Sebut saja namaku Difa. Aku adalah seorang anak gadis yang ditakdirkan memiliki keterbatasan fisik. Kakiku yang sebelah kiri mengalami kelumpuhan sejak lahir, sedangkan kaki kananku memiliki ukuran yang lebih kecil serta tidak memiliki kekuatan normal seperti kaki orang pada umumnya. Dalam mobilitasku sehari-hari aku menggunakan alat bantu dua buah tongkat atau kruk. Meskipun selalu banyak kendala dan hambatan, namun semua itu tak lantaran membuatku patah semangat. Aku tetap berusaha untuk tegar. Aku yakin Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada hamba-Nya melebihi kemampuannya. Tuhan pasti punya rencana yang terbaik untukku.
Aku tinggal di sebuah desa kecil bersama kedua orang tua, nenek, beserta kakak dan adik laki-lakiku. Ekonomi keluargaku bisa dibilang lumayan berkecukupan, karena walaupun Ayahku hanya sebagai petani, namun Ayah memiliki beberapa petak sawah dan kebun peninggalan mendiang kakek. Sedangkan Ibuku selain menjadi ibu rumah tangga beliau juga membuka kios di samping rumah. Meskipun hanya sebagai petani dan berdagang namun orang tuaku mampu membiayai kuliah kakakku.
Ada perbedaan perlakuan dari kedua orang tuaku terhadap diriku dengan kedua saudaraku. Apa yang kedua saudaraku inginkan selalu dituruti sementara apa yang aku perlukan sering ditunda-tunda bahkan terabaikan. Kedua orang tuaku kurang bisa memahami tentang keadaanku bahkan banyak tuntutan yang tak semestinya. Sebagai satu-satunya anak perempuan aku kerap kali menerima kemarahan Ibu lantaran aku dinilai tak mampu membantu pekerjaan Ibu, padahal aku sudah berusaha semampuku. Sementara Ayah tak pernah memberikan pembelaan seperti halnya ayah dari teman-temanku yang selalu membela putrinya ketika dimarahi sama ibunya. Aku pun menjadi iri kepada mereka, aku merasa kedua orang tuaku belum benar-benar bisa menerima tentang keadaanku yang seperti ini. Hanya Neneklah yang selama ini lebih perhatian dan menunjukkan kasih sayangnya kepadaku.
Sebagai anak difabel aku tak luput dengan stigma negatif dari lingkungan sekitar. Apalagi masyarakat di desaku serta para perangkatnya kurang memahami tentang hak-hak disabilitas. Aku sejak kecil sering kali dipandang sebelah mata dan tidak jarang pula mengalami perlakuan yang kurang adil di tengah masyarakat. Contohnya saja saat aku masih kanak-kanak aku tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan apa pun di desaku termasuk ajang perlombaan. Padahal ada lomba baca puisi dan menyanyi yang tidak harus membutuhkan ketangkasan fisik, tapi entah mengapa aku tidak pernah diikutsertakan. Mungkin saja bagi mereka sosok anak cacat dengan dua buah tongkat yang tampil di atas panggung tidaklah sedap dipandang mata. Aku tidaklah terlalu kecewa dengan hal ini, bagiku itu hal yang sudah biasa terjadi pada diriku dan aku pun selalu introspeksi diri. Beda halnya dengan Nenek, beliau yang selalu lebih perhatian kepadaku menjadi bersedih dan iba padaku, karena beliaulah yang setiap hari mendukungku dan menemaniku berlatih membaca puisi dan menyanyi dengan harapan aku bakal diikutsertakan dalam perlombaan.
Kini setelah aku tumbuh remaja aku mulai menyadari bahwa semua yang pernah kualami semasa kecil adalah pendorong bagi diriku sendiri agar lebih semangat dalam menggapai cita-cita untuk kelangsungan hidupku di masa depan. Aku mulai berfikir bahwa aku harus bisa menunjukkan kepada semua orang termasuk kedua orang tuaku sendiri bahwa aku yang memiliki kekurangan ini mampu hidup mandiri tanpa terus bergantung kepada mereka. Dan aku yakin dengan semangat yang tinggi dan perjuangan yang tanpa lelah disertai do'a semua itu pasti bisa aku raih.
Setelah lulus SMA aku berkeinginan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, namun apa daya orang tuaku tak menyetujui dengan alasan biaya, padahal aku telah mendapatkan beasiswa untuk siswi berprestasi. Sedangkan kakak laki-lakiku yang sejatinya kurang tertarik untuk kuliah justru didorong dan dibujuk terus agar mau melanjutkan kembali kuliahnya yang sempat terhenti. Aku tak habis mengerti, mengapa masih saja kedua orang tuaku tak menghargai prestasi dan kemampuanku, selalu saja kekurangan fisikku yang mereka jadikan alasan, kekhawatiran, kasihan, dan lain sebagainya. Di tengah kekecewaanku aku terus berusaha untuk tetap tabah dan sabar. Mungkin ini memang bukan jalanku, aku tak boleh larut, aku harus berbuat sesuatu.
