Mulus dan putihnya kulitmu itu, Mawar. Namun sayang hidupnya tidak semulus seperti dirinya. Mawar terlahir dari seorang pelayan keluarga konglomerat di salah satu rumah yang berada di kawasan Yogyakarta. Kabarnya keluarga konglomerat tersebut masih ada campuran darah ningrat dari kesultanan Surakarta.
Pelayan itu bernama Sulastri. Dia lahir dan besar di Kota Malang dan beralih bekerja ke kota Yogyakarta. Sulastri yang berusia 19 tahun saat itu diterima bekerja sebagai pelayan di keluarga Atmawijoyo. Dan di keluarga tersebut ditempati sepasang suami istri bernama Sutarso Bin Atmawijoyo dan Sri Nirmala Atmawijoyo.
Dua tahun Sulastri bekerja di sana, ia bermain belakang dengan Tuannya, Sutarso. Karena hal itu lahirlah Mawara Nareswari. Akibat dari perselingkuhan itu membuat Sri Nirmala murka dan membenci serta mengutuk Sulastri hidup menderita. Kemalangan berpihak pada Sulastri, baru saja ia melahirkan Mawar Tuhan mengambil nyawanya tepat setelah Mawar selesai dibersihkan.
"Gusti, apa yang kau lakukan, Sulastri?!"
Tentu saja hal itu membuat Sri Nirmala tak berkutik. Harusnya Sulastri membawa anaknya pergi tetapi kenyataan pahitnya ia juga harus mengurus anak haram itu. Hati Sri Nirmala sangat sakit setiap melihat anak kembarnya yang bernama Gayatri Handayani dan Gema Banyu duduk berdua di atap teras melihat Mawar yang digendong oleh pelayan menuju rumah mereka.
"Gadis kurang ajar! Saya sangat benci melihatmu, Mawar."
"Seharusnya namamu Lara agar kau menderita sepanjang hidupmu."
Bertahun-tahun Sri Nirmala memperlakukan Mawar dengan kasar. Memukul, mencubit bahkan dia pernah meludahi wajah Mawar setelah mandi karena mengingatkannya pada Sulastri. Mawar sangat kontras dengan paras ayu Gayatri. Anaknya, Gayatri memiliki kulit cokelat manis sedangkan Mawar putih sekali. Padahal Sulastri tidak memiliki kulit putih seperti Mawar, hal itu membuat Sri Nirmala curiga bahwa Mawar bukanlah anak dari suaminya, Sutarso.
Kejadian itu sudah 20 tahun yang lalu dan kini mereka telah tumbuh dewasa. Sri Nirmala merasakan waktu merenggut kecantikan dan masa mudanya sedikit demi sedikit. Sekarang ia hanya menerima rambutnya yang telah berubah warna menjadi putih serta kerutan wajah yang terlihat.
Gema Banyu sudah menunjukkan sisi jejaka nya dan Gayatri tumbuh menjadi seorang gadis berparas cantik jelita serta manis dipandang. Di sisi lain Mawar juga sudah dewasa dan berusia 21 tahun, ia berkulit putih dan juga cantik namun anak lelaki lebih menyukai sisi manis Gayatri. Mawar terasingkan, ia hanya mampu menuruti perkataan sang pemilik rumah yang berkuasa.
Anak kembar Nirmala berusia 26 tahun dan itu artinya Mawar adalah yang paling muda di rumah megah mereka.
"Mawar! Bawakan teh untukku dan Mas Arga." Perintah Gayatri sembari masuk ke dapur.
Arga adalah tunangan Gayatri sejak tiga bulan lalu dan pria itu memiliki usaha rumah makan di Singapura dan daerah Jakarta Timur.
"Baik, Mba."
Mawar membawa dua cangkir teh ke ruang tamu. Ia bersimpuh melayani para tuan da nyonya nya. Tidak ada yang memperhatikan Mawar karena latar belakangnya entah kenapa telah tersebar di masyarakat desa dan itu adalah sebuah aib. Mawar memang telah terkucilkan di kehidupannya. Ia hanya bisa bersyukur diberi hidup walau batinnya selalu tersiksa.
Walaupun begitu Sutarso selalu memperlakukan Mawar dengan lembut dan pengertian. Tapi itu berakhir satu setengah tahun yang lalu karena Sutarso meninggal dunia akibat strok yang ia alami.
Mawar benar-benar sendiri.
"Terima kasih, Mawar." Ucap Arga.
Mawar berlalu di hadapan mereka. Ia membersihkan pantri dan mencabut colokan oven yang baru saja ia pakai membuat roti kering. Mawar bermaksud akan pergi ke rumah belakang untuk membersihkan kolam renang namun Nirmala menyuruhnya datang ke kamar untuk memijit kakinya.
