Dulu, aku adalah seorang raja. Raja tanpa tahta, tapi dengan kekayaan yang bisa kubentangkan di atas peta dunia dan tak akan ada yang berani mempertanyakannya. Arga Mahendra, nama yang dipasang besar-besar di pintu masuk perusahaanku, di kartu nama berlapis emas, bahkan di label dompet kulit buaya yang khusus dipesan dari Italia. Di umur empat puluh tahun, hidupku seperti parade kemenangan yang tak pernah usai. Mobil sport berjajar di garasi seperti jajaran piala, rumah megah bagai istana, dan hari-hariku dihabiskan dalam keangkuhan yang entah bagaimana terasa manis.
Tapi hari ini, aku berjalan di pinggir jalan kota yang hiruk-pikuk. Udara kota yang panas menyengat menghantam wajahku, membawa aroma yang dulu asing bagiku, tapi kini akrab. Bukan bau parfum mahal atau segar bunga dari buket meja kerjaku, melainkan bau keringat, asap kendaraan, dan aroma nasi goreng pinggir jalan. "Ironis sekali," pikirku, tertawa kecil. Dulu, aku pikir orang-orang yang hidup di jalanan seperti ini hanya bagian dari latar belakang hidupku, sesuatu yang kulihat dari balik kaca mobil ber-AC. Kini aku berjalan di antara mereka, berbaur dalam denyut nadi kota yang penuh sesak.
Aku tersenyum, getir tapi lucu. Kalau diingat-ingat, kejatuhanku terjadi begitu saja, seolah nasib menunggu momen yang sempurna untuk menghempaskanku tanpa peringatan. Aku masih ingat dengan jelas hari di mana tanda-tanda awal muncul. Perusahaanku mulai mengalami masalah. Masalah keuangan, kata manajerku dengan suara lirih di ruang rapat. Aku, tentu saja, menanggapi dengan tawa, menepuk bahunya, "Masalah keuangan? Di sini? Uang itu kan cuma ilusi, asal kau tahu cara mainnya, dia akan datang sendiri."
Ternyata, aku salah besar. Dalam hitungan bulan, perusahaan yang kubangun dari nol itu perlahan berubah menjadi beban. Aku kehilangan klien, kontrak diputus, dan, dengan sedikit cemas, aku harus mulai memotong pengeluaran. Awalnya, kupikir itu hanya sementara. Tapi ternyata, badai yang kurasa sekadar angin sepoi-sepoi itu tumbuh jadi topan yang menenggelamkanku. Kreditur mulai datang mengetuk pintu. Sahamku terjun bebas. Rumahku, mobil-mobilku, bahkan aset-aset yang kuanggap akan bertahan selamanya, semuanya disita satu per satu. Orang-orang yang dulu selalu menemaniku di meja makan panjang penuh anggur mahal tiba-tiba menghilang, seolah mereka tak pernah ada.
Lalu datanglah hari yang paling berkesan: hari di mana aku resmi tak punya apa-apa lagi. Sungguh ironis—selama ini aku hidup seperti raja, dan sekarang aku seperti anak hilang, terlempar ke jalan tanpa satu pun teman sejati. Aku tertawa kecil lagi, kali ini lebih getir. Di tengah kehancuran, humor jadi satu-satunya pelipur. Aku kini tinggal di rumah sederhana yang bahkan tak pernah terlintas di pikiranku akan kutempati. Kursi plastik di ruang tamu, bantal yang entah kenapa selalu berbau anyir, dan suara bising dari jalanan yang seakan tak pernah tidur.
Tapi, hari demi hari, di tengah kejatuhanku, aku mulai menemukan sesuatu yang dulu hilang: kehangatan sederhana. Tetanggaku yang selalu menyapaku setiap pagi, tukang sayur yang ramah dengan senyum murah hati, dan orang-orang yang tidak tahu siapa aku—atau mungkin tahu tapi tak peduli. Aneh, ya? Dulu, aku dikelilingi oleh orang-orang yang kupikir adalah teman. Nyatanya, dalam dunia gemerlap itu, aku hanya orang asing yang bersembunyi di balik kemewahan. Dan di sini, dalam kesederhanaan, aku mulai merasakan apa itu kebahagiaan yang tidak berlapis basa-basi.
