Di sebuah senja yang penuh kenangan, Sunoo dan Minju bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah. Mereka pernah sangat dekat—lebih dari sekadar teman—namun akhirnya jalan hidup membawa mereka ke arah yang berbeda. Mereka tak lagi berbicara seperti dulu, hanya sesekali saling tahu kabar melalui teman-teman lain. Tetapi sore itu, mereka bertemu kembali di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota yang dulu sering mereka kunjungi bersama.
Percakapan mereka diawali dengan tawa ringan, menertawakan betapa cepatnya waktu berlalu dan mengingat kenangan-kenangan kecil yang dulu hanya milik mereka. Namun, di tengah percakapan, tiba-tiba muncul keheningan. Sunoo memperhatikan mata Minju, menyadari bahwa ada kesedihan yang tak terucap.
"Kalau suatu saat kamu merasa tersesat," ujar Sunoo dengan lembut, "dan kamu tak tahu harus jadi siapa, ingatlah bahwa kamu selalu punya tempat untuk pulang." Tatapannya tenang, memberikan ketenangan yang sulit didapat Minju di tempat lain. "Aku akan ada di sini, kapan pun kamu butuh. Aku tidak akan pergi."
Minju hanya bisa tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh kata-kata sederhana yang seolah mengulurkan tangan di saat yang paling ia butuhkan. Janji itu bukan sekadar kata-kata; itu adalah sebuah pengingat bahwa tidak peduli sejauh apa pun mereka melangkah, akan selalu ada rumah—tempat mereka diterima, apa adanya, tanpa syarat.
Mereka pun mengakhiri pertemuan itu dengan pelukan singkat namun penuh makna. Bagi mereka, janji itu adalah jaminan bahwa seberat apa pun badai yang mungkin datang, mereka tidak akan benar-benar sendirian.