Suasana di lapangan sekolah terasa lebih tegang dari biasanya. Lampu-lampu redup menggantung di atas lapangan, hanya ada suara sepatu yang meluncur di atas lantai dan suara nafas yang terengah-engah.
Di satu sisi, tim basket ‘Harimau Biru’ dan tim ‘Rajawali Merah’ bersiap untuk pertandingan final kejuaraan basket antar—sekolah hari ini.
Semua mata tertuju pada mereka. Namun, di tengah semua kegembiraan dan sorak-sorai penonton, ada satu hal yang terasa berbeda hari ini.
Sesuatu yang tak terlihat, tetapi bisa dirasakan.
Di bangku cadangan, Rafi memegang bola basket dengan erat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. Hari ini adalah pertandingan yang sangat penting. Tidak hanya untuknya, tetapi untuk seluruh tim.
Rafi sudah lama bermimpi untuk membawa timnya juara, tetapi hari ini ada lebih dari sekadar kemenangan yang tergantung padanya.
"Rafi, kamu bisa. Percaya diri, ya?" Suara pelatih, Coach Malik terdengar mengingatkannya. Rafi membuka mata dan di balik senyum pelatihnya terdapat sesuatu yang tak bisa dia tafsirkan.
Hari seperti biasa di lapangan, sorak-sorai penonton yang didominasi perempuan terdengar. Rafi tidak tahu mengapa, tapi perasaan tidak enak mulai merayapi dirinya. Sejak beberapa minggu lalu, ada sesuatu yang aneh terjadi.
Bola basket ini yang selalu dia anggap sebagai sahabatnya, seolah memiliki kekuatan yang tak bisa dia jelaskan. Sejak pertandingan pertama kejuaraan dimulai, Rafi merasa seperti ada yang mengawasinya.
Namun hari ini hal yang paling aneh terjadi.
Suara peluit terdengar. Pertandingan dimulai.
Di awal babak pertama, Rafi merasa dirinya tidak bisa mengendalikan pergerakan tubuhnya dengan sempurna. Tembakannya sering meleset, bahkan untuk jarak yang seharusnya dia bisa lakukan dengan mudah.
Tim Rajawali Merah unggul jauh, kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Kenapa semua terasa begitu salah? Semua orang di lapangan tampak lebih cepat, lebih tangkas.
Apa yang terjadi padanya?
Di tengah permainan, sesuatu yang aneh terjadi. Tepat di sudut lapangan Rafi melihat seseorang berdiri di dekat pintu keluar—masuk.
Seorang pria dengan topi hitam dan jaket tebal, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Dia hanya berdiri diam, seolah menonton Rafi dengan tatapan tajam. Rafi merasa ada yang ganjil. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu, seharusnya dia fokus pada permainan.
Peluit berbunyi panjang. Waktu istirahat.
Di ruang ganti, suasana semakin aneh. Rafi duduk di pojok, mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus melayang ke sosok pria tadi. Siapa dia?Kenapa wajahnya yang tertutup terasa begitu familiar?
Saat teman-temannya bercakap-cakap, Rafi berdiri dan mendekati Coach Malik.
"Coach," suara Rafi terdengar ragu, "Ada yang aneh. Saya... saya melihat seseorang di tribun. Seorang pria dengan jaket hitam, saya merasa ada yang tidak beres."
Coach Malik menatapnya dengan tatapan serius. "Apa maksudmu, Rafi? Tidak ada siapa-siapa di luar sana. Fokus saja pada permainan."
Tetapi Rafi merasa ada yang aneh, dia kembali ke lapangan, perasaan itu semakin kuat. Suara-suara penonton mulai terdengar semakin jauh, seolah ruang dan waktu mulai terdistorsi. Bola basket itu kini terasa lebih berat. Setiap langkah di lapangan seperti melewati kabut tebal. Seperti ada tangan yang tak terlihat yang menariknya ke dalam kegelapan.
Satu detik, dua detik.
Tembakan terakhir. Waktu tinggal dua detik lagi di papan skor. Jika bola ini masuk, tim Harimau Biru akan memenangkan pertandingan. Tetapi, rasa takut menyelusup di dalam dada Rafi. Dia bisa merasakannya—kehadiran itu.
Dia menatap bola yang berada di tangannya. Mengingat kembali setiap pelatihan, setiap detik yang dia habiskan untuk ini. Tapi saat dia bersiap untuk melemparkan bola, bayangan pria itu muncul lagi di matanya. Wajahnya samar, namun Rafi bisa merasakannya, seperti ada pesan yang tak terucapkan.
Seperti ada yang memperingatkan dia.
Dia melangkah maju, bola berada di tangannya, dan dalam sekejap dia melemparkan bola itu ke udara.
Swish!
Bola itu masuk ke keranjang dengan mulus. Tim Harimau Biru menang, suara sorakan terdengar memenuhi arena, tapi di dalam diri Rafi ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Kemenangan ini terasa hampa.
Setelah pertandingan berakhir, Rafi berjalan ke luar lapangan, lalu di pintu keluar dia melihat pria itu lagi. Kini pria itu berdiri lebih dekat, tepat di dekat pintu yang mengarah ke ruang ganti.
Dengan langkah lambat, Rafi mendekatinya.
"Siapa kamu?" tanya Rafi dengan suara bergetar.
Pria itu menatapnya dalam diam, kemudian mengangkat tangannya dan melepaskan topinya—mengungkapkan wajahnya.
Rafi terkejut, kakinya lemas bak jelly. Itu adalah wajah kakaknya, Hadi—kakak yang telah lama hilang, yang telah meninggalkan keluarga mereka tanpa jejak bertahun-tahun lalu. Wajahnya tampak pucat, matanya kosong.
"Kak... Kak Hadi?" suara Rafi hampir tenggelam dalam kebingungan dan ketakutannya.
Kakaknya hanya tersenyum lemah, lalu dengan suara yang nyaris tak terdengar, dia berkata, "Kemenangan ini bukan milikmu, Rafi. Kemenangan ini adalah milikku yang telah kau ambil dari tanganmu."
Sebelum Rafi sempat bertanya lebih jauh, kakaknya menghilang. Menghilang ke dalam kegelapan suasana yang menelan jejaknya.
Rafi terdiam. Segalanya terasa seperti mimpi. Tetapi, satu hal yang pasti, bola basket yang selalu menjadi sahabatnya kini membawa beban yang tak pernah dia bayangkan. Kemenangan ini mungkin bukan hanya kemenangan yang seharusnya dirayakan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Dan siapa yang benar-benar menang malam?