Ada satu pengalaman yang selalu membuatku tertawa kalau mengingatnya. Suatu hari, aku mencoba berbelanja di pasar untuk pertama kali dalam hidupku. Seorang ibu menyodorkan harga, dan aku, dengan bodohnya, langsung menyetujuinya. Melihat ekspresiku, seorang pedagang di sebelahnya menyenggolku sambil tertawa, "Mas, kalau di sini harus tawar-menawar dulu. Masa iya orang kaya nggak tahu cara beli cabe?"
Aku hanya bisa tertawa sambil menggaruk kepala. Dulu, aku biasa menghabiskan puluhan juta di toko mewah tanpa berpikir dua kali, dan sekarang, aku belajar menghargai setiap rupiah yang kukeluarkan. Rasanya lucu, sekaligus menyedihkan, bahwa baru sekarang aku belajar arti uang yang sebenarnya. Tapi, ada kebahagiaan tersendiri di situ. Setiap rupiah yang kutabung, setiap senyum yang kuterima dari orang-orang di sekitarku, terasa seperti kekayaan yang tak ternilai harganya.
Lama-lama, aku sadar, kejatuhan ini bukan akhir, melainkan awal. Awal dari hidup yang lebih nyata. Awal dari hidup di mana aku bukan lagi raja tanpa tahta, tapi manusia biasa yang belajar arti kebahagiaan. Malam-malamku kini kuhabiskan dengan menatap langit, menikmati suara alam yang dulu tak pernah kudengar di balik dinding kaca rumah mewah. Aku merasa hidup, untuk pertama kalinya dalam hidupku. Tidak ada lagi topeng, tidak ada lagi peran yang harus kuperankan. Hanya ada aku, yang apa adanya.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, “Apakah ini memang takdir?” Mungkin saja. Karena dulu, ketika aku punya segalanya, aku selalu merasa hampa. Segala kemewahan, kekuasaan, dan pengakuan yang kumiliki ternyata hanya cangkang kosong. Sekarang, tanpa apa-apa, aku merasa lebih kaya daripada sebelumnya. Kaya dengan cinta, dengan ketulusan, dengan kehidupan yang sesungguhnya.
Suatu hari, aku berjalan ke pantai sendirian, memandang cakrawala yang seolah tak berujung. Aku merenung, tersenyum, dan dalam hati berterima kasih pada kehidupan. Pada saat itu, aku sadar, jatuh miskin bukanlah hukuman, tapi kesempatan untuk menemukan diriku yang sebenarnya. Aku, yang dulu punya dunia tapi kehilangan diri, kini telah menemukan segalanya kembali.
Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan angin laut membelai wajahku, dan dalam hati berbisik, “Terima kasih, hidup, telah mengajarkanku arti sejati dari segala yang kupunya.”
Aku berdiri di tepi pantai, membiarkan pasir menggigit kakiku dan air laut yang dingin menyentuh jemari. Dulu, tempat seperti ini hanya kukunjungi untuk sebuah pesta, acara yang penuh kemegahan, di mana aku datang dengan setelan jas terbaik, melangkah di atas pasir dengan alas kaki mahal yang, jujur saja, tidak cocok untuk pantai. Kini, aku berdiri di sini tanpa alas kaki, merasakan langsung butir-butir pasir yang lembut—dan untuk pertama kalinya, aku merasa pantai ini benar-benar hidup.
Ada suara anak-anak tertawa, pasangan yang duduk bersama menikmati matahari terbenam, dan ombak yang bergulung tenang. Mereka tidak datang ke sini untuk mengesankan siapa pun, hanya untuk menikmati hidup yang sederhana. Di antara mereka, aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang utuh, tanpa pretensi, tanpa basa-basi.
Di kejauhan, matahari semakin meredup, mewarnai cakrawala dengan semburat jingga. Aku menatap ke arah itu, terpana pada betapa kecilnya diriku di hadapan alam yang megah ini. Dulu, aku biasa memandang langit dari balik kaca jendela kantorku yang tinggi. Di sana, aku merasa menjadi raja yang menguasai semuanya. Tapi di sini, di tengah hamparan lautan luas, aku hanya manusia biasa, sebutir pasir di antara jutaan butir lainnya. Dan untuk pertama kalinya, aku menyukai perasaan itu.
