Di sebuah pagi yang cerah di SMA Nusantara, Zea, siswi kelas XII 5, tiba terlambat ke sekolah—hal yang jarang sekali ia lakukan. Hari itu, ia seharusnya mengikuti ulangan harian Bahasa Indonesia di jam pertama. Akibat keterlambatannya, Zea harus mengikuti ulangan susulan bersama siswa yang mendapat remidi. Ketika ia baru saja melangkah masuk ke gerbang sekolah, tatapannya bertemu dengan ketua OSIS, Zoe, yang memandangnya tajam. Tatapan itu membuat Zea bergidik cemas, seolah ia sudah siap menerima hukuman.
Benar saja, tak lama kemudian Zoe mengumumkan hukuman bagi siswa yang terlambat: berjemur di lapangan selama 20 menit. Zea hanya bisa menunduk, menahan rasa malu dan kesal. Setelah waktu hukuman selesai, guru piket mengizinkan mereka yang terlambat untuk masuk ke kelas. Saat Zea memasuki kelas bersama seorang temannya, ia langsung melihat Zoe duduk di bangkunya, menatapnya dengan senyum tipis, seolah sedang menantangnya. Teman sebangku Zea mengisyaratkan sesuatu dengan ekspresi heran, memberi kesan bahwa Zoe terlihat seperti orang yang “kerasukan setan.” Hal ini membuat darah Zea mendidih.
Dengan perasaan marah yang coba dikendalikannya, Zea meminta izin kepada guru Bahasa Indonesia untuk mengambil bangkunya kembali. Setelah diizinkan, ia berjalan mendekati Zoe. “Maaf, tapi bukankah ini tempat dudukku, Zoe?” katanya dengan nada tegas. Zoe menyeringai, berdiri perlahan, dan berjalan menjauh, meninggalkan Zea yang masih berusaha menenangkan diri sebelum duduk. Zea mulai membuka buku pelajaran, meskipun rasa tidak nyaman terus mengganggunya. “Ada apa sebenarnya dengan ketua OSIS itu?” pikir Zea sambil melirik sekilas ke arah Zoe yang tak beranjak dari sisi kelas.
Ketika pelajaran dimulai, Zea berusaha berkonsentrasi, tetapi sulit baginya karena ia merasa terus diawasi oleh Zoe dari belakang. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, menambah rasa cemas yang tak kunjung hilang. Begitu jam pelajaran berakhir, Zoe mendekat dengan senyum tipis yang sulit ditebak. “Selamat menikmati hukuman, Zea,” ucapnya pelan dengan nada misterius, lalu berbalik pergi begitu saja. Zea tertegun, merasakan ada sesuatu di balik sikap ketua OSIS itu. Ia merasa bahwa hari ini mungkin bukanlah akhir dari semuanya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih rumit.
Saat jam istirahat di kantin, Zea dan teman sebangkunya, Sharon, mendengar anggota OSIS sedang membahas tentang razia make-up yang akan dilakukan setelah jam istirahat. Mendengar hal ini, Zea mendengus kesal sambil mengomel pada Sharon di perjalanan kembali ke kelas. “Apa-apaan, sih, Zoe itu? Belum puas menghukumku tadi pagi, sekarang malah bikin razia!” keluh Zea dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menunjukkan rasa jengkel yang mendalam.
Sharon hanya mengangkat bahu dengan sedikit senyum. “Padahal, menurut temanku yang sering terlambat, biasanya hukuman hanya disuruh pungut sampah atau tugas ringan lainnya. Nggak pernah sampai berjemur selama itu,” ujarnya sambil melirik Zea, yang hanya mendesah panjang. Zea menghela napas sambil merapikan rambutnya dengan gerakan frustrasi. “Kenapa, sih, dia begitu akhir-akhir ini? Rasanya semua yang dia lakukan cuma bikin kesal saja.”
Sharon menatap Zea dengan senyum penuh arti, lalu berkata, “Mungkin dia cuma mau cari perhatianmu, Zea.” Zea menatapnya dengan mata melotot. “Cari perhatian apaan?! Dia itu cuma sok keren di depan adik-adik kelas!” protes Zea, tapi wajahnya mulai memerah. Sharon terkikik, menyenggol lengan Zea sambil menggoda, “Jadi, kau cemburu dia bersikap begitu, ya?” “HAH?! Apa maksudmu?! Aku—aku nggak akan cemburu sama dia!” balas Zea, tapi suaranya mengecil di bagian akhir, wajahnya semakin merah. Sharon tertawa kecil. “Mulutmu bilang nggak, tapi wajahmu bilang iya,” bisiknya sambil tersenyum nakal. Zea mendengus, berusaha menutupi rasa malunya. “Kenapa kau dan Zoe sama-sama suka bikin aku kesal, sih!” gerutu Zea, sementara Sharon tertawa, “Baiklah, maaf sayangku… cintaku… Zeaaaa!”
