Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Jangan henti disini
Sementara
Lupakanlah rindu
Sadarlah, hatiku
Hanya ada kau dan aku
Suara sendu lagu Float berjudul Sementara mengawali kisah cinta ini. Kisah cinta antara aku dan dia.
Malam Natal ke-78 kali telah terjadi setelah kemerdekaan Indonesia sampai di tahun 2023 ini. Aku memandang gemerlap hiasan natal di depanku yang menghiasi beberapa toko dan perumahan. Musim hujan telah datang beberapa hari ini menyisakan suasana mendung yang terlihat muram.
Aku mengeratkan jaket bulu yang memeluk hangat diriku ini. Kupandangi kemeriahan malam natal di akhir bulan Desember ini. Enam hari lagi akan disusul pergantian tahun berikutnya. Ah aku sangat tidak sabar menantikannya.
"Aletta!"
Aku menoleh ke belakang melihat Ibuku yang sedang berjalan kesusahan dengan barang-barang belanjaannya. Bibirku meringis disaat menyadari keteledoran yang kurasakan, seharusnya aku membatu Ibuku saat ini.
Oh! Aku saat ini berada di Kota Semarang. Dua hari yang lalu aku bersama kedua orangtuaku kembali ke kota kelahiran omaku ini. Kami selalu sepakat untuk merayakan natal di rumah oma setiap tahunnya. Jarak antara Surabaya ke Semarang membutuhkan waktu yang lumayan. Jujur aku merasakan sedikit lelah tapi ayahku yang lebih dari itu. Kami memerlukan waktu empat jam via Jalan Tol Salatiga dan Kertosono.
Aku tidak tahu pasti. Itulah yang google maps katakan.
Aku segera membantu membawakan barang belanjaan Ibuku. Tampaknya dia sedikit kesal karena aku tak kunjung membantunya malah dengan santainya melihat sekitar.
"Maaf, Ma. Aku sedikit lupa." Kekehku seraya memasukkan barang belanjaan ke bagasi mobil.
"Mama tahu itu."
"Kelihatannya Mama sedikit murung." Godaku kepadanya.
Kami akhirnya memutuskan kembali ke rumah Oma. Dan kurasa barang yang dibeli Ibuku sudah cukup banyak, banyak sekali sampai kursi kemudi mobil terisi oleh mereka. Aku menghela napas kasar sembari membalikkan wajah ke arah jalanan. Kulihat hujan rintik-rintik sedikit membasahi kaca jendela mobil dan jalanan yang telah lembap sebelumnya.
Kadang aku ingin sekali merasakan hujan itu menembus pakaianku dan aku merasakan sensasi tangisan awan itu. Aku yang menari dengan guyuran hujan, wajahku basah, tubuhku mengkilat dan aku bahagia. Aku menikmati semua bayanganku itu.
"Musisi jalanan memang sedang digandrungi para anak muda." Kata Ibuku pelan.
Aku menoleh kepadanya dan menatap musisi jalanan itu yang disaksikan oleh orang-orang. Aku ingin melihatnya! Kebanyakan dari mereka akan menyanyikan cover lagu dengan suara yang easy listening. Namun tak jarang juga para musisi itu menciptakan lagu ciptaan mereka sendiri. Bukankah sangat menarik? Tentu saja.
"Aku ingin melihatnya." Aku bergumam pelan disaat mobil yang kami tumpangi melewati hal yang aku minati itu. Ada rasa sedikit hampa setelahnya namun aku mencoba menutupi itu dengan memutar radio di sepanjang perjalanan.
Setelah perayaan puncak Natal, keesokan hari tepat pukul delapan malam. Aku menelusuri Kota Semarang seorang diri di cuaca dingin malam hari. Aku bersyukur hari ini tidak turun hujan dan aku dapat menikmati kesendirianku mencari kebebasan untuk sekedar mencari toko unik atau berswafoto di sekitar jalanan.
