Afifa Bella Renjena adalah anak tunggal yang kini hanya tinggal bersama sang ibu, ayahnya telah bercerai dengan sang ibu saat ia berusia 10 tahun. Afifa seorang gadis bermata sendu namun memiliki senyum manis yang sulit dilihat karena dirinya yang jarang sekali tersenyum. Di kantor, Afifa baru saja di pecat karena dituduh menghilangkan berkas materi untuk meeting penting.
Menahan lengan pak Adi, “Pak saya mohon, saya bersumpah tidak menyentuh berkas tersebut”. ucap Afifa dengan memohon.
Pak Adi adalah atasan Afifa yang memang sangat tegas dan merepotkan, terkadang ia akan memarahi bawahannya hanya untuk melampiaskan amarahnya.
“Dengar Afifa, saya sudah mempercayakan berkas ini ke kamu, tapi apa!” Bentak pak Adi.
Afifa sekuat tenaga menahan tangisnya, “Maaf jika saya membuat bapak kecewa, tapi saya bersumpah kalau saya sudah meletakkan berkas itu ke meja bapak.”
“Mana buktinya!,”Ucap pak Adi. “Percuma kamu bersumpah, pegang omong kosongmu dan pergi dari sini!”.
“Pak sebentar pak, sebaiknya kita cek cctv.. Saya yakin sudah meletakkannya dengan benar.” kukuh Afifa.
Pak Adi tidak merespon Afifa dan memilih untuk pergi meninggalkan Afifa yang sedang menanggung rasa malu karena diperhatikan oleh karyawan lainnya sejak tadi.
...
Sampai dirumah, Afifa termenung. Ia pulang dengan wajah yang bengkak akibat menangis, Afifa juga tidak biasanya pulang larut.
menghampiri Afifa, “nak, ada apa? tumben banget kamu pulang larut.” ujar sang ibu dengan khawatir. Namun tidak direspon oleh Afifa.
duduk disebelah afifa, “capek ya nak? kalau Afifa lagi capek, istirahat dulu ya?, kalau mau makan, disana udah ibu masakin.” ujar sang ibu
Afifa menoleh ragu, “bu, Afifa dipecat.”
Ibu yang mendengar itu terdiam sejenak, pasalnya uang dari mana untuk mereka hidup jika bukan dari gaji Afifa. sedangkan sang ibu hanya berkerja dengan berkeliling menjual kue yang penghasilannya pun 30 ribu, itu jika laku.
“Afifa istirahat dulu aja ya” ucap sang ibu.
Afifa menolak, “nanti buat kita makan gimana Bu?”. Kali ini tangis Afifa tak tertahan.
“nanti itu kita pikirin lagi sayang,” ujar ibu untuk menenangkan Afifa.
Setelah itu, Afifa masuk ke dalam kamarnya, ia memainkan smartphonenya dan menghubungi sang kekasih.
“kamu belum tidur?” ucap sang kekasih.
tersenyum lirih, “belum vin”.
Gavin Tirta adalah kekasih Afifa semasa SMA hingga saat ini, hubungan mereka telah terjalin 2 tahun lamanya.
“Loh kamu abis nangis? mata kamu sembab.” kata Gavin dari telepon.
Afifa balas anggukkan,“aku dipecat dari kantorku Vin,”.
Sepanjang malam mereka saling berbincang hangat, Gavin dengan kelembutannya mendengarkan Afifa dari A hingga Z tanpa memotong pembicaraan. Itulah sebabnya Afifa sangat mencintai kekasihnya itu, kalau kata anak sekarang ibaratnya ‘bulol’.
...
Esoknya Afifa merasa cemas karena Gavin sudah 3 bulan tidak ingin bertemu dengannya, Afifa merasa ada yang janggal. Namun perasaan itu segera ia tepiskan.
Afifa sedang berada di dapur, ia sedang membantu ibunya membuat kue untuk dijual keliling. Kehidupan Afifa tidak berjalan lancar, biaya hidupnya serta ibunya tidak terpenuhi, untuk makan pun mereka hanya stock mie instant.
menatap sang ibu, “bu, maaf ya“ ujarnya
“Untuk?”
“coba aja Afifa punya bukti, pasti Afifa ga dipecat, aku ceroboh banget ya bu. pasti ibu kecewa sama Afifa, kan yang bisa ibu harapkan cuma afifa”. lirihnya
ibu menghentikan aktivitasnya, ia memeluk Afifa, “nak dengar, disaat kamu salah mengambil keputusan, ibu akan tetap menyayangimu. bahkan disaat kamu benar mengambil keputusan ibu juga akan terus menyayangimu. disaat kamu sedang bahagia, tersenyum ataupun bersemangat, ibu akan terus menyayangimu.” ucap ibu.