Di sebuah pagi yang cerah aku berkemas diri untuk sebuah tekat demi masa depan. Aku berpamitan kepada kedua orang tuaku untuk pergi mencari pekerjaan di luar sana. Mereka pun tak keberatan mengizinkan aku pergi dengan pertimbangan agar aku mendapatkan pengalaman. Tiba-tiba aku menjadi sedih karena seolah-olah mereka membiarkan aku pergi begitu saja tanpa ada rasa khawatir sedikit pun. Hanya Nenek yang nampak sangat khawatir tak tega melihat aku seorang gadis dengan keadaanku yang seperti ini pergi meninggalkan rumah sendirian tanpa tujuan yang pasti.
"Nduk kamu mau ke mana? Sama siapa?" Tanya Nenek sembari tangannya meraih lenganku. Sesaat aku terdiam tak mampu berkata apa-apa. Seakan mengerti dengan apa yang aku rasakan, Nenek pun seketika memelukku sambil mengusap-usap rambutku yang tertutup oleh hijab. Dan tak terasa air mataku pun mengalir menetes membasahi baju Nenek yang sudah kusam. "Yang sabar ya Nduk, maafkan ayah ibumu." Nenek berusaha menghiburku.
"Nggak apa-apa kok Nek, mereka nggak salah, mungkin ini salahku, aku anak yang tak berbakti kepada orang tua."
"Sudah.. sudah.. jangan bilang begitu." Nenek langsung memotong perkataanku sembari mengusap air mata di pipiku dengan jari-jarinya yang sudah keriput. "Aku tinggal dulu ya Nek, do'akan cucumu agar mendapat pekerjaan." "Iya Nduk hati-hati ya." Tak lama kemudian aku pun meninggalkan Nenek yang masih termangu sendirian di depan rumah.
Hari itu kubulatkan niatku untuk mengadu nasib mencari pekerjaan demi untuk masa depanku yang lebih baik. Meskipun belum ada tujuan yang pasti, namun aku tetap yakin akan menemukan hasil. Walaupun aku seorang difabel aku tak akan malu kalaupun harus mencari pekerjaan dari toko ke toko, dari pabrik ke pabrik, bahkan ke pasar sekali pun akan aku datangi. Aku tak peduli kalaupun harus mendapat pekerjaan yang kurang layak. Yang penting bagiku halal dan mampu aku kerjakan.
Kulaju sepeda motor roda tigaku berpacu dengan semangatku menjelajahi jalan demi jalan di tengah-tengah keramaian kota. Sesampainya di area pertokoan aku kurangi kecepatan sepeda motorku sambil sesekali menengok ke kiri ke kanan, dengan harapan ada papan pengumuman bertuliskan lowongan pekerjaan. Namun setelah beberapa kali aku putar balik di kawasan industri dan perkantoran, aku tak juga menemukan apa yang aku cari. Hingga pada deretan paling ujung aku berhenti tepat di depan sebuah ruko yang menerima jasa percetakan dan fotokopi. Kuperhatikan dengan seksama dan kubaca tulisan di dinding ruko tersebut, "menerima karyawan baru, di utamakan memiliki keahlian di bidang desain," bacaku dalam hati dengan rasa gembira. "Wah ini dia, perlu aku coba siapa tahu ada peluang untukku," semangatku membara.
Segera kuparkirkan motor roda tigaku di halaman ruko yang lumayan luas. Aku segera turun dari sepeda motor lalu kuayunkan kedua tongkatku silih berganti mengimbangi tapak langkah kakiku yang sedikit menggantung di atas tanah. Beberapa pasang mata seketika tertuju padaku. Pandangan mata mereka yang penuh tanda tanya itu menyapu ke seluruh anggota tubuhku dari atas hingga ke ujung kaki. Entah apa yang ada di benak mereka, seolah mereka sedang mengamati makhluk ciptaan Tuhan yang aneh yang jarang mereka temui.
