Hey, jadi aku si Lia di cerita ini. Tapi sayangnya, sosok Arin yang seru dan selalu ada buatku itu cuma ada di imajinasiku. Hahaha! Kadang, aku berharap ada teman yang bisa mendukung dan memahami seperti dia. Semoga cerita ini bisa bikin kita semua mikir tentang pentingnya saling dukung, karena kita semua butuh seseorang di sisi kita, kan?
Happy reading guys
......
Kenangan Buruk yang Terhapus
Di sudut sebuah kamar yang temaram, aku duduk dengan kaki menyilang, menatap lembaran-lembaran putih yang berserakan di sekelilingku. Pikiran-pikiranku berputar, mengingat masa kecilku yang kabur. Meskipun saat itu aku masih kecil, rasa sakit yang ditinggalkan oleh perlakuan orang-orang terdekatku terasa begitu nyata. Seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti, tak pernah benar-benar menghilang.
“Bisa tolong bantu aku, Lia?” suara lembut sahabatku, Arin, memecah keheningan. Ia duduk di sampingku, memegang salah satu kertas yang tergeletak.
“Hmm? Apa itu?” aku berusaha tersenyum, meski hatiku masih dibebani.
“Aku ingin membuat puisi tentang persahabatan kita. Tapi aku butuh inspirasi. Kamu punya kenangan indah yang bisa kita pakai?” Arin menatapku dengan penuh harapan, dan seketika wajahnya menampakkan senyum yang ceria.
Aku menggeleng pelan. Kenangan indah yang diajukan seakan sulit dijangkau. Yang terbayang justru wajah-wajah yang pernah membuatku merasa kecil dan tak berharga.
“Aku... tidak begitu ingat,” jawabku, suaraku hampir berbisik. “Semua yang terlintas hanyalah kenangan buruk. Aku sering dilecehkan, bahkan oleh orang-orang terdekat. Rasanya seperti tidak ada yang bisa melindungiku.”
Arin mengerutkan dahi, wajahnya berubah serius. “Maksudmu, siapa yang berbuat begitu padamu? Kenapa kamu tidak bilang?”
“Karena mereka adalah orang-orang yang aku cintai,” kataku, suaraku mulai bergetar. “Aku tidak ingin mereka pergi dari hidupku. Dan setiap kali aku mencoba untuk melupakan, semuanya kembali menghantuiku. Aku ingin percaya bahwa itu hanya mimpi buruk.”
“Aku paham,” jawab Arin lembut. “Tapi kamu harus tahu, itu bukan salahmu. Mereka yang salah. Kita tidak bisa membiarkan masa lalu menghantuimu selamanya.”
Aku menggigit bibirku, berjuang untuk menahan air mata. “Tapi, kadang aku merasa seperti... seperti aku tidak lagi suci. Aku ingin kembali ke masa itu, ke saat ketika semuanya tampak lebih sederhana.”
Arin meraih tanganku, menghangatkannya. “Lia, suci itu bukan soal apa yang terjadi padamu, tapi bagaimana kamu memilih untuk bangkit. Mungkin kita bisa mulai dengan menulis tentang perasaan ini. Mungkin kita bisa mengubahnya menjadi kekuatan.”
“Aku tidak tahu apakah aku bisa,” kataku, suaraku penuh keraguan. “Semua yang aku ingat hanyalah rasa sakit.”
“Bagaimana kalau kita coba? Satu kalimat, satu kata, atau bahkan satu kenangan buruk. Kita bisa buat puisi yang bisa mengungkapkan semua ini. Kita bisa melakukannya bersama-sama.”
Tangan Arin yang hangat membuatku merasa sedikit lebih baik. Dalam sekejap, seolah aku melihat bayangan harapan di depan mataku. “Baiklah, mari kita coba,” kataku pelan, mulai mengumpulkan keberanian.
Dengan pensil di tangan, kami mulai menulis. Kata demi kata mengalir, seperti air yang menghapus jejak-jejak di pasir. Arin menulis dengan penuh semangat, sementara aku berusaha mengeluarkan semua yang terpendam. Setiap kalimat yang kutulis seperti mengeluarkan beban dari hatiku.
“Aku ingat saat-saat aku merasa dikhianati,” aku menulis, lalu membacakan dengan suara pelan, “Saat-saat ketika semua orang yang seharusnya melindungiku justru berbuat sebaliknya. Rasanya seperti terjebak dalam gelap, tanpa ada sinar harapan.”
Arin mengangguk, lalu menambahkan, “Tapi dalam kegelapan, kita masih bisa menemukan bintang-bintang. Mungkin kita bisa mencari bintang-bintang itu bersama.”
Kami terus menulis, berbagi cerita dan kenangan, meskipun penuh dengan rasa sakit. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa sakit itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan setiap kata yang kutulis, seolah-olah aku mulai menerima kenyataan. Bahwa meskipun masa laluku kelam, aku tidak sendirian.
“Kita bisa mengubah cerita ini, Lia,” kata Arin saat kami menutup puisi yang telah kami buat. “Kita bisa menjadikan cerita ini kekuatan untuk membantu orang lain yang merasakan hal yang sama.”
“Ya, mungkin itu bisa menjadi awal yang baru,” kataku, merasa seakan beban di pundakku mulai terangkat. “Aku ingin berjuang untuk diriku sendiri. Aku ingin melepaskan semua bayang-bayang itu.”
Dengan dukungan sahabatku, aku mulai melihat cahaya di ujung terowongan. Aku sadar, mungkin kenangan itu tidak akan sepenuhnya hilang, tetapi aku bisa memilih untuk tidak membiarkannya mengendalikan hidupku. Dan saat itulah, aku menyadari bahwa masa depan yang lebih cerah menantiku, jika aku berani untuk melangkah ke depan.