Di suatu sore yang dingin, Minju duduk di bangku taman, memandang kosong ke arah danau kecil yang permukaannya tenang. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang Heeseung, sosok yang membuatnya merasa utuh meskipun mereka tak lagi bersama.
Heeseung adalah satu-satunya orang yang membuat Minju bisa menjadi dirinya sendiri. Saat bersama Heeseung, ia bisa melupakan segala topeng yang harus ia kenakan di hadapan orang lain. Tidak ada tuntutan, tidak ada penghakiman—hanya kebersamaan yang sederhana. "Hanya kamu yang bisa membuatku merasa jadi diri sendiri," pikirnya.
Dalam hati kecilnya, Minju menyadari bahwa ia punya banyak kekurangan. "Kalau aku jujur sama diri sendiri, mungkin aku memang pantas mendapat lebih sedikit daripada apa yang Heeseung beri dulu." Kadang, ia menyesali semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Ia tahu, jika posisinya terbalik, dan ia adalah Heeseung, mungkin ia juga tak akan mau menerima dirinya kembali. Tapi perasaan itu tetap menguat, membisikan harapan yang sulit ditolak.
Sambil menghela napas panjang, Minju bergumam pelan, “Aku nggak mau kehilangan bagian dari dirimu yang masih ada di dalam hidupku, meskipun hanya kenangan.” Kenangan-kenangan itu menjadi satu-satunya pelipur lara, seolah Heeseung masih hadir di sisinya dalam setiap langkah, meskipun hanya berupa bayangan.
Di tengah heningnya sore itu, Minju sadar bahwa ia mungkin harus melanjutkan hidup, tapi ia tak yakin bisa sepenuhnya melepaskan sosok yang paling memahami dirinya. Bagi Minju, rasa sayangnya pada Heeseung adalah sesuatu yang takkan pudar begitu saja, terlepas dari jarak yang kini memisahkan mereka.