Maaf,aku rapuh....
"Maafkan aku ibu tolong maafkan aku. Jangan pukul lagi ini sangat sakit ibu, aku mohon. " jerit ku memohon agar cambukan itu berhenti. Seluruh tubuh ku terasa remuk mendapat cambukan tanpa henti itu. Percuma aku menjerit mohon dan menangis pilu di hadapannya,karena ibu telah dibutakan oleh amarahnya.
Sejak ayah dan ibuku pisah, aku selalu menjadi sasaran amarah dari ibuku. Kekesalan nya yang tak terlampiaskan pasti akan di lampiaskan padaku. Jujur saja, aku sudah mulai benci terhadap nya namun aku mencoba untuk tidak melakukan hal itu karena ia adalah ibuku.Ia mengidap stress setelah bercerai, aku hanya mengelus dada ketika mendengar setiap ocehan bagian makiannya.
Pernah kala itu, aku sedang menyiapkan makan siang. Tak ada angin tak ada hujan, ia datang memukul ku lagi tanpa ampun lagi. Tangan ku terasa panas terkena wajan yang panas itu dikarenakan kaget. Aku diseretnya hingga membentur dinding dan berdarah di bagian jidat. Aku hanya menahan sakit disaat ia memukul ku kembali secara gila, disertakan dengan caci maki yang sangat sakit masuk di telinga ku.
Ia meninggalkan ku terduduk di lantai dengan perasaan tak bersalah. Aku berdiri dengan pelan dan menumpukan segalanya pada kekuatan yang ku punya, lalu menyelesaikan masakan ku siang ini. Aku berjalan pelan menuju kamarku, langkah ku tertatih-tatih. Badanku terasa remuk seluruhnya, aku hampir menyerah namun tidak. Aku membaringkan tubuh ku di atas tempat tidur dengan sedikit meringkuk. Aku menangis tersedu-sedu, aku cengeng, aku lemah dan rapuh.
Tempat mengaduku hanyalah pantai yang tenang. Aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi pantai sesibuk apapun itu. Di pantai memang tak ada siapa-siapa, namun ketika di pantai seluruh rasa sakit ku terasa ikut tersapu dengan desiran ombak yang terdengar halus di telinga ku. Di pinggir pantai ini, aku mengadukan semua kesakitan ku, desiran ombak laut seolah-olah menjadi jawaban atas keluh kesahku,Sungguh tenang.
Aku kembali ke rumah dengan berjalan gontai. Aku takut kembali, aku takut akan dipukul habis-habisan lagi. Namun aku tetap meyakinkan diriku untuk tetap kembali ke tempat itu. Aku mengobati luka yang telah ada beberapa hari lalu, luka robek akibat pisau disaat aku sedang berada didapur. Semua luka ku di torehkan oleh orang lain.
Aku selalu berpikir untuk mengakhiri langkah ku di dunia ini. Namun selalu saja ada yang membuat ku terus bertahan. Aku rindu kehangatan keluarga, aku rindu bisa tertawa. Namun dunia tak mengizinkan itu walau sebentar. Aku sedih dan sakit melihat tubuh ku dipenuhi dengan luka lebam bekas pukulan gila yang setiap hari ku rasakan.
Jika orang bertanya, "apakah kamu membencinya? ". Aku akan menjawab, " tidak tau!. Aku di dileema, dia adalah ibu ku walaupun dia juga juga yang membuat ku luka dan sakit seperti ini. Aku masih bingung sikap apa yang harus ku ambil untuk menghadapi nya.
Aku tak pernah tidur nyenyak dan tenang selama ini. Aku selalu tidur dengan di selimuti oleh trauma yang sangat menyesakkan dadaku. Aku lelah jika harus terus menangis dulu sebelum tidur. Aku lelah jika harus terus berperang dengan pikiran ku sendiri.
"Bu.. Aku rindu.. anak kecil mu yang cengeng ini rindu akan sikap hangat mu. " lirih ku disela tangisan yang entah kapan akan berakhir.
Bintang malam ini seperti menatapku. Entah mereka menatapku kasihan ataukah mengejek ku. Di tengah malam yang dingin ini aku masih saja menangis. Rasanya hanya ini Satu-satunya jalan agar semua rasa sakit ku sedikit terasa sembuh. Di saat terdiam seperti ini, semua kejadian yang aku hadapi seolah-olah terputar kembali memenuhi isi pikiranku.
