Di malam yang sunyi, Alexa duduk sendirian di kamarnya, memandangi jendela yang tertutup tirai. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena kanker yang semakin hari semakin menggerogotinya, tetapi juga karena luka batin yang terus menghantuinya. Sejak Lia datang, hidup Alexa berubah. Gadis panti asuhan yang diadopsi oleh orang tuanya itu, dengan cepat merebut perhatian dan kasih sayang yang dulu miliknya.
“Alexa, apa kamu tidak bisa belajar dari Lia?” bentak ibunya tadi sore, saat Alexa yang kelelahan mencoba menyelesaikan tugas sekolahnya. “Dia lebih berbakti daripada kamu, padahal dia bukan anak kandung kami.”
Kata-kata itu masih terngiang di benaknya, menambah luka di hatinya yang sudah penuh dengan cemoohan dan pengabaian. Sejak Lia hadir, Alexa seolah tak lagi dianggap, seperti bayang-bayang yang terlupakan di dalam rumahnya sendiri. Sering kali, ia berpikir, mungkin hidupnya akan lebih baik jika saja dia tidak ada.
Namun, malam itu ada yang berbeda. Saat air mata Alexa jatuh di pipinya, tiba-tiba kamar terasa hangat, seolah ada cahaya lembut yang menyelimuti. Alexa mengusap matanya dan mendapati seorang pria muda berdiri di sudut kamarnya. Pria itu tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang aneh—di punggungnya tampak sepasang sayap transparan yang bersinar lembut.
“Alexa,” katanya dengan suara tenang, “jangan takut. Aku di sini untuk menolongmu.”
Alexa terperangah. “Siapa kamu?” bisiknya.
“Aku Arion, penjaga jiwa yang terluka,” jawab pria bersayap itu. “Aku datang dari dunia lain untuk menyembuhkan luka-luka yang tak terlihat. Luka yang lebih dalam dari penyakit apa pun di dunia ini.”
Alexa menatap Arion dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin mempercayai sosok ini, meski hatinya sudah terlalu sering dikecewakan. “Kau bisa menyembuhkan rasa sakitku?” tanyanya dengan suara penuh harap.
Arion tersenyum dan mengangguk. “Namun, kau harus percaya padaku, dan aku akan membawamu ke dunia yang jauh dari rasa sakit dan kepedihan ini.”
Dengan lembut, Arion mengulurkan tangannya. Alexa ragu sejenak, namun akhirnya menyambut tangan Arion, merasakan hangat yang lembut menjalari tubuhnya. Dalam sekejap, mereka berdua melesat keluar dari kamar Alexa, terbang menembus malam menuju sebuah dunia penuh cahaya dan keindahan.
Di dunia baru itu, Alexa melihat sebuah taman indah dengan bunga-bunga berwarna-warni yang memancarkan cahaya. Udara segar dan hangat, berbeda jauh dari dinginnya malam yang selalu ia kenal.
“Di sini,” kata Arion, “kau tidak akan merasa sendirian. Tidak ada cemoohan, tidak ada sakit hati. Hanya kedamaian dan kebahagiaan.”
Alexa menghela napas panjang, merasa beban yang selama ini menghimpit dadanya perlahan memudar. Namun, di balik rasa tenang itu, ada sesuatu yang membuatnya gelisah.
“Lalu… apa artinya aku harus meninggalkan dunia nyata? Meninggalkan keluargaku?” tanya Alexa.
Arion mengangguk pelan. “Hanya jiwa yang siap untuk berdamai yang bisa tinggal di sini. Namun, kau tidak harus pergi selamanya. Aku bisa memberimu kekuatan untuk bertahan dan menghadapi apa pun yang ada di sana.”
Mendengar itu, Alexa terdiam. Tiba-tiba bayangan wajah orang tuanya melintas di benaknya, meskipun mereka telah menyakitinya, ia masih ingin merasakan kehadiran mereka, walau hanya sekadar memandang mereka dari kejauhan.
“Aku… aku ingin bertahan,” kata Alexa, suaranya bergetar. “Aku ingin kembali, meskipun menyakitkan.”
Arion tersenyum lembut. “Kau memiliki kekuatan lebih besar dari yang kau sadari, Alexa. Ingatlah, kekuatan sejati tidak datang dari menghindari rasa sakit, melainkan dari menghadapinya.”
Ia menyentuh dada Alexa, dan dalam sekejap, Alexa merasakan hangat yang kuat dan menenangkan memenuhi tubuhnya. Luka-luka di hatinya terasa mulai sembuh, seperti ada kekuatan baru yang meresap ke dalam dirinya.
“Ketika kau merasa lelah dan sakit, ingatlah aku ada di sini, dalam jiwamu,” bisik Arion. “Kau tidak pernah benar-benar sendirian.”
Setelah ucapan itu, tiba-tiba cahaya di sekelilingnya memudar. Alexa membuka matanya dan mendapati dirinya kembali di kamarnya, dengan perasaan yang berbeda. Rasa sakit yang selama ini selalu menghantui hatinya terasa lebih ringan, seolah ia membawa kekuatan Arion dalam dirinya.
Keesokan harinya, saat ibunya kembali mengeluh tentang dirinya dan membandingkan dengan Lia, Alexa hanya tersenyum kecil. “Aku akan berusaha menjadi lebih baik, Bu,” katanya tenang, tanpa rasa sakit yang menghantui.
Ia tahu, hidupnya mungkin tidak akan mudah. Tetapi sekarang, ia memiliki kekuatan untuk bertahan—kekuatan yang ia dapat dari sosok bersayap di dunia lain yang telah membantunya berdamai dengan dirinya sendiri. Alexa tidak lagi sendirian dalam menghadapi hidupnya yang penuh luka, karena kini ia memiliki sesuatu yang tak bisa dilihat siapa pun: cahaya penyembuhan dalam jiwanya.