Suara musisi terdengar dari kejauhan dan aku mengikuti arah suara itu. Suara senar gitar mengawali nyanyian dari musisi itu. Aku melihatnya, aku melihat seorang musisi jalanan yang sangat keren di mataku.
Jari jemarinya dengan lembut memetik senar gitar terarah. Matanya terpejam menghayati cerita dalam lagu yang akan ia bawakan. Pria itu memakai kemeja hitam dengan celana jas licinnya. Terkesan rapi tak seperti para musisi lain yang terlihat bebas.
Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah ha percayalah
Membisu itu ha anugerah
Aku memejamkan mata sejenak mendengarkan suara yang begitu menggetarkan hatiku. Suaranya sangat lembut dengan nada bas dari lagu yang dia nyanyikan.
Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Dan aku meneruskan nyanyian itu tanpa sadar. Bibirku bergerak pelan sembari terus menyaksikannya berseni.
"Teduhnya seperti hujan di mimpi.
Berdua kita berlari hu, hoo~"
Hujan di mimpi dari Banda Neira sangat pas mengawali momen ini. Aku menyukainya.
Dia terus bernyanyi mengitari lirik demi lirik. Kedua netranya telah terbuka dan entah mengapa aku merasa percaya diri kalau dia menatapku sembari hanyut dalam nyanyiannya. Anak-anak muda satu per satu berkumpul mengambil rekaman dan terkadang ikut bernyanyi menikmati arus kebebasan di malam hari ini.
Hatiku berdebar, aku bahagia, aku senang merasakan ini. Begitu bebasnya kita mngeluarkan ekspresi dari lagu. Menikmati kebersamaan dengan orang-orang asing sembari merasakan semilir angin malam membelai tubuh kami.
Aku menatapnya terus dan dalam. Dia menatapku seakan menyampaikan sesuatu lewat lagu yang ia nyanyikan. Petikan gitar terakhir telah menutup lagu itu dan semua orang bertepuk tangan dengan meriah. Aku sangat menyukainya sehingga aku pun bertepuk tangan seraya melompat girang tanpa sadar.
"Terima kasih semuanya." Ucapnya dari mikrofon.
Ah nikmatnya kebebasan ini.
Semuanya telah bubar setelah memberikan gift untuk pria itu. Aku segera mencari dompetku di dalam tas tote yang kukenakan. Kuambil selembar uang biru dan menggenggamnya.
Aku berjalan pelan menghampirinya yang terlihat tengah membereskan barang-barangnya. Kini hanya tinggal aku seorang yang akan memberikannya imbalan. Aku merasa gugup secara mendadak.
Dia terlihat berjongkok mengambil lembaran demi lembaran uang untuk dimasukkan ke dalam kantong sakunya. Aku mengulurkan tanganku sedikit gemetar. Harusnya aku juga berjongkok sehingga pria itu tidak terlihat rendah di hadapanku.
Sudah terlanjur, tertangkap basah pula. Pria itu mendogak melihatku dengan kedua alis terangkat sempurna.
"H-hai." Ucapku sambil ikut berjongkok dan memasukkan uang yang ku genggam tadi ke dalam tas gitarnya. Biarlah dia mengambilnya sendiri.
Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sepertinya aku terlambat menyaksikannya. Buktinya dia hanya mempersembahkan satu lagu dan selesai. Apakah memang seperti itu? Kupikir beberapa lagu musisi jalanan akan tunjukkan untuk para penonton.
"Apa aku terlambat menyaksikanmu bernyanyi?"
Pria itu memasukkan gitarnya dan menutup resleting penutup dengan pelan. "Aku memang menyanyikan satu lagu."
"Kenapa satu lagu?" Tanyaku penasaran.
"Tidak ada alasan khusus."
Dia bangkit dari posisinya. Aku pun sama dan aku melihatnya akan bersiap pergi meninggalkanku. Meninggalkanku?