Di momen ini, aku teringat percakapan terakhirku dengan seorang teman lama, satu dari sedikit orang yang masih mau berbicara denganku setelah kebangkrutanku. “Apa rencanamu sekarang, Ga?” tanyanya, serius. Aku tertawa saat itu, seolah hidup ini masih bisa diatur dengan rencana. “Aku tak tahu,” jawabku akhirnya, jujur. “Mungkin, untuk pertama kalinya, aku akan biarkan hidup membawaku.”
Temanku tertawa, dan dalam tawa itu aku tahu dia mengerti. Dia, mungkin seperti aku sekarang, pernah merasa kehilangan arah dan akhirnya menemukan kebebasan dalam menyerah pada arus kehidupan.
Mungkin memang ini makna dari semua yang terjadi. Saat semua pernak-pernik kehidupan hilang, kita akan kembali pada inti diri kita yang sesungguhnya, seperti sebuah pohon yang kehilangan daun-daunnya di musim gugur, hanya menyisakan batang yang kuat. Kini, aku berdiri tanpa topeng, tanpa harta, dan aku merasa lebih utuh dari sebelumnya. Dulu aku hidup untuk membuktikan sesuatu kepada dunia—betapa sukses, betapa berkuasanya aku. Sekarang, aku hanya ingin hidup untuk menikmati setiap detik yang ada.
“Ga,” suara kecil menyentakku dari lamunan. Seorang anak kecil mendekat, memandangku dengan mata polos penuh keingintahuan. “Om ngapain berdiri di sini sendirian?”
Aku tertawa, entah kenapa pertanyaan polosnya itu seperti pukulan lembut yang mengingatkan aku pada sesuatu yang terlupakan. “Om lagi menikmati pemandangan,” jawabku sambil tersenyum. Anak itu tersenyum lebar, lalu tanpa ragu duduk di sebelahku, ikut menatap laut.
Dalam keheningan itu, aku sadar bahwa hidupku kini seperti laut ini—tenang di permukaan, tapi penuh misteri di kedalaman. Aku tak tahu akan ke mana ombak membawa, tapi aku yakin, kemana pun itu, aku akan baik-baik saja. Karena, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa takut kehilangan apa pun.
Anak kecil itu duduk di sampingku tanpa banyak bicara, hanya menatap ombak yang bergulung tenang di depan kami. Ada ketulusan dalam caranya melihat laut—seperti seluruh dunianya berada di sana, di antara buih-buih ombak yang pecah di bibir pantai. Aku menatapnya, merasa seperti menemukan cermin masa kecilku yang dulu, sebuah kenangan yang sudah lama terkubur oleh ambisi dan keinginan untuk memiliki lebih.
“Kamu sering ke sini?” tanyaku akhirnya, memecah kesunyian.
“Iya,” jawabnya sambil mengangguk. “Bapak suka ajak aku ke sini sore-sore. Katanya, biar aku tahu alam itu lebih dari cukup buat bikin bahagia.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ada kebijaksanaan yang sederhana tapi dalam di balik kata-katanya, kebijaksanaan yang mungkin bahkan aku, di usia empat puluh tahun, baru mulai paham. Mungkin itulah kekuatan anak-anak, melihat dunia tanpa menambah-nambahinya dengan beban keinginan dan ekspektasi yang sering kali menghancurkan kita.
“Bapakmu benar,” sahutku, sambil memandangi cakrawala yang perlahan mulai menghitam, cahaya matahari yang tadinya berpendar kini tersapu malam. “Alam selalu tahu cara membuat kita bahagia, selama kita mau mendengarnya.”
Anak itu memandangku lagi, kali ini dengan tatapan yang penuh rasa penasaran, seperti dia ingin mengatakan sesuatu. “Om pernah jadi orang kaya, ya?”
Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku menarik napas panjang, mengingat lagi masa lalu yang dulu terasa seperti puncak dunia, tapi kini tak lebih dari bayang-bayang yang samar. Lalu aku mengangguk. “Ya, Om dulu pernah punya banyak uang. Rumah besar, mobil mewah… semuanya.”
Ia menatapku lama, seolah mencoba memahami bagaimana seseorang yang pernah memiliki segalanya kini hanya duduk bersamanya di pasir, mengenakan pakaian sederhana. “Terus kenapa sekarang nggak punya lagi?” tanyanya polos.
Aku tertawa kecil. Pertanyaannya yang sederhana itu menohok jauh ke dalam hati. Aku mengangkat bahu, menjawab dengan jujur, “Mungkin, karena Om terlalu sibuk cari sesuatu yang nggak pernah bisa bikin Om puas. Dan akhirnya, semua yang Om punya pergi begitu saja.”
Anak itu mengangguk, mungkin belum sepenuhnya mengerti. Tapi, entah kenapa, berbicara dengannya membuat beban di hatiku terasa lebih ringan. Ada kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya, kedamaian yang hadir karena akhirnya aku bisa menerima diriku yang sekarang, tanpa harus terus-menerus menyesali apa yang telah hilang.
Tak lama kemudian, ayah anak itu memanggilnya dari kejauhan, memberi isyarat bahwa sudah waktunya pulang. Anak itu berdiri, menepuk-nepuk celananya yang berpasir, dan menatapku lagi sambil tersenyum.
“Om,” katanya, suaranya masih penuh semangat, “besok-besok ke sini lagi ya. Kita bisa lihat laut bareng-bareng.”
Aku mengangguk, menahan senyum. “Pasti,” jawabku. “Om pasti datang lagi.”
Anak itu berlari kecil ke arah ayahnya, meninggalkanku sendiri di tepi pantai yang kini mulai gelap. Aku memandang ke arah mereka, melihat sosok sang ayah merangkul putranya dengan hangat, seolah mereka adalah satu-satunya hal yang berarti di dunia ini.
Lama setelah mereka pergi, aku masih duduk di sana, menikmati kesendirian yang kini tak lagi terasa sepi. Laut berbisik pelan, seperti memeluk seluruh kesedihanku dan membawanya pergi jauh ke tengah samudra. Aku menutup mata, membiarkan angin malam menyapa wajahku, dan dalam keheningan itu aku berbisik pada diriku sendiri:
“Hidup ini memang sederhana, selama kita mau menjalaninya apa adanya.”
Aku bangkit berdiri, melangkah perlahan meninggalkan pantai. Hari ini, aku memang tak lagi punya harta benda, tapi aku tahu, ada sesuatu yang lebih berharga yang kini kumiliki—kedamaian di dalam hati, dan keberanian untuk memulai lagi, dari titik yang paling rendah, dari hati yang paling tulus.
Mungkin, aku bukan lagi raja. Tapi kali ini, aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Dan entah kenapa, itu lebih dari cukup.
Hari-hariku berlalu dalam kedamaian sederhana. Setiap pagi, aku menyaksikan matahari terbit dari jendela kecil rumahku, memandangi sinarnya yang hangat menembus tirai lusuh dan membasahi lantai dengan warna keemasan. Kini, aku mulai menghargai setiap hal kecil yang dulu bahkan tak pernah kusadari—bunyi burung yang berkicau, sapaan hangat tetangga, bahkan suara penjual roti keliling yang lewat di depan rumah setiap pagi.
Suatu hari, aku sedang duduk di bangku kayu di luar rumahku, menikmati secangkir teh hangat, ketika seseorang yang tak pernah kuduga datang menghampiriku. Dia adalah Reza, salah satu rekan bisnis terdekatku di masa kejayaanku. Kami dulu sering bekerja sama dalam proyek-proyek besar, menghabiskan waktu dalam rapat panjang dan pertemuan eksklusif, selalu saling berbicara dengan formalitas yang kaku.
“Aku pikir kau sudah pergi jauh,” katanya setelah memandangku beberapa saat, terlihat sedikit heran melihatku dalam keadaan sederhana seperti ini.