Seorang bapak-bapak bergegas menghampiriku seraya berkata "Maaf, ada yang bisa kami bantu Mbak?" "Iya Pak, bolehkah saya minta informasi sedikit tentang itu?" Aku menjawab pertanyaan Bapak itu sembari tanganku menunjuk ke arah dinding ruko tempat pengumuman lowongan pekerjaan dipajang. "Oh itu Mbak, tapi dengan sangat menyesal kami mohon maaf karena itu hanya untuk kriteria tertentu saja." Bapak itu memberi penjelasan sambil sesekali tatapan matanya melintas sejenak ke arah kakiku seakan memberi kode. "Maksudnya Pak?" Aku pura-pura tak mengerti. "Ehm... begini Mbak, ada syarat dan ketentuan yang berlaku, contohnya mohon maaf, sehat jasmani dan rohani." Jawab Bapak itu sambil memberikan beberapa lembar kertas yang berisikan tentang persyaratan kerja di sana. "Tapi saya bisa kok Pak, saya punya sertifikat lulusan kursus desain grafis, lagi pula desain grafis bisa dikerjakan sambil duduk kan Pak?" Aku berusaha meyakinkan kepada Bapak itu akan kemampuanku, namun apa hendak mau dikata, Bapak yang tak lain adalah sekuriti di tempat itu tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa aku tidak memenuhi syarat untuk menjadi karyawan di sana. Seketika itu rasa kecewa dan kesal pun menyelubungi benakku. Ternyata mereka lebih menilai fisik ketimbang keahlian. Akhirnya aku pun bergegas pergi meninggalkan lokasi.
Hari makin panas, diiringi hembusan angin yang tak pernah lelah bertiup menyelinap hingga ke sudut-sudut kota, menandakan musim kemarau masih berlanjut. Deru mesin kendaraan yang lalu-lalang terus meramaikan suasana jalan raya. Kebisingan suasana kota semakin menambah kalutnya pikiranku. Aku merenung dengan apa yang telah kualami. Aku hampir putus asa dan hendak pulang. Namun setelah teringat akan sikap kedua orang tuaku, semangatku bangkit kembali dan aku berjanji dalam hati, aku tak boleh pulang tanpa membawa kabar baik.
Aku yang sedang lelah duduk bersandar melamun di atas sepeda motorku yang terparkir di tepi jalan sebelah selatan alun-alun kota, tiba-tiba aku terperanjat oleh sebuah sentuhan tangan ke lenganku yang dibarengi dengan sebuah suara sapaan.
"Dik..."
Aku sedikit tergagap ketika melihat sosok bapak-bapak setengah tua yang menyapaku. "Ada apa Pak?" Tanyaku agak sedikit bingung.
"Maaf Dik saya mau jualan di sini, ini tempat yang biasa buat saya jualan."
"Oh maaf.... maaf ya Pak, saya tadi kebetulan hanya menumpang istirahat saja di sini."
"Iya tidak apa-apa kok Dik."
Aku segera memindahkan sepeda motorku ke sisi yang agak jauh dari lokasi Bapak itu akan berjualan. Aku turun dari motor hendak menghampiri Bapak itu.
"Hati-hati Dik."
Melihat keadaan fisikku Bapak itu dengan sigap bergegas menghampiriku. Bapak itu tampak sedikit gugup sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku turun dari sepeda motor roda tiga milikku.
"Nggak usah Pak, saya bisa kok." Aku menolak dengan halus pertolongan Bapak itu.
"Sudah lama Pak jualan di sini?" Tanyaku kepada Bapak itu.
"Ya... lumayanlah Dik"
"Bapak jualan apa?" Aku bertanya lagi sambil mengamati barang-barang jualan Bapak itu yang masih terbungkus lembaran-lembaran koran dan kardus.
"Ini Dik, Bapak hanya jualan coretan." Aku semakin penasaran dengan jawaban Bapak itu.
"Coretan? Apa itu Pak?" Tanpa menjawab Bapak itu membuka bungkus barang jualannya dan menunjukkannya kepadaku. Dan aku pun terperangah. Bapak itu ternyata jualan lukisan. Entah kenapa tiba-tiba aku merinding, takjub, heran, namun juga membuatku sedih dan iba. Lukisan-lukisan sebagus itu hanya dibungkus koran tanpa pigura yang layak dan lebih parahnya lagi dijual di tepi jalanan. Seharusnya lukisan-lukisan itu bisa dibikin lebih mewah dengan media lukis yang standart biar lebih berkelas. Melihat ini tergeraklah hatiku untuk membantu.
Obrolan demi obrolan cerita demi cerita aku pun semakin akrab dengan Bapak itu. Kami pun berkenalan, Bapak itu bernama Hasto, tempat tinggalnya tak jauh dari alun-alun. Hampir setiap hari aku datang ke tempat Beliau jualan. Dengan segenap hati aku membantu mempromosikan lukisan-lukisannya dengan cara yang berbeda dan lebih terhormat. Dari sini aku menjadi terinspirasi untuk belajar melukis kepada beliau. Dan keinginanku pun tercapai.
Kini hasil lukisanku semakin hari semakin bernilai dan bahkan aku mampu membiayai kuliahku sendiri dengan hasil karya lukisanku. Hari demi hari kulewati, coretan demi coretan semakin mewarnai hidupku bersama imajinasiku yang tertuang ke dalam lukisan hasil karyaku sendiri. Sebuah perjuangan yang berakhir dengan senyuman.