Aku melihatnya berjalan pelan menjauh dariku dan menyisakan kehampaan. Apakah dia sungguhan seorang musisi? Tapi dari penampilannya seperti seorang pekerja kantoran yang hanya melakukan sebuah hobi. Dia terlihat hampa dan aku juga hampa karenanya. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Tidak! Aku hanya tertarik dengan suaranya yang indah.
Aku membalikkan tubuhku dan akan pulang setelah ini. Kukira pria itu meninggalkanku tapi nyatanya dia berbalik dan menepuk bahuku.
Aku tentu saja terkejut!
"K-kau?"
"Boleh aku mengetahui namamu?" Tanyanya tiba-tiba.
"A-aletta."
"Adimas."
Nyatanya karena perkenalan di hari itu membuatku lebih dekat dengan Adimas.
Aku menikmati waktu kami di kala senja. Dia menyanyikanku sebuah lagu manis mengawali kisah kita. Kami bernyanyi bersama-sama.
Karena dia aku merasakan hujan yang membuatku tenang. Adimas mewujudkan keinginanku. Kami telah merasakan guyuran hujan mrembasahi tubuh kami berdua.
Adimas memelukku dan kami berdansa kecil sembari menikmati dingin dan segarnya air hujan.
Aku tenang.
Adimas mengecup sudut bibirku lama di bawah hujan dari Tuhan. Kami saling merasakan perasaan bahagia ini. Dia membelai punggung basahku dan kembali mengajakku berhujan-hujan.
"Bisakah kita melewatinya?"
Adimas mengangguk yakin sembari terus mengecup pipiku beberapa kali.
"Heum."
Rumah Adimas tampak kosong dan diisi oleh tawa kami. Tidak ada hari esok yang kami pikirkan hanya sekarang, hari ini. Kami memadu kasih di bawah pohon beringin yang terawat bersih di depan rumah Adimas.
Tapi fakta kembali membuatku sadar. Kami saling berjauhan dan aku akan pergi meninggalkan kota ini. Aku harus kembali ke kehidupanku.
Aku mengenalnya dalam satu minggu dan aku harus meninggalkannya.
Tidak! Aku tidak seutuhnya meninggalkan Adimas. Saat aku kini telah berada di Surabaya sekitar dua minggu, kami tidak putus komunikasi. Aku selalu mengirimkan pesan kepadanya dan begitupun dengan dia.
Tahun sudah berganti sejak seminggu yang lalu. Dan aku tetap mempertahankan kubunganku dengan Adimas.
Baru saja aku merasakan bahagia seolah hatiku terisi kembali karena Adimas. Dia pergi menyusulku ke Surabaya hanya memberitahu bahwa ia sangat kesakitan.
"Aku juga sakit, Adimas." Ucapku parau, masih tak percaya apa yang aku dengar.
"Aku tidak bisa melanjutkannya."
"Kenapa?" Tubuhku bergetar karena tangisan.
Semalam kami berbahagia, saling melepas rindu dengan pelukan sepanjang malam. Kupikir Adimas menangis karena merindukanku tapi melihat hari ini, mungkinkah tangisannya semalam karena perpisahan kami?
Ya! Kami telah berpisah.
Adimas penganut Hindu setia dan orang tua nya tidak menyetujui hal itu. Aku percaya pada keyakinanku. Kami memang nyatanya berbeda.
Perlu kuberi tahu rahasia mengagetkan? Adimas bukanlah seorang musisi sejati, dia nyatanya bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di Semarang.
Kita semua dapat berseni apapun jenis pekerjaan kita.
Kini aku merenung di bawa pohon beringin itu. Kupandangi rumah yang telah kosong tak bertuan di depan sana. Air mataku menetes, semalang inikah kisah cintaku?
Aku tidak mendengar kabar dari Adimas sejak dua bulan yang lalu. Aku yakini dia pasti melupakanku dan mencari seseorang yang dapat mengisi hatinya kembali.
Percayalah, hati
Lebih dari ini pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara
Untuk sementara saja
Kisahku sampai di sini. Aku dan dia adalah berbeda. Dan dia untuk sementara saja.