Demi apapun, Mawar telah memaafkan Nirmala. Segala perlakuannya semasa ia kecil.
"Apa Gema sudah pulang?" Nirmala bertanya sembari membaca majalah wanita miliknya.
"Belum, Ibuk."
Nirmala tidak menanggapinya, ia membalikkan majalah ke halaman berikutnya. Sudah terhitung lima menit Mawar memijit kaki Nirmala dan deru mobil dari dalam garasi menghentikan kegiatannya.
"Sudah! Pergi sana. Buatkan kopi untuk anakku."
"Iya, Ibuk."
Nirmala menghela napas kasar. Harum mawar tercium samar dari tubuh Mawar dan hilang setelah anak itu keluar dari kamarnya.
Mawar memang memiliki ciri khas. Ia sangat suka dengan bunga mawar merah dan ia suka membuat parfum mawar yang ditumbuk serta diberikan air sedikit. Mawar merah yang tumbuh segar di halaman rumah adalah salah satu perawatan dari Mawar.
Mawar sedang membuatkan secangkir kopi untuk Gema. Ia membawanya ke dalam ruang keluarga di sana. Sepintas ia melihat Arga dan Gayatri masih mendiami ruang tamu itu. Mawar hanya dapat menundukkan pandangannya.
"Mas Gema, ini kopinya." Ucap Mawar seraya mengetuk kecil pintu jati itu.
Pintu terbuka menampilkan Gema dengan masih mengenakan pakaian jas kerjanya. "Makasih, Mawar."
Mawar tersenyum kecil menanggapi. Ia berbalik dengan tangan tertaut. Dari ketiganya hanya Gema yang ramah kepada Mawar. Namun karena hal itu ia merasakan sedikit takut karena masa kelam ibunya.
Betapa jahatnya Nirmala mengungkit-ungkit masa ibunya yang tidak ada kaitannya dengannya. Padahal saat itu usianya baru menginjak di kelas 4 sekolah dasar. Nirmala selalu menjelek-jelekkan Sulastri.
"Kamu dari kamar Gema?"
"Saya mengantarkan kopi, Ibuk."
"Awas saja kamu bertindak kotor seperti Sulastri."
Sulastri, dia terus yang selalu Nirmala sebut.
Tampaknya Nirmala mengidap sedikit gangguan jiwa. Mawar melihat dia terkadang bersenandung tembang namun sesekali menangis setelahnya. Nirmala juga selalu mengumpati Sulastri dan berteriak frustasi sesekali.
"Biadap koe, Sutarso!"
Nirmala meminum teh jahe nya satu tegukan. Mawar mendengar sebuah tembang yang ia tidak tahu itu apa.
"Mingkar mingkuring angkara. Akarana karenan mardi siwi. Sinawung resmining kidung ..."
"Mawar?"
Mawar gelagapan tertangkap oleh Nirmala. Wanita itu menghentikan senandungnya.
"N-nggih, Ibuk."
"Bawakan aku teh di meja."
"Iya, sebentar."
Mawar membawakan teh yang diminta ke teras belakang rumah. Saat kakinya menginjak tangga terakhir ia melihat Nirmala menatapnya disertai anggukan. Mawar merasa sangat aneh saat ini.
Nirmala merampas teh itu. Mawar merasa janggal pasalnya teh yang berada di atas meja makan itu tidak berbau seperti teh pada umumnya. Ada rahasia yang tidak diketahui Mawar.
Racun. Nirmala memberikan sebuah racun strychnine yang ia sempat beli secara rahasia. Ia berdalih untuk membunuh hama di tanaman rumahnya.
"Untuk apa strychnine?" Ujar Darius, teman alamarhum Sutarso.
"Membunuh hama di rumah, ada tikus nakal di rumahku." Dustanya.
Mawar menjatukkan tatakan kaca gelas teh yang ia bawa hingga pecah berserakan. Ia melihat Nirmala kejang-kejang, tubuhnya kaku disertai air teh yang keluar dari mulut terus menerus hingga air liur tampak mengental putih. Napasnya tersendat-sendat dan seketika ambruk dengan mata terbuka.
Prang!
"IBUKK!" Teriak Mawar histeris.
Sri Nirmala mati secara tidak hormat.
Pemakaman telah selesai dilakukan dan para pelayat saling berdatangan menyampaikan bela sungkawa mereka.
Jangkrik malam bernyanyi dalam kesunyian malam. Gayatri menangis histeris hingga saat ini.
Aparat kepolisian mengambil langkah investigasi di tempat kejadian. Gayatri menuduh Mawar namun dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan, Mawar dinyatakan tidak bersalah.
