Rindu itu selalu datang, tak pernah bosan mengetuk pintu hati. Aku duduk di sudut kamar, memetik senar gitarku pelan-pelan. Di luar, dunia tampak berjalan seperti biasa; orang-orang berlalu lalang, menjalani hidup mereka. Sedangkan aku hanya bisa terdiam, merasakan rindu yang begitu dalam.
Sudah berapa lama? Entahlah, waktu terasa kabur di dalam kerinduan ini. Setiap detik seolah mengalir lambat, mengiris hatiku sedikit demi sedikit. Aku tak bisa mengingat hari terakhir kita bersama, tapi aku masih bisa merasakan kehadirannya dalam setiap sudut ruangan ini.
Di sini, tempat kita dulu duduk sambil tertawa, dia pernah meninggalkan secangkir kopi yang belum sempat dia habiskan. "Bagaimana kabarnya?" Pertanyaan itu berulang kali muncul di benakku, meski aku tahu tak akan pernah ada jawaban. Kita hidup di dunia yang sama, tapi rasanya dia telah jauh, lebih jauh dari yang bisa kugapai.
Jarak tak selalu diukur dengan kilometer; terkadang ia hadir dalam keheningan, dalam ketidakhadirannya yang semakin hari semakin memekik. Aku rindu. Tapi lebih dari itu, aku rindu diriku saat bersamanya. Kita dulu tak terpisahkan. Setiap pagi selalu dimulai dengan suaranya, dengan kata-kata sederhana yang menghangatkan hati. Hari-hari terasa ringan, seolah dunia pun memberikan tempat bagi kita untuk bernapas tanpa beban. Namun kini, semua berbeda; setiap pagi adalah pengingat bahwa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa lagi kugenggam.
Rinduku padanya seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun aku pergi. Setiap kali aku mencoba melarikan diri, ia tetap ada di sana, menyelinap masuk ke setiap sudut pikiranku. Saat berada di antara keramaian, rinduku justru semakin kuat, membuat sepi terasa begitu menyakitkan. Aku bertanya-tanya, bagaimana caranya hidup dengan rindu yang tak pernah terpuaskan ini?
Lalu, sebuah kenangan muncul. Ketika kita duduk di teras rumah, tawanya selalu menjadi melodi yang paling kurindukan. Saat itu, kita berbicara tentang masa depan, tentang impian yang akan kita wujudkan bersama. Tapi entah bagaimana, impian itu kini terasa seperti cerita yang tak pernah selesai. Dia pergi, dan aku tertinggal di sini, mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan mimpi yang tak lagi utuh.
Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah dia juga merasakan rindu yang sama? Apakah ada saat-saat ketika dia terdiam, seperti aku sekarang, dan mengenang apa yang pernah kita jalani? Tapi kemudian aku menyadari, mungkin pertanyaan itu tak pernah punya jawaban. Dia memilih jalannya, dan aku dibiarkan terjebak di persimpangan, hanya ditemani oleh rasa rindu.
Waktu terus berjalan, dan hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Rinduku tetap ada, kadang menyerang dengan kuat. Aku hanya bersembunyi di balik senyum palsu yang kuberikan pada dunia. Tapi satu hal yang pasti: Aku dan Rinduku kini tidak akan terpisahkan. Ia menjadi teman setiaku, yang tak pernah meninggalkanku sendirian, meskipun kehadirannya sering kali menyakitkan.
Dan di saat malam tiba, ketika langit gelap menggantung tanpa bintang, aku selalu bertanya pada diriku sendiri: sampai kapan rindu ini akan bertahan? Sampai kapan aku akan terus mencarinya dalam bayang-bayang kenangan, tanpa pernah benar-benar menemukannya?
Namun, meski semua pertanyaan itu tak pernah terjawab, aku tahu satu hal. Rinduku adalah bukti bahwa dia pernah hadir di hidupku. Bahwa di suatu masa, ada kita. Dan meskipun kini yang tersisa hanya Aku dan Rinduku, aku akan terus mengenangnya.
Mungkin pada akhirnya, rindu bukanlah sesuatu yang harus kulawan. Mungkin, rindu hanyalah bagian dari perjalanan hidup, bagian dari diriku yang harus kuterima. Dan meskipun dia tak lagi di sini, rinduku akan selalu menjadi pengingat bahwa cinta kita pernah ada.
Aku dan Rinduku, kami akan terus berjalan. Meski tanpanya, kami akan tetap melangkah.