Aku hanya tersenyum, mengangguk pelan. “Ternyata, aku hanya pergi sebentar… untuk menemukan jalan pulang.”
Reza tertawa kecil, seolah tak percaya pada perubahan yang kulalui. “Jadi, Arga yang dulu punya segalanya kini hanya duduk santai di sini, minum teh pagi, dan menikmati hidup?”
“Ya, kira-kira begitu.” Aku tersenyum. “Dan anehnya, aku merasa jauh lebih utuh sekarang.”
Dia terdiam, menatapku dengan pandangan yang sulit ditebak. “Kau tahu, aku sebenarnya datang ke sini bukan hanya untuk bertemu. Ada sesuatu yang ingin kutawarkan padamu.”
Aku menatapnya penasaran. “Apa itu?”
Reza menarik napas, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kami sedang mengerjakan proyek baru, sebuah usaha yang mungkin bisa mengembalikanmu ke dunia bisnis. Aku tahu reputasimu masih kuat. Orang-orang masih menghargai kemampuan dan pengalamanmu. Jika kau mau, aku bisa membantumu memulai kembali.”
Untuk sesaat, kata-katanya membangkitkan bayangan masa laluku, masa di mana hidupku dipenuhi dengan angka, keputusan besar, dan rasa bangga yang berlebihan. Ada godaan di sana, keinginan untuk kembali meraih kejayaan yang pernah kumiliki. Tapi dalam keheningan, aku menyadari sesuatu—keinginan itu tak lagi mendominasi hatiku seperti dulu. Dulu, mungkin aku akan langsung menerima tawaran ini tanpa berpikir dua kali. Tapi sekarang, aku merasa berbeda.
“Terima kasih, Reza,” kataku dengan lembut, sambil menatapnya dengan senyum tulus. “Tapi aku rasa hidupku sudah cukup sekarang. Aku tak lagi mengejar kesuksesan seperti dulu. Aku lebih memilih untuk berada di sini, menjalani hidup sederhana yang ternyata jauh lebih bermakna.”
Reza tampak terkejut, mungkin tak menyangka bahwa aku akan menolak tawaran yang menggiurkan itu. Dia menatapku, mencoba memahami keputusanku. “Kau yakin? Kau benar-benar ingin meninggalkan dunia yang dulu menjadi segalanya bagimu?”
Aku mengangguk, dengan keyakinan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. “Ya, Reza. Dunia itu dulu memang segalanya bagiku, tapi aku sudah menemukan sesuatu yang lebih berharga—kedamaian. Aku akhirnya tahu bahwa kekayaan sejati bukanlah soal memiliki, melainkan soal bisa menikmati apa yang kita miliki.”
Reza terdiam, terlihat merenung. Kami berdua hanya duduk dalam keheningan, membiarkan angin pagi berhembus, membawa aroma bunga dari taman kecil di sekitar rumahku. Akhirnya, dia tersenyum, sebuah senyum yang penuh pengertian.
“Kau tahu, Arga,” katanya sambil berdiri dan menepuk bahuku, “mungkin kau memang sudah menemukan apa yang selama ini kami semua cari. Sukses itu bukan soal apa yang bisa kita capai, tapi soal menemukan apa yang benar-benar kita inginkan.”
Aku tersenyum, mengangguk, merasa bahwa percakapan ini telah membawa semacam penutup bagi kehidupan lamaku. Reza berpamitan, meninggalkanku di rumah kecilku yang sunyi tapi penuh kebahagiaan. Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh, merasa bahwa pertemuan ini adalah semacam tanda akhir dari semua yang pernah terjadi, sebuah titik balik yang membuatku akhirnya benar-benar berdamai dengan diriku sendiri.
Ketika Reza pergi, aku menatap langit yang mulai cerah, menarik napas dalam-dalam. Mungkin aku bukan lagi Arga yang dulu memiliki segalanya, tapi aku adalah Arga yang kini menemukan segalanya di dalam kesederhanaan. Aku tersenyum sambil menatap ke depan, dengan perasaan damai yang mengalir pelan di dalam dadaku.
Akhirnya, aku menemukan rumah yang sesungguhnya—di dalam diriku sendiri.