Tak ada tempat mengadu yang bisa merangkul ku saat ini. Aku terlalu takut untuk bertemu orang-orang diluar sana. Aku takut mereka akan melakukan hal yang sama terhadapku. Bahkan aku terhitung tak pernah menatap mereka saat berpapasan di jalan. Ketakutan, kecemasan dan rasa sedih berbaur menjadi satu dalam diriku.
Satu malam di saat itu dimana aku betul-betul telah menyerah terhadap hidupku sendiri, bahkan aku telah rela mati daripada harus terus-menerus merasakan sakit. Ia kembali menyeretku dengan sekuat tenaganya hingga aku menghantam tembok dengan keras. Aku memohon ampun, namun amarah nya semakin menjadi-jadi. Belum puas dengan itu, ia menyeretku menuju toilet lalu menyiramku dengan air di atas kepalaku.
Sungguh dingin yang sangat menusuk, aku menyerah saat itu. Tubuh ku tak lagi bisa menahannya lagi untuk tidak ambruk saat itu juga. Aku hanya tersenyum menatapnya sebelum perlahan mataku tertutup. Ku pikir ia akan berbaik hati memindahkan ku dari toilet ini. Namun nyatanya, disaat aku sadar aku masih berada dalam toilet itu. Aku berusaha keluar dari sana menuju kamarku dengan badan yang sangat sakit.
Aku berusaha kuat untuk sampai ke pantai, dengan langkah tertatih-tatih dan wajah yang pucat pasi. Desiran ombak yang kencang menghantam keras batu karang mengingat kan ku terhadap hal yang telah sering terjadi. Aku terhenti di pinggiran pantai dan mulai menjatuhkan diriku disana. Ku biarkan air pantai menyapa lembut kulit ku dan juga angin sepoi yang menerpa halus wajahku.
Aku kembali menangis, menangis dan terus menangis. Aku menatap lurus pada pantai ini sejauh mataku menangkap. Aku berteriak sekencang mungkin. Aku mengeluh kan semua isi hatiku dengan sekeras mungkin.
"INI TERLALU SAKIT TUHAN... AKU TAK SANGGUP... AKU RAPUH... " teriakku dengang diiringi tangisan yang sangat sakit bahkan bagi siapapun yang mendengarkan nya.
"TUHAN.. KAMU MARAHKAN JIKA AKU PULANG SENDIRI.. MAKA DARI ITU AKU MOHON JEMPUT AKU BERSAMA MU AKU SUDAH TIDAK SANGGUP LAGI TUHANNN..... " tangisku semakin histeris, sungguh sakit yang ku rasa ini.
"seumur hidup itu lama Tuhan, aku tak ingin diriku habis di tangan nya Tuhan. Aku lelah, aku sakit dan aku takut." lirih ku lagi sembari menatap lurus pada lautan luas di hadapan ku.
"Apakah Tuhan akan marah jika aku pulang sendiri? " tanya ku yang mulai tidak jelas.
Aku terdiam menatap batu karang yang sejak tadi terus dihantam oleh kerasnya ombak. Aku terdiam menatap daun yang terbawa angin, dan aku terdiam menatap ombak yang terus menggulung.
Aku menatap langit yang mulai hampir gelap. Aku kembali menangis, sungguh menangis yang sangat sakit rasanya jika di tahan. Aku terus menatap langit karena dengan itu aku bisa menghentikan air mataku walau sejenak. Namun aku masih sangat sakit untuk menatap tanah, ia telah menelan orang-orang yang ku sayang dan menyisakan ku dengan dia.
"Mengapa engkau tak juga menelanku? " ucapku di sela tangis saat menatap tanah dan memukulnya sekuat tenaga ku.
"Aku sendiri disini, tak ada yang bisa menjadi pendengar ku, bahkan tak ada yang bisa memelukku dan membawaku dalam kehangatan."
"Maaf jika aku terus menangis, karena ini sangat sakit. "
"Maaf jika aku teruh menuntut, karena ini sangat menakutkan. "
"Dan... Juga maaf... Jika AKU RAPUH. "