Matahari terik menyinari sawah yang luas, membentang sejauh mata memandang. Di tengah hamparan hijau itu, berdiri seorang gadis remaja bernama Gracia, dengan kulit kecokelatan dan rambut hitam legam yang diikat sederhana.
“Gracia, ayo bantu Bapak!” teriak Bapak dari kejauhan.
Aku berlari kecil menuju Bapak, membantu beliau mencangkul tanah. Aroma tanah basah dan keringat Bapak menyapa hidungku. Aku suka sekali berada di sawah bersama Bapak. Di sini, aku merasa tenang dan damai.
“Kamu mirip sekali dengan Ibu, Gracia,” kata Bapak sambil tersenyum.
Aku tersenyum tipis. Memang, wajahku lebih mirip dengan Ibu. Pipi chubby dan mata bulat seperti Ibu. Tapi, sifatku lebih mirip dengan Bapak. Kuat, pekerja keras, dan tak mudah menyerah.
Sejak kecil, aku sering di-bully di sekolah. Teman-teman sering mengejekku karena aku anak petani, pakaianku sederhana, dan aku tak pandai bergaul. Suatu hari, sepatu sekolahku robek, tali sepatu yang sudah usang pun putus. Aku terpaksa berjalan dengan sepatu yang robek dan tali yang diganti dengan karet gelang. Aku malu sekali, dan teman-teman pun tak henti-hentinya mengejekku.
“Lihat, Gracia! Sepatunya robek! Kayak orang miskin!” teriak Rara, anak kepala desa, sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku menunduk, air mataku hampir menetes. Aku selalu diam, takut untuk menceritakannya kepada Bapak.
Masuk SMP, aku bertekad untuk membuat mereka menyesal. Aku mulai belajar dengan tekun. Setiap pagi, sebelum membantu Bapak di sawah, aku menyempatkan diri untuk membaca buku pelajaran. Sore hari, setelah membantu Ibu memasak, aku mengerjakan soal-soal latihan. Aku meminjam buku-buku dari perpustakaan sekolah dan belajar dari kakak kelas yang baik hati. Aku juga meminta bantuan guru untuk menjelaskan materi yang sulit. Aku tak pernah menyerah, meskipun sering kali merasa lelah dan bosan.
Saat ujian tiba, aku sudah siap. Aku mengerjakan soal-soal dengan tenang dan cermat. Aku tak ingin mengecewakan Bapak dan Ibu yang selalu mendukungku. Hasilnya, aku berhasil menjadi juara kelas selama tiga tahun berturut-turut.
“Lihat, Bapak! Gracia juara lagi!” seruku, menunjukkan raporku kepada Bapak.
Bapak tersenyum bangga. “Hebat, Gracia! Bapak bangga padamu.”
Saat aku kembali ke sekolah, suasana terasa berbeda. Teman-teman yang dulu sering mengejekku, kini memandangku dengan tatapan kagum dan sedikit rasa hormat. Rara pun tak lagi berani mengejekku. Ia bahkan mencoba mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Namun, aku tak mudah percaya. Aku masih ingat bagaimana mereka memperlakukanku dulu.
Meskipun begitu, aku tetap bersikap baik kepada semua orang. Aku belajar untuk memaafkan dan melupakan masa lalu. Aku ingin membuktikan bahwa aku bukan hanya pintar, tapi juga baik hati dan rendah hati.
Di SMA, aku masuk kelas unggulan. Aku terus termotivasi untuk belajar dan meraih prestasi. Aku tertarik dengan pelajaran matematika. Rumus dan logika matematika bagaikan teka-teki yang menantangku untuk memecahkannya. Aku merasa puas ketika berhasil menyelesaikan soal-soal matematika yang rumit.
Aku bermimpi untuk melanjutkan kuliah di bidang matematika. Aku ingin belajar tentang matematika yang lebih kompleks dan mendalam. Aku ingin menjadi seorang ahli matematika yang bisa berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, masalah menimpa keluarga kami. Musim kemarau panjang melanda desa kami. Sawah mengering, panen gagal, dan kami kehilangan penghasilan utama. Harga pupuk dan pestisida terus naik, sementara harga gabah tetap rendah.
Bapak terpaksa menjual sebagian sawah untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Kami juga harus mengurangi pengeluaran, makan seadanya, dan menunda membeli baju baru.
“Gracia, Bapak tidak bisa membiayai kuliahmu,” kata Bapak dengan wajah sedih.
Aku terdiam, mataku berkaca-kaca.
“Jangan khawatir, Gracia. Kami akan berusaha agar kamu bisa kuliah,” kata Ibu, mengelus rambutku.
Ibu dan Bapak bekerja keras untuk mengumpulkan uang. Mereka menjual sebagian sawah dan meminjam uang dari kerabat.
Akhirnya, mimpi kuliahku terwujud. Aku diterima di universitas ternama di provinsi kami, dan aku memilih jurusan Matematika. Aku sangat senang dan bersyukur. Aku bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan meraih prestasi yang gemilang.
“Terima kasih, Bapak, Ibu. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh untuk membanggakan kalian,” kataku, memeluk Bapak dan Ibu erat-erat.
Aku tahu, jalan menuju kesuksesan tak selalu mulus. Akan selalu ada rintangan dan tantangan. Tapi, aku yakin, dengan tekad dan semangat yang kuat, aku bisa meraih mimpi-mimpiku.
Seperti Bapak, aku akan terus berjuang, tak mudah menyerah. Dan seperti Ibu, aku akan selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi orang lain.