Sri Nirmala murni bunuh diri dengan racun yang ia tuangkan sendiri pada minumannya. Dibuktikan dengan penemuan racun strychine di bawah bantal kamar Nirmala dan kandungan racun di dalam teh yang diminum olehnya.
Empat hari telah berlalu, karena musibah itu Gayatri membenci Mawar. Mawar benar-benar sendirian. Gema menatap horor gadis berkulit putih itu. Sudah tidak ada lagi Gema yang ramah kepadanya.
PLAK!
"Biadab kau, Mawar!" Sentak Gayatri.
Apapun yang dilakukan Mawar tetap salah di mata mereka. Sekali lagi Mawar benar-benar sendirian.
"Aku tidak bersalah."
Tentu saja Mawar trauma karena menyaksikan kejadian itu tepat di depan matanya. Dia tidak bersalah, Mawar hanya korban dari kesalahan mereka di masa lalu.
Hari Rabu malam itu di Kota Yogyakarta sedang dilanda hujan lebat. Mawar sendirian di kamar pelayannya. Semenjak insiden kematian Nirmala, para pelayan dipecat semua oleh Gema dan menyisakan Mawar seorang dan tukan penjaga kebun.
"Demi Tuhan, jangan lakukan itu!"
"DIAM!"
"GUSTI, TOLONG!" Teriak Mawar pilu.
Malam yang sangat kelam. Kesucian Mawar direnggut paksa oleh seseorang biadab dan digilir bergantian oleh rekan-rekan Gema termasuk pria itu sendiri. Gayatri yang penuh dendam hanya menatap kemalangan Mawar dengan tatapan bengis dan senangnya.
Nyatanya terkadang kecantikan membawa kepahitan.
Mawar menangis dalam diam. Tubuhnya ternodai oleh empat orang. Sesuatu yang ia jaga kini tak berharga. Air matanya mengalir dari sudut mata kirinya seraya menatap Gayatri yang puas melihatnya tak berdaya.
Hari terus berlanjut namun masih menyisakan kesakitan di ulu hatinya. Kenyataan pahit melanda dirinya dimana para tetangga saling menuduhnya sebagai perempuan murahan dan penuh dosa.
Mawar merasakan layu. Ia tak memiliki semangat dalam hidupnya. Namun ia harus terus melayani kedua anak kembar itu.
Malam kelam itu terulang kembali. Mawar ditarik paksa oleh Gema dan dibawa ke kamar kosong peninggalan Sri Nirmala. Di dalam sana telah ada dua pria berbeda dari sebelumnya.
"JANGAN, TOLONG."
"Diamlah, Nareswari. Nikmati saja."
"BANGSAT KALIAN!"
PLAK!!
"Ayo cepat kita lakukan!" Seru Gema.
Mereka memgotori Mawar, melecehkan dan menodai tubuh cantiknya terus menerus oleh tiga orang secara bersamaan. Hati Mawar remuk redam tak karuan. Ia sakit hati tak terima. Tubuh cantiknya telah rusak.
Mawar mengutuk Gema dan Gayatri.
Mawar melangkah terseok-seok menuju lantai atas. Di dalam keheningan malam ia menatap dalam kolam renang di bawahnya.
"Sang angkara akan datang." Mawar tersenyum setelah mengatakannya.
Air matanya turun terus menerus dan tubuhnya telah melayang dengan sangat keras.
Mawar ditemukan mengapung di kolam renang keesokan harinya. Gayatri jatuh pingsan di tempat dan kedua kali terjadi kematian yang tidak wajar.
Lagi dan lagi aparat kepolisian menyelidiki kasus di rumah besar itu. Dan Gema beserta dua rekannya dinyatakan tersangka dalam kasus pemerkosaan dan pelecehan wanita.
Gema dinyatakan bersalah dan dihukum penjara seumur hidup.
"Ampuni aku, Tuhan." Lirih Gayatri pilu.
Hukum Tuhan adalah nyata.
Kisah itu terjadi belasan tahun silam. Akibatnya warga setempat tak berani menyinggung kejadian itu kembali. Mereka akhirnya merasakan penyesalan setelah mengetahui Mawara Nareswari hanyalah seorang korban di sana.
Kini rumah itu terbengkalai tak berpenghuni. Ilalang menjalar kemana-mana. Sang pemilik rumah terakhir pergi meninggalkan rumah beserta barang-barang di dalamnya. Rumah besar yang sangat disayangkan kosong namun apa daya dibalik rumah megah itu menyimpan sisi kelam yang membuat bulu kuduk merinding. Tak jarang juga bau mawar tercium saat melewati rumah kosong tersebut.
Harum mawar akan tetap abadi meski telah layu dan tak lekang oleh waktu.