Ketika ada di rumah, suasana terasa dingin. Seluruh anggota keluarga tidak mengeluarkan satu kata pun. Bukan karena kecewa atau marah tetapi pusing memikirkan caranya membayar wisata sekolahku.
Awalnya aku ingin mengurangi beban kedua orang tua dengan tidak ikut study. Namun belum selesai keinginanku, ayah semula diam seribu bahasa langsung membantah.
“Tidak, kamu harus tetap ikut” Sudah tidur saja, besok ayah pikirkan uang untuk membayar study tour kamu”.
Aku menyusuri ruang tengah menuju kamar. Meski tidak bisa tidur, aku coba memejamkan mata dan tidak memikirkan apapun tetapi isak tangis ibuku terdengar lirih dan semakin membuatku tidak bisa tidur lelap.
Aku mengetahui betul alasan ibuku menangis tetapi ayah bersikeras menyuruhku mengikuti kegiatan sekolah tersebut. Ia merupakan sosok pria yang tidak pernah membiarkan anaknya sedih bahkan malu karena ketidakmampuannya.
Saat itu, malam belum terlalu larut sampai pukul 8.00 malam suara pintu pun terketuk memecahkan hening di rumah. Kemudian eorang tetangga datang membawa amplop cokelat.
“Malam pak, mohon maaf saya datang malam-malam”
“Tidak apa-apa, silahkan masuk” sambut ayahku.
Setelah berbincang santai, tetanggaku menyerahkan amplop cokelat kepada ayahku. Ini merupakan uang pembayaran tanah yang digunakan untuk jalan desa beberapa bulan lalu. Seketika ayah pun terkejut karena uang yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya tiba-tiba diantarkan ke rumah.
Awalnya tanah yang tidak seberapa itu ayah relakan menjadi jalan umum. Namun karena kebijakan desa, tanah tersebut pun dibeli. Setelah tetanggaku pergi, ibu langsung masuk ke kamar sambil memeluk erat.
Tanpa berkata panjang, ia memberikan uang untuk membayar study tourku. Air mata pun tidak bisa tertahan dari mata dan malam itu rasa syukur memenuhi hatiku.