling ditakutkan olehnya,
“Aku takut rasa cinta kamu hilang ja”
Setelah itu aku selalu janji padanya untuk senantiasa menjaga hatiku untuknya.
****
Aku melipir di pom bensin, perjalanan ku sudah hampir sampai, jika ditaksir kira-kira tiga puluh menit lagi aku sampai rumah Nayla. Aku membeli kopi untuk mengusir kantuk, lalu membakar rokok, mulutku sudah asam, aku berniat sehabis rokok satu batang ini ingin segera bergegas pergi ke Mall setempat, aku ingin membeli sesuatu untuk Bunda. Kata Nayla oven listrik Bunda yang di rumah sudah rusak, aku berniat membelikannya yang baru meski tidak terlalu besar ukurannya setidaknya Bunda masih bisa membuat kue, karena itu hobinya.
Toko peralatan membuat kue ada di lantai tiga, sebelum dari situ aku coba mencari jam tangan yang cocok untuk Nayla, hampir setengah jam aku mencari jam tangan tapi tak kunjung menemukan yang sesuai dengan tipenya Nayla, memang Nayla sangat selektif dalam memilih barang apapun, aku pun kadang bingung menyesuaikan seleranya.
Seusai tawar menawar dengan penjual oven aku berhasil membawa oven listrik berukuran tidak kecil dan tidak besar, aku rasa ini sudah terlalu sore maka aku bergegas untuk melanjutkan perjalanan yang sebentar lagi akan sampai.
Aku sedikit mencepatkan langkahku, di lantai dua ini sedang ramai-ramainya tenan makanan dan minuman akupun tidak tahu hari ini ada event apa, tapi yang pasti tenan-tenan itu membuat hausku menjadi semakin haus, aku tidak boleh tergoda, aku harus bergegas ke rumah Nayla ini sudah sangat sore, aku menahan hausku tapi terus melihat tenan-tenan itu, aku melihat ada es cincau, es kuwut, es kelapa, es dawet, dan sampai tenan baris terakhir yang berisi gerobak pecel lele aku melihat ada Nayla, sialnya aku tidak melihat dia sedang sendiri, atau setidaknya bersama teman perempuannya, aku melihat dia bersama pria asing yang bahkan aku tak pernah kenal padanya, aku selalu diberi tahu setiap kali Nayla mempunyai teman baru, entah pria maupun wanita, dan yang aku lihat sekarang aku tak pernah tau namanya apalagi wajahnya.
Untuk menghadapi hal ini aku harus tenang, apalagi segala sesuatu nya masih samar, menurut buku yang ku baca ketika dihadapkan masalah lalu kita menyelesaikan dengan panik justru membuat masalah menjadi semakin keruh, di saat-saat seperti ini aku harus melihat situasi, melihat keadaan dan yang paling penting adalah membuka komunikasi dan bertanya apa yang sedang terjadi kepada Nayla, itu menurutku solusi yang harus kulakukan, itu menurutku yang akan membantuku untuk keluar dari masalah ini.
Belum sampai dua langkah aku menujunya aku melihat dia memegang tangan pria asing itu dengan pegangan penuh kemesraan, aku tidak percaya Nayla melakukan itu, aku merasa tidak mengenal Nayla, Nayla yang setia, Nayla yang sangat mencintaiku, Nayla yang tidak pernah melanggar janji, Nayla yang tidak pernah menyakitiku sekali saja setelah ku mengenalnya, aku tidak menyangka dia selingkuh dengan pria lain, badanku kaku, kakiku mati langkah, mulutku seolah tersumpal pengkhianatan, aku tidak bisa apa-apa, aku tidak sadar air mata lari menuju pipi, aku kecewa……
Trangggg…..
Tranggggg. ..
Trangggm.. trang…..
Suara Feri yang mengetuk pintu WC kos ku yang bermaterial kaleng alumunium. Aku yakin yang mendengar ketukan itu bukan hanya aku, aku rasa seluruh Indonesia juga mendengarnya.
“Woy ris bangun buset, kebluk banget gila, woyyy udah jam dua, lo dicariin pa Mukti tuh, cepet masuk zoom!!!!!”
Pa Mukti adalah satu-satunya dosen killer di Fisip, sial aku ketiduran, harusnya aku bangun di jam 13.30, hampir saja aku tidak hadir di mata kuliahnya, karena jatah tidak hadirku sisa satu di mata kuliahnya kalau saja sampai tidak hadir untuk kedua kalinya nilaiku bakal D.
“Lo kenapa ga bangunin gue dari awal f
Fer!!”
“Mata looo, gue bangunin lo dari tadi, susah bangett gila, cepet masuk”
Aku bingung aku mau berkata apa, mungkin lidahku mengatakan sial, tapi jujur hatiku serasa lega, lega sekali, ternyata semua itu hanya mimpi sialku, Ya Tuhan Yesus apa aku lupa berdoa sebelum tidur, sampai aku mimpi sesuram itu, hufft.
Ternyata badanku masih lemas dan bergetar, tanpa kusadari air mata yang di mimpi tadi jatuh sampai ke dunia nyata, sumpah mati, aku belum siap ditinggal Nayla.
Aku yakin Nayla tidak seperti, aku yakin seyakin yakinnya, Naylaku wanita yang setia, Naylaku selalu menjaga hatinya, aku masih dan akan terus cinta padanya.
******
“Aku mau kerumahmu hari sabtu Nay, kamu sibukkah di hari itu?” Tanyaku lewat chat.
“Ja, serius?”
“Iya, aku rindu kamu”
“Astaga, aku mimpi apa semalam ja, oke aku bakal bilang bunda, makasih ya sayang…”
“Tunggu aku ya, maafin aku ya, baru bisa ketemu sama kamu”
“Iyaa, sayang, aku ngerti ko kamu sibuk banget”
“Aku lagi matkul, udah dulu ya Nay”
“Iya ja, semangatt”
Semua janji yang ku buat dengan Nara ku batalkan semua, janji nonton, janji ngopi, janji main ke danau, janji main ke gunung, janji ngecamp, aku merasa bersalah atas semuanya, aku jahat dengan Nayla, aku sadar ternyata di dunia nyata aku yang berkhianat, aku yang mendua, aku yang tidak setia, aku yang hampir tidak saling menjaga.
Aku yang bodoh, aku yang naif, justru Nayla lah yang membuat semuanya menjadi utuh, karenanyalah aku bisa percaya diri seperti ini, Nayla membuat hidupku teratur, Nayla sangat mengerti keadaanku yang dulu maupun yang sekarang.
Aku memang punya banyak kesamaan dengan Nara, tapi Nayla menyempurnakanku dengan cara lain, aku sangat menyadari cinta dibangun dan akan utuh bukan hanya dilandasi dengan kesamaan, cinta yang utuh mesti dilandasi dengan ketulusan yang tanpa memandang seberapa besar kesamaan.
Untuk Nayla aku minta maaf, akan ku perbaiki kebodohanku ini.