Langit sore sudah berubah jingga ketika aruna melangkah keluar dari ruang kelas yang sepi. Sekolah hampir kosong, hanya suara burung dan langkah kakinya yang terdengar. Di ujung lorong, berdiri seseorang yang sudah tak asing baginya aksa , teman sekelasnya sejak mereka masih duduk di bangku SMP.
Aksa tersenyum canggung, memandang aruna, Mereka sudah lama bersahabat, Namun, aruna tahu perasaannya untuk Aksa telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Meski tak pernah terucap, ada harapan dalam hati aruna bahwa suatu hari mereka akan bisa bersama, melewati batas yang tak pernah mereka sebutkan.
Sore itu, aruna memberanikan diri mengajaknya bicara. Ketika mereka berjalan pelan di lorong menuju taman belakang, ia akhirnya bertanya, “Aksa, kamu kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba menjauh?”
Aksa menarik napas dalam, lalu memandang Arunaa. “Aruna, aku akan pindah ke luar negeri. Minggu depan keluargaku harus pergi, dan aku gak tahu kapan atau bahkan kalau aku bisa kembali.”
Kata-kata itu menghantam Aruna seperti badai. Segala harapan dan impian yang pernah ia bayangkan untuk mereka berdua seketika hancur. "Kenapa kamu gak bilang sebelumnya?" tanyanya, berusaha menahan kesedihan yang membuncah.
Mata Aruna mulai berkaca-kaca, dan air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya mengalir. “Kenapa kamu tidak pernah bilang? Kenapa kamu selalu menyembunyikan semuanya?"
Aksa terdiam, lalu mendekat, menggenggam tangan Aruna dengan lembut. "Aku juga punya perasaan yang sama, Aruna. Tapi takdir kita mungkin berbeda. Mungkin memang lebih baik kalau kita berhenti berharap."
“Aku harap kamu bahagia di sana, Aksa,” kata Arunaa lirih, mencoba melepaskan genggaman Aksa meski hatinya tak ingin. "Aku akan mengingat kamu... selamanya."
Aksa menghapus air mata di pipi Aruna dengan lembut. "Jaga dirimu, Aruna. Kamu akan selalu ada di hatiku."