Afifa menangis dalam dekapan ibunya, sungguh ia berdoa kepada tuhan untuk tidak mengambil sang ibu dari sisinya, ia hanya punya sosok ibu.
ibu membelai lembut kepala Afifa dan berkata, “Nak suatu saat nanti akan banyak orang yang mencintaimu dan ada pula yang tidak menyukaimu, tapi ibu akan terus membuka pelukan hangat ibu untukmu selama lamanya, jika kamu lelah dengan semuanya kembali lah nak kepada ibu, peluk ibu maka ibu akan membelaimu dengan cinta. ibu akan terus mencintaimu, menyayangimu dan menyukaimu disetiap kondisimu.”
Kalimat yang ibu lontarkan justru membuat Afifa semakin bersalah, ia merasa gagal menjadi anak satu satunya.
...
2 bulan berlalu..
Kini Afifa telah mendapatkan pekerjaan baru yakni sebagai karyawan di cafe, walaupun gajinya tidak seberapa namun cukup untuk menghidupi ibu dan dirinya. Afifa juga telah lama putus dengan sang kekasih, karena Gavin selingkuh dengan temannya. Itu membuat Afifa sangat sedih, namun ia hempis rasa sedihnya.
Afifa akan memberi tahu sang ibu tentang kabar baik ini. Namun saat ia pulang ke rumah, ia mendapati sosok ayah yang telah lama menghilang. Tetapi saat ini, Afifa melihat ibunya sedang di pukuli oleh sang ayah, ia pun segera berlari menghampiri sang ibu yang sudah terbaring lemah.
“UDAH CUKUP!“ bentak Afifa. “UDAH CUKUP LO SAKITIN IBU, DASAR IBLIS”.
PLAK!
Tamparan keras mendarat dipipi Afifa, yang disebabkan oleh sang ayah. Afifa tidak bergeming, ia masih memeluk ibu tercinta dalam dekapannya yang sudah terbaring lemah.
“Dasar anak durhaka!, pergi kalian berdua ke neraka!!”. Ucap sang ayah tidak mau kalah. “IBU LU INI GAK MAU KASIH SURAT RUMAHNYA, jelas jelas ini tanah gua”.
Afifa mengelus pipinya, ia berkata “tanah siapa? ini tanah nenek. Nenek kasih ke ibu berarti udah jadi milik ibu!”
“BOCAH TAU APA!?” bentak ayah.
PLAK!
Tamparan keras yang ke-dua kalinya mendarat tepat di wajah Afifa, namun kali ini lebih keras hingga Afifa tersungkur lemah.
“Ibu sama anak sama sama stres!”. ucapnya sebelum meninggalkan Afifa dan ibunya dengan keadaan lemah.
...
Afifa menatap ibunya yang terdapat luka memar di area tangan, leher serta kaki. Afifa segera memindahkan sang ibu ke kamar, ia tidak memiliki cukup uang untuk membawa ibunya ke rumah sakit jadi ia memutuskan untuk merawat ibunya dirumah seorang diri.
Memegang tangan sang ibu, “ibu, maafin Afifa ya.. seharusnya Afifa pulang lebih awal.” Afifa mengelus punggung tangan ibunya dengan lembut. Namun sang ibu tidak merespon karena tidak sadarkan diri.
Sehari, dua hari sang ibu tidak kunjung sadar, Afifa pikir ibunya hanya perlu istirahat. Namun semakin hari ia curiga, Afifa pun segera membawa sang ibu ke rumah sakit dengan biaya yang ia pinjam di bank. Setelah ini ia kembali ke rumah dengan perasaan terpuruk.
“Ibu, Afifa berharap ibu cepat sembuh”. gumamnya.
...
Esoknya afifa dikabarkan oleh pihak rumah sakit untuk segera pergi ke sana. Dengan perasaan yang gugup, Afifa menghadap sang dokter.
“Bu Afifa, ada yang ingin saya bicarakan.” ujar sang dokter.“jadi begini, pasien mengalami pendarahan di otaknya jadi ia mengalami stroke. Seperti Bu Afifa laporkan ke saya sebelumnya, bahwa pasien tidak sadarkan diri selama 2 hari. Itu akibat pendarahan yang sedang menyebar di sekitar otak, karena tidak ditangani sesegera mungkin.. maaf pasien tidak dapat kami selamatkan.”
Itu kalimat yang Afifa dengar untuk terakhir kalinya. Pikiran Afifa campur aduk, ia sangat sedih. Ia menghampiri ibunya yang telah pucat terbaring, dinginnya kulit sang ibu tidak membuatnya bergeming
“Terus, Afifa hidup sama siapa Bu? kenapa Ibu ninggalin aku secepat ini? Aku belum siap, Aku masih butuh Ibu di sini…" suara Afifa bergetar, dia menahan isak yang sudah mengalir
"Siapa lagi yang bakal peluk aku kalau aku jatuh? Siapa yang bakal bilang kalau semua ini bakal baik-baik aja? Ibu selalu ada buat aku, selalu bilang aku kuat… tapi sekarang aku nggak tahu gimana caranya, Bu. Aku nggak tahu.. aku sendirian sekarang.”