Tak lama kemudian, Zoe dan teman-temannya lewat di depan Zea dan Sharon. Zoe berhenti sejenak, tersenyum lebar, dan berkata dengan nada santai, “Kau tahu? Ada seorang anak kelasku yang biasanya sangat rajin, tapi hari ini terlihat… malas.” Kata ‘malas’ ia ucapkan dengan penekanan, sambil melirik Zea dengan senyum penuh kemenangan.
Merasa dipermalukan di depan teman-temannya, Zea tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ia melangkah cepat mendekati Zoe dan menatapnya tajam. “ZOE! Apa kau bisa berhenti menggangguku? Aku muak dengan sikapmu setiap hari!” ucap Zea, suaranya bergetar menahan emosi. “Kau tahu kenapa aku terlambat tadi? Kalau bukan karena masalahmu, aku pasti datang tepat waktu!” Zea berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Kalau bukan karena kau yang ngajak aku keluar semalam, aku nggak akan telat bangun dan terlambat ke sekolah!” lanjutnya lirih, suaranya bergetar menahan kecewa dan marah yang bercampur.
Zoe, yang awalnya memasang senyum lebar, tampak tersentak kaget dan sedikit bingung. Teman-teman mereka hening, menatap kejadian itu dengan rasa tak percaya. Zoe menunduk sejenak, lalu berdehem pelan, “Aku… aku nggak tahu kalau itu alasannya. Maaf kalau aku kelewatan,” katanya dengan suara lebih lembut dari biasanya. Zea menatapnya tajam, namun matanya terlihat berkaca-kaca. “Kamu selalu mempersulit hidupku, Zoe. Coba sekali-sekali pikirin juga perasaan orang lain!” Setelah berkata demikian, Zea berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Zoe yang masih terdiam, merenungi kata-kata Zea yang tampaknya baru saja menyadarkannya akan dampak dari perbuatannya.
Setelah kejadian di kantin, Zea berusaha menjauhi Zoe dan mengabaikan semua tingkahnya yang menurutnya semakin menyebalkan. Namun, tanpa diduga, suatu hari Zoe tiba-tiba mendekatinya di lorong sekolah. Ekspresinya tampak lebih serius dari biasanya. "Zea, bisa bicara sebentar?" tanyanya, dengan nada berbeda yang membuat Zea sedikit gugup, meski ia berusaha tampak tenang.
"Apa lagi sekarang? Mau apa lagi kamu?" balas Zea dengan suara datar. Zoe menghela napas pelan, menatap Zea dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Sebenarnya, semua yang aku lakukan… bukan karena aku marah atau ingin membuatmu kesal. Aku cuma… aku nggak tahu cara yang benar buat mendekatimu.”
Zea terdiam, bingung sekaligus terkejut mendengar kata-kata Zoe. “Aku… sebenarnya suka sama kamu, Zea,” lanjut Zoe dengan suara lirih. “Tapi aku nggak tahu cara lain buat dapetin perhatianmu. Jadi, aku kira kalau aku bersikap ‘sedikit’ menyebalkan, kamu bakal memperhatikanku.” Zoe menggaruk kepala dengan canggung, tampak benar-benar tulus.
Zea menatap Zoe, antara ingin marah dan ingin tertawa. "Jadi semua ini cuma akal-akalan biar aku merhatiin kamu? Razia make-up? Hukuman berjemur? Semua itu cuma… karena kamu suka sama aku?" tanyanya dengan nada setengah tidak percaya. Tapi perlahan ia mulai menyadari sisi lain dari Zoe yang selama ini ia abaikan.
Zoe tersenyum canggung dan mengangguk. "Aku tahu ini terdengar bodoh... tapi ya, aku nggak tahu cara lain. Aku cuma ingin kamu tahu... kalau aku serius." Mendengar itu, hati Zea mendadak berdesir aneh, campuran kesal dan malu. Meski masih merasa jengkel dengan caranya, ia akhirnya tersenyum tipis. "Kamu tahu? Kamu nggak perlu bikin razia atau ngasih hukuman aneh-aneh cuma buat dapet perhatian aku, Zoe," ucap Zea sambil tertawa kecil.
Zoe ikut tertawa, lalu mengusap tengkuknya dengan canggung. "Jadi... mulai sekarang, boleh kan aku berhenti jadi ‘musuh’-mu?" tanyanya pelan. Zea tersipu malu, namun akhirnya mengangguk. Tanpa kata-kata lebih lanjut, keduanya pun tersenyum, berdamai dalam keheningan yang penuh arti, seolah sebuah lembaran baru telah terbuka di antara mereka.